Halaman

Minggu, 20 Januari 2008

Teater Kampus, Tantangan Masa Depan


Oleh : R. Giryadi

Dalam perhelatan Festival Seni Surabaya 2004 lalu, ada semacam gugatan dari aktivis teater kampus yang tidak setuju dengan pembedaan baik secara teknis maupun non teknis antara teater kampus dan teater non kampus. Sejauh yang saya pahami, dalam hal ini, (panita) memberikan ruang apresiasi terhadap teater kampus yang berkembang, baik, di Surabaya, Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dalam hal ini, diharapkan, di Jawa Timur, muncul penggagas teater dari para mahasiswa, berdampingan dengan para tokoh teater yang bergiat di luar kampus.

Bagaimanapun teater kampus harus menjadi tumpuan masa depan, perkembangan teater di tanah air. Tentu kita tahu, bahwa para pendekar-pendekar teater yang sekarang, seperti WS.Rendra, Putu Wijaya, Yudi Ahmad Tajudin (hanya sekedar menyebut nama), adalah mantan penggiat teater di kampusnya.
Dikotomi teater kampus dan non kampus (sebenarnya) tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurut saya, dikotomi itu justru akan menjebak proses kreatif yang sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh terminologi kampus dan bukan kampus. Teater, di manapun prosesnya dan siapapun yang memroses, tetap teater.
Terminologi teater kampus lahir ketika teater modern Indonesia pada jaman keemasannya (1960-1970) banyak dilakukan oleh para mahasiswa. Hal ini dikarenakan arus informasi berpusat di kampus. Maka wajar bila berbagai perkembangan kebudayaan termasuk di dalamnya teater, cepat diterima oleh kalangan mahasiswa. Pada saat itu memang di kampuslah teater modern Indonesia mulai diperkenalkan.
Terminologi teater kampus yang melekat pada saat itu hanya sebuah identitas ( bukan genre ) untuk menyebut kegiatan teater yang pelaku-pelakunya adalah mahasiswa. Dari periodisasi perkembangan teater Indonesia bisa di pahami kedudukan teater kampus sederajat dengan teater yang berkembang di luar kampus.
Pada Pasar Teater ‘90 di Institut Teknologi Bandung (ITB) banyak saran yang menyatakan agar teater kampus mempertegas identitasnya dengan menekankan pada nilai-nilai intelektualitas. Putu Wijaya menyarankan agar teater kampus bersifat eksperimental. Alasannya, sifat eksperimental lebih dekat dengan proses berpikir mahasiswa. Selain itu juga untuk menyiasati waktu mahasiswa yang banyak dihabiskan untuk kuliah. Berbeda dengan Putu Wijaya, Ratna Sarumpaet menyarankan agar keterlibatan mahasiswa dengan peristiwa sosial lebih dekat. Karena selama itu kampus terkesan berada di menara gading dan seolah-olah enggan terlibat dengan peristiwa sosial. Oleh sebab itu dia berharap teater kampus bisa memberikan solusi sosial di tengah masyarakat, melalui medium teater.
Siapakah yang baik diantara keduanya? Sampai hari ini kita masih bisa menyaksikan dua tawaran bentuk teater yang diidealkan oleh Putu Wijaya dan Ratna Sarumpaet. Hal ini membuktikan bahwa teater, apapun bentuknya, selalu berbicara tentang makna universalitas. Oleh sebab itu terminologi kampus menjadi tidak berguna ketika kita berbicara teater sebagai teater.
Saat ini yang terpenting adalah bagaimana teater kampus memberlakukan proses teater tidak hanya sekedar berbicara persoalan teknis tetapi pada proses berpikir (dialektika) tentang konsep teater dan wacana social, politik, ekonomi, budaya. Sehingga para mahasiswa ( yang sudah dibekali berbagai ilmu ) bisa menyalurkan keilmuannya itu pada teater dan tidak hanya sekedar datang, ‘mabuk’, pulang, datang lagi, ‘mabuk lagi’ dan hanya menjadikan teater untuk menumpahkan kebosanannya pada perkuliahan.
Teater kampus memang harus memiliki spirit yang berbeda dengan teater non kampus. Teater kampus memiliki banyak peluang menelorkan berbagai gagasan tentang persoalan teater, persoalan sosial, persoalan politik, dll. Eksperimen yang dimaksudkan Putu Wijaya, dari kampus diharapkan muncul para avant garde (perintis masa depan). Karena di dalam kampus sangat memungkinkan berbagai eksperimen bisa dilakukan.
Persoalnya, mampukah teman-teman kampus memanajemen anggotanya yang secara periodik terus berganti? Sejauh yang saya alami banyak teater kampus gagal memanajemen anggotanya. Hampir setiap tahun anggota teater kampus mengalami pasang surut. Hanya beberapa orang saja yang bisa bertahan sampai akhir masa kuliahnya. Inilah yang menyebabkan teater kampus, secara manajemen, masih dipandang main-main.
Hal ini dikarenakan, teater kampus, dalam setiap proses (pentas) masih berkutat dilingkungannya sendiri. Selain itu, tradisi menulis (kritik dan wacana) bagi para aktivisnya kurang terwadahi, karena memang tidak ada media yang representatif untuk mewadahinya. Akhibatnya, apapun yang dilakukan teman-teman teater kampus, seperti hanya main-main saja. Tak heran bila embel-embel kampus (belajar) tetap melekat di belakang nama teaternya.

(R. Giryadi, sutradara Teater Institut Surabaya, tinggal di Sidoarjo)

Kamis, 17 Januari 2008

Zaman Keemasan Teater di Surabaya Sudah Berakhir


Oleh : Rakhmat Giryadi

Kalau boleh ekstrim, pada dasawarsa 90-an, Surabaya mengalami jaman keemasan teaternya. Pada zaman itu, semangat para pekerja teater begitu tinggi. Pada tahun-tahun itu terasa sekali denyut kehidupan teater. Bahkan ada puluhan teater yang aktif, menghidupkan iklim perteateran Surabaya.
Boleh diingat, pada waktu itu, ada teater Jaguar, Dua Lima, Pavita, Rajawali, Nol, Ragil, Sanggar Soeroboyo, Teater Api Indonesia, Bengkel Muda Surabaya, di tambah dengan aktivitas teater di beberapa kampus-kampus yang aktif berpentas.

Pada masa itu, kegitan teater di Surabaya begitu marak, apalagi ditambah dengan adanya festival-festival yang representatif. Demikian juga banyak kritikus yang menyumbangkan pikirannya hingga menjadikan iklim teater Surabaya tidak hanya sekedar ramai di panggung-panggung tetapi juga di media massa. Akhudiat, Max Arifin, H. Bambang Ginting, Autar Abddilah, Zeinuri, L. Makali, adalah orang-orang yang sering menulis berbagai hal tentang teater.
Hampir semua kelompok teater dan kritikus mendesakkan gagasan-gagasannya. Mereka memiliki spirit yang begitu kuat, seakan kehidupan teater di Surabaya memiliki masa depan yang cerah.
Sayang, realitas itu tiba-tiba menjadi berbalik. Pada akhir dasawarsa 90-an, iklim teater di Surabaya yang tadinya gegap gempita tiba-tiba bagai lampu kekurangan minyak. Para pekerja yang tadinya menyorongkan berbagai hal wacana teater, tiba-tiba tak berdaya, melihat ‘teater’ dengan darah berceceran di jalan. ‘Teater’ berarak-arakan di jalan, sambil meneriakan yel-yel, menyumpah serapahi, menjarah, membakar, membunuh, menyeret-nyeret tubuh tanpa kepala, dan menjadikan kepala sebagai bendera kemenangan. Teater Surabaya seperti kehabisan darah segarnya.
Barangkali kalau digambarkan, mereka yang memiliki spirit teater realis, terbengong-bengong melihat realitas di depan matanya yang mengharu-biru. Sementara itu, mereka yang memiliki spirit teater absurd, juga tak kalah bengongnya ketika melihat manusia tanpa kepala diseret-seret keliling kota. Memang, pada akhir dasawarsa itu, Surabaya tergagap-gagap menerima ‘arus deras’ pertikaian budaya (baca : politik, ekonomi, agama, dan ras), yang oleh Yasraf Amir Piliang (2003), digambarkan sebagai masyarakat yang mengalami hipersemiotika. Sebuah dunia, yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang-menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur di dalam kemuliaan, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.
Akhirnya apa yang terjadi? Sedikit demi sedikit, mereka yang tidak bisa melihat kenyataan, mengundurkan diri dari dunia teater. Intensitas pertunjukan menjadi berkurang. Bahkan, lebih ironis lagi, Surabaya lebih banyak dikunjungi oleh ‘tamu’ dari luar Surabaya dan Jawa Timur, dan tanpa bisa menyuguhi apapun, selalin rasa iri.
Dan rujukan untuk menyebut teater Surabaya, menjadi kesulitan. Karena tak ada kelompok yang benar-benar fenomenal, macam teater teater Kubur (Dindon WS) di Jakarta, teater Payung Hitam (Rahman Sabur) Bandung, Gandrik (Heru Kesawamurti dan Butet Kertarejasa) dan Garasi (Yudi Ahmad Tajudin), Jogjakarta, Gapit (Bambang Widoyo SP), Gidak-Gidik (Hanindawan), Ruang (Joko Bibit) Solo.
Mereka yang berada di balik nama-nama teater itu, telah menjadi ‘juru bicara’ bagi kelompoknya masing-masing, untuk menciptakan sejarah dan menciptakan ideologi, bagi perkembangan teater modern Indonesia. Sementara itu, Surabaya malah seperti kehilangan sejarah. Surabaya seperti tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Gagah tapi Miskin
Meminjam istilah WS.Rendra, kegagahan dalam kemiskinan, tampaknya itulah yang sedang dihadapi teater Surabaya. Secara ringkas, wajah teater Surabaya, memiliki kendala yang sering diartikulasikan baik lewat tulisan, diskusi, dan pembicaraan sambil lalu adalah masalah miskin gedung yang representatif, stok aktor yang sedikit, sutradara yang langka, penata artistik yang langka, regenerasi yang terputus, masyarakat penonton yang semu.
Sebagaimana telah diramaikan di media massa beberpa waktu lalu, bahwa Surabaya butuh gedung yang representatif untuk pertunjukan teater. Sementara ini, teater Surabaya tidak memiliki gedung yang jadi rujukan untuk pentas. Kalau di Jakarta ada Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Teater Untan Kayu, paling tidak Surabaya harus memiliki satu atau dua gedung yang memiliki arti representatif tersebut. Memang Surabaya ‘tidak memiliki’ gedung yang representatif.
Belum lagi persoalan aktor yang konon tidak mudah ‘diciptakan’. Di Surabaya, meskipun antara tahun 70-90-an secara periodik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK), telah memilih aktor dan aktris terbaik, juga tak memunculkan aktor yang kuat bertahan berteater. Kemanakah mereka yang pernah mendapat penghargaan aktor dan aktris terbaik LDLK?
Sutradara dalam arti yang sebenarnya, tampaknya Surabaya sangat miskin. Bahkan kalau boleh ekstrim, Surabaya tidak memiliki sutradara, pasca generasi Akhudiat –hanya sekedar menyebut nama. Sejak digulirkanya LDLK-pun juga tidak memunculkan sutradara yang mewakili zamannya. Di Surabaya, sutradara hanya berlaku sebagai pemimpin arstistik dan pelatih. Merekalah yang memberikan intruksi keseluruhan artistik dan bentuk-bentuk latihan yang akan dipentaskan. Sutradara yang memiliki kemampuan literer, boleh jadi Surabaya tidak memiliki.
Bahkan Surabaya dalam kasus perkembangan teaternya seperti a-historis. Dari generasi ke generasi seperti tidak memiliki benang merah. Apakah itu satu usaha kreatif, memberontak dari para suhunya, untuk tidak hanya sekadar perpanjangan tangan dari, Akhudiat, Bambang Sujiono, Wally Sardil, Hare Rumemper, Elyzabet Luther, Bambang Ginting, Meimura, dll? Belum ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, bahwa generasi penerus teater di Surabaya sedang mengalami ketergagapan membaca sejarahnya?
Ketergagapan itu diikuti dengan semakin banyaknya penonton yang meninggalkan teater. Mereka lebih memilih gedung teater 21 dari pada berpanas-panas ria di Gallery DKS yang pertunjukkannya belum tentu memberikan mereka ‘katarsis’ (baca:kepuasan). Barangkali sedikitnya penonton, memang tidak bisa dijadikan tolok ukur sebuah tontonan teater. Tetapi kecenderungan teater semakin ditinggalkan penonton menjadi signifikan dengan kegairahan pekerja teaternya. Bagaimana tidak trenyuh bila telah berproses berbulan-bulan hanya ditonton oleh puluhan orang yang nota bone juga teman-temannya sendiri, yang sudah tahu prosesnya terlebih dahulu? Apakah ini bukan orgasme yang ironis. Sebuah kenikmatan yang menjemput kematian.
Surabaya butuh Teater
Namun demikian, Surabaya masih diuntungkan, ada Teater Api Indonesia (Luhur Kayungga dkk), Ragil (Meimura), Tobong (Dody Yan Masfa), dan beberapa teater kampus yang tidak ada lelah-lelahnya, mencoba menghidupkan teater di Surabaya. Kelompok itulah –disamping kelompok teater kampus, seperti Teater Kusuma (Untag), Teater Institut (Unesa), yang menurut ingatan saya secara periodik –tahunan- bisa mementaskan satu naskah drama, baik karya sendiri maupun naskah babon dari penulis lain.
Paling tidak, kedua arus itulah yang menjadi lampu kuning (baca : tanda-tanda) bahwa teater di Surabaya ‘masih ada’ namun masih membutuhkan eksistensi yang cukup kuat, agar teater tidak sekedar menjadi tontonan tetapi benar-benar menjadi sebuah wacana yang bisa menghadirkan dialetika antar masyarakat pendukungnya (penonton, kritikus, media massa). Bila semua ini terjadi, kehendak untuk berteater memiliki peluang yang melegakan. Teater menjadi memiliki masa depan yang diciptakan atas dasar pemikiran yang terus hidup. (*)

Rabu, 16 Januari 2008

Jawa Timur dalam Konstelasi Peta Teater Indonesia


Oleh : R Giryadi

Dalam peta teater Indonesia, Jawa Timur selalu mendapatkan peran yang kurang menonjol. Kenyataan ini barangkali benar. Tetapi meski demikian, kalau kita melihat-lihat sejarah, Jawa Timur memiliki andil terhadap perkembangan teater Indonesia. Catatan yang saya kumpulkan dari data yang berserak ini barang kali bisa dijadikan bayangan keberadaan teater Jawa Timur dalam peta teater Indonesia hingga tahun 1980-an. Sehingga pertanyaan tentang jejak teater Jawa Timur bisa terjawabkan.

Memang benar yang dikatakan Faishal dalam tulisannya di Jawa Pos Minggu 12 Desember 2004, bahwa pada masa kejayaan kelompok sandiwara Orion, di Sidoarjo pada tanggal 21 Juni 1926 berdiri kelompok sandiwara Dardanella. Sandiwara yang didirikan oleh Willy Klimanoff alias A. Piedro ini bertujuan menyaingi kepopuleran Orion. Kalau Orion menjadi terkenal karena bintang panggungnya Miss Riboet, maka di Dardanella yang terkenal adalah Tan Tjeng Bok. Tan Tjeng Bok dikenal sebagai pemain pedang yang tangguh, sehingga banyak digemari penonton. Dia sangat dikenal sebagai pengejawantahan bintang film Amerika, Dauglas Fairbank. Memang, dalam pertunjukan Dardanella selalu didahuli dengan reportoar film-film barat (Amerika) dan film-film roman yang banyak mengetengahkan adegan permainan pedang.
Dua kelompok ini bersaing secara ketat. Mereka melakukan ‘perang teater’ melalui promosi besar-besaran lewat poster-poster yang dipasang di surat-surat kabar, majalah, dan propaganda di jalan-jalan. Dalam persaingan ini Orion harus menyerah pada Dardanella. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Nyoo Cheong Seng penulis naskah Orion bersama istrinya, menyeberang ke Dardanella.
Mengapa Dardanella lebih bisa bertahan dari Orion? Kelompok Dardanela boleh dikatakan pembaharuan dari Orion. Dardanella berani memasukan cerita-cerita yang problimatik dan pendukung-pendukungnya rata-rata para kum terpelajar. Masa kejayaan kelompok Dardanella selama 10 tahun. Setelah mereka berhasil keliling ke Cina, Siam, Burma, India, Tibet, dan Eropa, kelompok ini pecah. Kelompok yang telah bekerja secara professional ini berakhir sampai masa penjajahan Jepang.
Di luar grup profesional seperti Dardanella, kaum terpelajar di Surabaya memiliki kelompok teater amatir ‘Bintang Surabaya’. Bintang Surabaya pada jaman Jepang ini lebih mementingkan aspek estetik teater modern. Bintang Surabaya banyak belajar pada konsep pertunjukan teater modern yang berkembang di Eropa. Inilah yang membedakan Dardanella yang cenderung ngepop bila di bandingkan dengan Bintang Surabaya yang lebih menekankan pada estetika pertunjukan.
Sejak masa itu kegiatan teater di Jawa Timur tidak surut. Ini terbukti pada masa pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta 1946, dalam catatan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990 seniman teater kontemporer aktif menjalin komunikasi dengan seniman teater di Surabaya salah satunya bernama Djamaludin. Bahkan pada sekitar tahun 1952-1954, di Surabaya berlangsung Festival Seni Drama Surabaya. Festival yang berifat amatur ini dikritik oleh Sukarno Hardian dengan mengatakan bahwa para pemain drama amatir belum paham tentang teknik bermain drama. Kritik ini didasarkan pada kekuatan naskah yang dibuat oleh kelompoknya sendiri. Festival ini dinilai olehnya telah merusak apresiasi penonton.
Meski dimikian perkembangan teater modern mau tidak mau terus berkembang ditangan kaum terpelajar. Dalam konggres kebudayaan I di Magelang tahun 1950, para peserta konggres bersepakat untuk membentuk pendidikan khusus teater dan film. Maka terbentuklah Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta pada tahun 1954. Akademi ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi teater modern di Indonesia.
Sejak munculnya akademi ini, perkembangan teater Indonesia mengalami kemajuan. Pada masa itu, Indonesia mengalami zaman kemasan teater I. Penulis-penulis naskah bermunculan, di Surabaya sendiri Suparta Brata telah menjadi salah seorang penulis yang berhasil menjadi pemenang sayembara penulisan naskah di Jogjakarta 1958 dengan naskah berjudul Cinta dan Penghargaannya.
Dalam catatan-catatan yang saya miliki, beberapa tokoh teater di Jawa Timur pada masa tahun 1960-1970an telah dikenal dilingkungan para teatrawan di Jogjakarta yang pada masa itu dikenal gudangnya tokoh teater Indonesia. Tokoh Jawa Timur yang terkenal waktu itu, Sunarto Timur yang pernah memainkan Suara-Suara Mati (Dode Klanken) karya Manuel Van Logem dengan para pemain Deddy Sutomo, Neny Kusumawardani, dan Suparto Prajitno. Pementasan itu diselenggarakan oleh Lingkar Drama Mahasiswa UGM. Selain Sunarto Timur dalam acara itu WS. Rendra memainkan Kereta Kencana yang diadaptasi dari karangan Ionesco.
Dalam catatan buku itu, pada tahun 60-an Surabaya sudah memiliki Paguyuban Teater 60-Surabaya. Ini artinya pada masa itu di Surabaya –meski masih amatir- sudah banyak terdapat kelompok teater. Pada tahun 1976, ketika masa jayanya Bengkel Teater Rendra, sempat memainkan naskah Tuan Kondektur karya Emil Sanosa (penulis Malang) di Auditorium IKIP Malang. Bahkan ditahun yang sama, tanggal 20 Agustus, dramawan muda Yogyakarta, Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra yang hendak memainkan naskah Bui karya Akhudiat (dramawan Surabaya), dicekal polisi dengan alasan yang tidak jelas.
Pada tahun 1977, Sanggar Bambu Yogyakarta mengadakan ‘Duel Teater’ dua kota Yogyakarta dan Surabaya, di Senisono dengan mengangkat naskah yang sama, Bui karya Akhudiat. Yogyakarta diwakili Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra dan Surabaya diwakili oleh teater Merdeka Surabaya dengan sutradara Anang Hanani.
Pada Pertemuan Teater 80 di Jakarta, Akhudiat bersama teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) mementaskan Syair, Bunga, dan Koran karya Akhudiat. Catatan ini menegaskan, bahwa sampai pada dasawarsa 80-an teater di Surabaya masih memiliki peran yang cukup berarti di peta teater Indonesia. Catatan selanjutnya pada masa 90-an, sudah banyak diketahui, teater Surabaya sedikit demi sedikit menghilang dari peta perteateran Indonesia. Sementara para generasi sebelumnya tidak sempat memikirkan regenerasi. Catatan yang barang kali tidak penting ini, hendaklah bisa menjadi bayangan betapa pada masa sebelumnya, Surabaya (Jawa Timur) telah memiliki tokoh dan kelompok teater yang tangguh. Lalu bagaimana generasi 90-an. Mampukah kita meneruskan catatan ini?
R. Giryadi, Penggiat teater tinggal di Sidoarjo

Selasa, 15 Januari 2008

Hikayat Perlawanan Sanikem : NYAI ONTOSOROH


Oleh : R Giryadi


Dramatic Person

1. Nyai Ontosoroh : Istri (gundik) TB Mellema, berusia 35 tahun.
2. Tuan Besar Mellema : Tuannya Nyai, berusia 50 tahun.
3. Robert Mellema : Anak Nyai berusia 18 tahun.
4. Annelies : Anak Nyai berusia 16 tahun
5. Minke : Putra bupati Brojonegoro berusia 18 tahun.
6. Mauritz Mellema : Putra TB Mellema berusia 25 tahun
7. Darsam : Pengawal setia Nyai dari Madura berusia 40 th.
8. Sastrotomo : Ayah Sanikem berusia 45 tahun
9. Istri Sastrotomo : Ibu Sanikem berusia 35 tahun
10. Sanikem : Nama kecil Nyai berusia 14 tahun
11. Babah Ah Tjong : Germo pelacuran berusia 50 tahun
12. Minem : Salah satu buruh pabrik

Pemain Pendukung : Buruh Pabrik, Pelacur, Penduduk, Dua Utusan, Meiko.


Diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer penerbit Hasta Mitra Jakarta, cetakan kelima Februari 1981.



BABAK I

Setting : Dekat Pabrik Gula Tulangan

ADEGAN 1
Orang-orang sedang bekerja, hilir mudik, membawa karung-karung (gula) dan juga batangan tebu dengan geledekan. Mereka bertelanjang dada. Tubuhnya hitam. Ada yang kekar. Tetapi ada juga yang kurus kering.

ADEGAN 2
Seorang Juragan (Mandor), dikawal oleh dua budaknya. Dengan berkacak pinggang, Mandor itu menuding-nuding, bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja, berlarian. Ibunya, mengikuti dengan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta. Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu itu menyerahkan anak itu kepada seorang Mandor. Dengan imbalan seketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa Mandor, entah kemana?

ADEGAN 3
Upacara menjadi dewasa. Sanikem meronta-ronta, ketika Sastrotomo, menyeretnya.

1. Sastrotomo
(Menyeret Sanikem) Kamu sekarang sudah dewasa, sudah saatnya nasibmu berubah. Hari ini akan datang orang yang membawa nasibmu lebih baik dari sekarang. Maka bersucilah, agar kemelaratanmu menjadi cambuk masa depanmu.

Ibunya Sanikem hanya bisa tersedu. Ia menggayung air bercampur bunga tujuh macam, dari genthong. Sanikem diam terpaku ketika air bunga tujuh macam mulai membasahi tubuhnya.

2. Sanikem
Sejak saat itu, nama Sanikem, sedikit-demi sedikit luntur oleh kemauan keras orang tuanya.

Dua orang datang membawa pakaian dan tikar pandan. Sanikem telah berganti ujud menjadi perawan. Kemudian dia tidur terlentang di atas tikar pandan. Ibunya kemudian melangkahinya tiga kali.

3. Istri Sastrotomo
Tabahkan hatimu, Nak. Usiamu sudah 14 tahun. Kau sudah haid. Tidak baik kau dikatakan perawan kaseb. Maka relakan hari mudamu ini.
4. Sanikem
Betul, saya sudah dewasa, tetapi saya punya hak untuk menentukan pilihan.

5. Sastrotomo
Tak ada kata pilihan! Pemuda-pemuda melarat dan kampungan, tak patut untuk dipilih. Yang ada sekarang kau dipilih untuk menjadi istri seorang yang kaya raya. Siapapun orangnya!

Sastrotomo menyeret Sanikem. Sanikem meronta. Ibunya membuntut dengan hati yang meronta. Ia membawa sekopor pakaian anaknya yang kumal. Sementara di tempat lain para budak menerima upah, Sastrotomo muncul dengan hati riang. Di belakangnya ada Sanikem. Ibunya yang kelihatan renta, hanya bisa tertunduk lesu meratapi nasib anaknya. Di sudut lain, Tuan Besar Mellema berdiri tegak, angkuh dan sombong.

6. Sastrotomo
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.

7. Istri Sastrotomo
Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?

8. Tuan Besar Mellema
Jadi ini anakmu? Bagus, bagus. Kowe, pintar… (Tertawa).

Tuan Besar Mellema pergi bersama dua pengawalnya, membawa Sanikem tanpa perlawanan. Sementara Istri Sastrotomo, terisak melihat anaknya dibawa Tuan Besar Mellema.

9. Sastrotomo
(Tertawa girang) Akhirnya saya jadi Juru Bayar!

10. Istri Sastrotomo
Sampeyan menjadi Juru Bayar, tetepi sampeyan harus membayar mahal, dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita. Tetapi sampeyan tega menjual untuk menjadi gundik, demi ambisi sampeyan, Pak.

11. Sastrotomo
Kamu jangan banyak omong. Saya telah memperjuangkan anak saya untuk menjadi wanita terhormat. Istri Tuan Besar. Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Sanikem akan terhormat. Dan kita akan terhormat, karena Sanikem akan menjadi kaya raya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda-pemuda kampung yang tidak berpendidikan.

12. Istri Sastrotomo
Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman, seorang laki-laki. Kita sudah kehilangan segalanya, Pak. Kamu lebih memilih sekeping Golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan telah kita rawat bertahun-tahun.
Anak-anak kampung yang dengan tulus memberikan cintanya, tetapi sampeyan tolak. Sementara dia yang datang dengan membawa segerobak kepalsuan sampeyan terima dengan tangan terbuka. Sampeyan telah mengadu nasib itu menjadi tidak menentu, Pak…

13. Sastrotomo
Diamlah. Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dengan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu hidup melarat, dan hanya mengandalkan dari penghasilan saya sebagai Juru Tulis? Saya ini, sebentar lagi akan naik pangkat jadi Juru Bayar. Kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar Juru Tulis. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan segala urusan. Apalagi Juru Bayar.
Ikem telah mendapatkan laki-laki yang pantas. Mulai saat ini Sanikem tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh memandang ke laki-laki yang berkeliaran dan tidak jelas itu. Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun!
Hehe..he..he..Juru Bayar. Saya akan jadi Juru Bayar. Semua orang di Pabrik Gula itu akan tunggu saya berderet-deret. Harus tunggu uang dari tangan saya. He..he…he..Saya akan jadi kasir. Bertumpuk-tumpuk uang di jari-jari saya. Semua orang akan berurusan dengan saya, Si Juru Bayar! Mereka harus datang ke saya. Harus ambil uang dari tangan saya dengan membubuhkan cap jempol. Para buruh, pedagang, akan bungkuk-bungkuk di depan saya. Tuan Totok, Peranakan, akan beri tabik pada saya. Guratan pena saya berarti uang. Saya akan masuk golongan penguasa di pabrik. Mereka harus dengar kata-kata saya : ‘Hei! Tunggu kau, disitu! Tunggu kau, disitu! He..he…Kalian akan berderet antri tunggu uang dari tangan saya…!’
Kemarilah istriku. Kau harus ikut senang, suamimu ini akan jadi Juru Bayar! Berpakaianlah yang pantas, selayaknya istri orang terpandang. Kamu jangan bersedih. Ikem akan lebih terhormat kawin dengan laki-laki kaya. Dia akan menghuni rumah besar. Kita bisa diundang ke sana sewaktu-waktu. Ayo istriku kita songsong kehidupan yang lebih baik.

Istri Sastrotomo terpaku. Ligting meremang. Out Stage. Disudut lain, Mellema sedang memandang Sanikem yang bongsor dan kelihatan cantik. Beberapa pembantu jalan jongkok, menyediakan minum dan buah-buahan. Sanikem hanya berdiri terpaku di pojok ruang, Tuan Besar Mellema.

14. Tuan Besar Mellema
Kowe sudah 14. Kowe sudah besar dan cantik, seperti bunga di Tulangan atau seperti mawar dari Surabaya. Kowe jangan takut dengan saya. (Kepada Sastrotomo). Sastrotomo! Ini berisi 25 golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar.

15. Sastrotomo
(On stage) Terimakasih Tuan Besar. Saya jamin Ikem sangat penurut. (Kepada Sanikem) Ikem anggap saja ini rumahmu yang baru. Kau tidak boleh keluar rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau juga tidak boleh kembali ke rumah tanpa seijin Tuan dan seijin Bapakmu.

Sastrotomo meninggalkan panggung. Lighting meremang biru. Tirai menurun pelan-pelan. Percintaan di balik tirai. Dua penari karonsih/tayub menari dengan lembut. Tetapi isak tangis jelas terdengar dari ibu Sanikem. Lighting semakin temaram. Penari karonsih menghilang di balik tirai. Di sudut yang lain, Nyai Ontosoroh berdiri kokoh.

16. Nyai Ontosoroh
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya.
Mang, Mbok, ke sini kalian semua. (4 pelayan laki-laki dan 3 pelayan perempuan on stage). Dengar mulai saat ini kalian tidak usah kerja di sini. Kalian pasti sudah tahu saya adalah Nyai rumah ini sekarang. Saya tidak ingin ada saksi atas kehidupan saya sebagai Nyai di rumah ini. Kalian lebih berharga dari pada saya. Kalian kerja di sini, sedangkan saya, hina dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri berada di rumah ini.
Semua pekerjaan rumah biar saya kerjakan sendiri. Tetapi jangan kuatir, kalian akan pergi dengan membawa bekal. Lagi pula, di lain tempat pasti kalian akan bisa memburuh atau apa saja, karena kalian merdeka. Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!
Baiklah kalian berkemas, beresi barang-barang kalian. Kau Darsam, siapkan bekal secukupnya buat mereka.

Mereka out stage. Tuan Mellema on stage.

17. Tuan Besar Mellema
Nyai, kenapa kau mengusir semua Bujang dan Mbok? Pekerja-pekerja itu harus disewa untuk menjalakan usaha susu ternak rumah ini. Mulai saat ini kaupun harus mulai mengurusi semua urusan usaha. Satu hal yang harus kau ingat, majikan mereka adalah penghidupan mereka. Majikan penghidupan mereka adalah kau! Jadi kau harus jadi majikan yang baik, yang tahu bagaimana mengurus pekerjaannya.
Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan.

18. Nyai Ontosoroh
Ya, saya akan menjalankan semua tugas sebaik-baiknya. Akan saya kerahkan seluruh tenaga dan perasaan yang ada di diri saya untuk Tuan. Sebaik-baiknya. Karena itulah tugas saya, sebagai Nyai Tuan. Apakah wanita Eropa diajar sebagaimana saya diajar sekarang ini, Tuan? Sudahkan saya seperti wanita Belanda?

19. Tuan Besar Mellema
Ha..ha..ha..tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan….

Darsam, masuk panggung (on stage) bersama Sastrotomo dan Istrinya datang dengan berjalan jongkok.

20. Darsam
Tuan, maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.

21. Nyai Ontosoroh
Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem tidak ada sekarang.

22. Tuan Besar Mellema
Temuilah…

23. Nyai Ontosoroh
Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.

24. Tuan Besar Mellema
(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!

25. Nyai Ontosoroh
Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!

26. Tuan Besar Mellema
Jangan…!(Memberi kode pada Darsam). Darsam beritahu mereka…

27. Darsam
Nyai bilang…Di rumah ini tidak ada orang bernama Sanikem. Pergilah!

Suasana hening. Sastrotomo dan istinya beringsut pergi. Wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus, seperti menapaki nasibnya yang tak berujung.

ADEGAN 4
Orang-orang sedang mengusung karung. Ada juga yang mengusungnya dengan gledekan. Suasana begitu sibuk. Nyai Ontosoroh, Tuan Besar Mellema, Annelise, Robert Mellema, dan Darsam, seperti bersiap-siap hendak mau pergi.

28. Nyai Ontosoroh
Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. TB Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan kemari.
Segala yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.
Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak. Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.

Para buruh bergerak bersama-sama, mengikuti tuan mereka. Mereka membawa barang-barang pindahan. Darsam berjalan di depan. Musik. Lighting fide out.

Babak II

ADEGAN 1
Siang hari. Suasana pesta pora perayaan pengangkatan Sri Ratu Wilhelmina di Surabaya. Bendera triwarna (Merah, putih, biru) berkibar di mana-mana. Terpampang foto besar Sri Ratu Wilhelmina. Suara musik hingar bingar. Orang-orang berlarian mengibarkan bendera merah putih biru.

29. Minke
Modern! Modern! Modern! Dengan cepatnya kata itu menyebar, dan membiak seperti bacteria di Eropa sana. Jaman modern ini, potret sudah dapat diperbanyak sampai puluhan ribu sehari dengan alat cetak. Juga ada seorang dara, cantik, kaya, berkuasa, gilang gemilang, seorang pribadi yang memiliki segala, kekasih para dewa. (Memandangi poto Sri Ratu)
Tapi ah, betapa tingginya tempatmu. Jauh pula, sebelas atau dua belas ribu mil dari tempat saya di Surabaya ini. Kekasih para dewa ini seumur dengan saya : 18 tahun. Kami berdua dilahirkan pada tahun yang sama. Hari dan bulan sama. Kalaupun ada perbedaannya hanya jam dan kelaminnya. Bila negeri saya diselimuti kegelapan malam, negerinya dipancari surya. Bila negerinya dipeluk oleh kehitaman malam, pulau saya gemerlapan di bawah surya katulistiwa. (Minke memandangi foto Sri Ratu dengan takjub)
Oh, ya (kepada penonton) perkenalkan nama saya Minke. Saya punya sahabat bernama Robert Suuhrof. Dia selalu memanggil saya, Philogynik Minke, Si Mata Keranjang kita, Si Buaya Darat, busyet..! Dialah yang menghantarkan saya pada seorang gadis cantik, yang bersembunyi di balik loji besar, anak Tuan Besar dari seorang Nyai. Dia bukan saja cantik parasnya, tetapi cantik pula budi bahasanya.
Tetapi di balik semuanya itu ada peran seorang perempuan yang lebih berharga. Dialah orang yang menjadi ‘tuan besar’ di rumah besar itu. Orang-orang memanggilnya Nyai Ontosoroh. Pada dasarnya saya sangat rikuh berada di tengah-tengah orang kulit putih. Tetapi sekali lagi, Robert Suuhrof-lah yang membuat saya percaya diri.
Katanya, menjadi orang putih dihormati. Bagaimanapun mereka lebih mempunyai peluang-peluang. Kalau kau betul jantan. Akan saya hormati kau lebih dari pada guru saya sendiri. Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu Minke, katanya, “Siapa tahu pada suatu kali kau akan menjadi bupati, Minke. Mungkin kau akan mendapat kedipaten tandus. Akan saya doakan kau mendapat kadipaten yang subur. Kalau dewi itu kelak akan mendampingimu jadi Raden Ayu, aduhai, semua Bupati di Jawa akan demam kapialu karena iri.”
Sahabat saya yang satu ini cita-citanya terlalu tinggi. Saya merasa dia terlalu bernafsu untuk menjadi orang berkulit putih. Dia malah mengejek saya, sebagai orang Jawa yang tidak beradap. Katanya semua Bupati Jawa, tidak beradab. Semuanya buaya darat. Sementara saya, untuk datang ke rumah orang kulit putih saja, badan ini terasa bergetar. Apalagi kalau benar-benar bertemu dengan gadis yang diceritakan sahabat saya itu. Betapa tidak, katanya, semua pemuda lajang di Surabaya, mengidolakan. Semua mengharapkan undangannya.
Tetapi yang tidak saya suka dalam gedung itu adalah anaknya tuan Mellema. Dia sahabat Suuhrof juga. Namanya Robert Mellema. Dia putra Mellema yang tidak ingin disebut pribumi. Padahal dari perut pribumilah dia dilahirkan di bumi ini. Robert Mellema memang membenci pribumi. Kepada saya, matanya selalu menyelidik. Bahkan kepada nama saya dia mengejek hanya karena nama saya tidak ada dalam kamus, bahasa Belanda maupun Inggris.
Robert Mellema lebih mencerminkan sifat Tuan Besar. Tetapi gadis cantik yang bernama Annelies, adiknya, lebih mencerminkan seorang wanita yang memang pantas menjadi pujaan remaja di Surabaya.
Sampai sejauh ini orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang yang sekali-kali saja atau sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya : Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama On-to-so-roh, sebutan orang Jawa yang lidahnya suka kesleo. (tersenyum)
Saya bahagia sekali, karena akhirnya bisa berkenalan dengan gadis pujaan para jejaka di Surabaya ini. Dia sangat manja pada Nyai. Dia sangat mencintai Nyai. Begitupun dia lebih suka diakui sebagai anak Nyai. Dia memanggil Nyai, Mama. Sayapun sering memanggil Nyai, Mama. Nyai lebih suka memanggil saya Nyo Minke.
Oya, saya putera Bupati Brojonegoro. Beliau seorang yang sangat feodal. Dia sangat bangga dengan gelar ke-Jawaannya. Anak-anaknya diberlakukan seperti punggawa-nya. Orang Jawa harus sujud dan berbakti kepada yang lebih tua, kepada yang lebih berkuasa. Meski ajaran itu tetap saya indahkan, tetapi inilah kekeliaruannya. Orang yang lemah, akan terus diinjak oleh yang kuasa.
Atas sikap dan sifat Ayah inilah saya tetap merahasikan status saya. Mereka tidak pernah tahu kalau saya adalah putra Bupati Brojonegoro…

Nyai Ontosoroh on stage

30. Nyai Ontosoroh
Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus tamumu itu, Ann. Mama masih banyak kerja, Nyo.

31. Annelies
Lama betul kami harus menunggu kau?

32. Minke
Banyak pelajaran, Ann. Saya harus berhasil. Tahun depan saya harus tamat. (pause)Ann, saya selalu terkenang padamu. Kau gadis luar biasa.

33. Annelies
Suka kau disini?

34. Minke
Saya suka sekali tempat ini.

35. Annelies
Mengapa kau sembunyikan nama keluargamu? Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu. Saya juga bisa menjadi teman, seperti siswa HBS.

36. Minke
Tak ada yang saya sembunyikan tentang diri saya. Saya memang tak punya …(Ragu-ragu)

37. Annelies
Oh..maafkan saya. Tak punyapun baik.

38. Minke
Saya juga bukan Indo…

(Robert Mellema dan Darsam On stage. Memandang dengan penuh curiga. Darsam menunjukkan kebolehannya bermain pencak silat.)

39. Annelies
Tidak. Oh mengapa kau pucat? Pribumi juga baik. Ibu saya juga pribumi. Pribumi Jawa. Abang saya, Robert Mellema lebih senang disebut Indo atau Eropa, meski dia dilahirkan dari rahim orang Jawa. Darsam adalah pengawal Mama saya yang setia. Kau tamu saya, Minke. Juga tamu Mama.
Akhir-akhir ini Mama sibuk sekali. Mama kerja sangat keras. Semua buku dagang, surat menyurat, perusahaan kami luas, juga pemerahan susu. Saya yang menjadi Mandor….(Mengulang)..Ya..Mandor..Mengapa? Usaha rumah ini cukup banyak, Mama saya yang mengajari semua. Semuanya seratus delapan puluh hektar. Sawah dan ladang, hutan dan semak belum termasuk. Hutan-hutan itu hanya untuk sumber kayu bakar. Ada dua rawa kecil di dekatnya.
Disana ada kandang sapi yang sangat panjang dan juga kuda-kuda. Sepanjang hari saya bergelut dengan bau busuk. Saya harus mengawasinya dengan kuda-kuda itu. Setiap hari Tuan Domschoor memeriksa sapi. Tetapi sekarang semua ditangani sendiri oleh Mama.
Tanah disini sangat bagus, bisa menghasilkan kacang tanah kering glondongan tiga ton setiap hektar. Kalau tidak membuktikan sendiri boleh jadi orang tidak akan percaya. Tanahnya sangat baik. Menguntungkan. Rendengnya pun baik buat pupuk dan buat ternak.

Beberapa pekerja perempuan melintas. Mereka membawa ember-ember seng berisi susu hasil perahan. Sementara yang laki-laki memanggul karung kacang tanah dan juga ada yang menggeledeknya.

40. Annelies
Disini ada pekerja wanita. Hanya tidak berbaju kerja. Mereka sangat merdeka. Mereka juga sangat akrab dengan saya. Minem…! (Memanggil seseorang gadis pekerja pribumi).
Berapa ember perahanmu…?

41. Minem
Ngapunten, Ndoro Putri. Dereng mindak-mindak.

42. Annelies
Kalau pekerjaanmu tidak pernah meningkat, apakah bisa menjadi mandor-perah?

43. Minem
Bilih Ndoro Putri berkenan, saget mawon..

44. Annelies
Sebagai mandor harus kerjanya baik. Memberi contoh yang lain. Kalau hasil perahanmu tidak lebih banyak dari yang lain tidak akan bisa menjadi mandor.

45. Minem
Ngapunten Ndoro Putri, para buruh menika dereng gadah mandor

46. Annelies
Saya kan Mandormu. Ah..lupakan soal Mandor, kembalilah bekerja. (Kepada Minke) Di sana ada kandang kuda dan disimpan beberapa kereta. Luasnya satu gedung pendapa kabupaten. Keretanya berwana kuning keemasan dan berlampu karbit.

47. Minke
Pernah kau melihat gambar Sri Ratu?

48. Annelies
Tentu saja. Cantiknya bukan main.

49. Minke
Ya..kau tidak salah. Tetapi kau lebih dari padanya. Kau adalah gadis cantik yang pernah saya temui.

50. Annelies
(Tersipu malu) Terimakasih Minke…

Annelies berlari hendak meninggalkan Minke. Minke hendak menangkapnya, tetapi terhadang Tuan Besar Mellema.

51. Tuan Besar Mellema
Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet? Kowe kira, kalau sudah pake kain Eropa, bersama Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Kowe tetap monyet!

Nyai Ontosoroh muncul

52. Nyai Ontosoroh
Tutup mulutmu! Ia tamu saya! Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri! (Menunjuk satu arah. Tuan Besar Mellema masih berdiri) Atau saya panggil Darsam? (Tuan Mellema bergegas pergi) Bedebah! Diam kau Ann. Maafkan kami Minke, Nyo. Duduklah kembali, jangan bikin pusing, Ann. Duduk kau di kursimu.
Kau, tak perlu malu pada Sinyo. Dan kau, Nyo, memang Sinyo takkan mungkin dapat lupakan. Saya takkan malu, jangan Sinyo kaget atau ikut malu. Jangan gusar. Semua sudah saya letakkan pada tempatnya yang benar. Anggap dia tidak ada, Nyo.
Dulu saya memang Nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Lebih menyukai bersarang di rumah plesiran (pelacuran). Papapmu, orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah Papamu, Ann.
Kalau saya tidak keras begini, Nyo…maafkan saya harus membela diri sehina ini, akan jadi apa semua ini? Anak-anaknya, perusahaannya, semua sudah akan menjadi gembel. Jadi saya tak menyesal sudah bertindak begini di hadapanmu, Nyo. Jangan angap saya biadab. Semua untuk kebaikan dia sendiri. Dia telah saya berlakukan sebagaimana dia kehendaki. Itu yang dia kehendaki, begini, Minke. Orang-orang Eropa sendiri tidak disekolahkan di dalam kehidupan ini.
Sinyo Minke, Annelies tak punya teman. Dia senang Sinyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu, itu saya tahu. Biar begitu, usahakan sering datang kemari. Tak perlu kuatir pada Tuan Mellema. Itu urusan saya. Kalau sinyo suka, kami akan senang. Apalagi kalau Sinyo suka bekerja dan berusaha, kau cukup di sini saja bersama kami. Itu kalo Sinyo suka.
Darsam! Darsam! (Darsam masuk) Tuan muda ini tamu saya, tamu Non Annelies. Antarkan pulang dan jangan sampai terjadi apa-apa di jalan.

53. Minke
Terima kasih, Mama. Semuannya itu baik dan menyenangkan, namun harus sayapikir-pikir dulu. Apalagi banyak sudah pekerjaan dan janji dengan sahabat-sahabat saya yang ada.

54. Nyai Ontosoroh
Itu baik. Manusia yang wajar, meski mempunyai sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat, hidup akan terlalu sunyi. Seka air matamu, Ann, biar tamumu pulang dulu.

55. Annelies
Maafkan kami, Minke.

Orang-orang kembali sibuk bekerja. Minke dan Darsama menyelinap di antara orang-orang yang lalu lalang. Annelies memandangnya dengan penuh harap. Mereka melambaikan tangan. Annelies membisikan sesuatu pada Nyai. Tiba-tiba Nyai berteriak.
(Minke! Minke!....Minke !) Sebuah musik cinta mengalun merdu.

ADEGAN 2
Annelies duduk di kursi dengan murung. Hatinya berdegub kencang, ketika mendengar suara kuda meringkik. Annelies merindukan Minke.

56. Nyai Ontosoroh
Tak pernah Mama melihat, Ann, semurung ini?

57. Annelies
Apakah Mama suka pada Minke?

58. Nyai Ontosoroh
Tentu Ann, dia anak yang baik. Bagaimana mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka? Orang tua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita siapa takkan bangga jadi istrinya nanti? Istri syah? Mamapun bangga punya menantu dia. Karena itu kau tak perlu kuatirkan sesuatu.

59. Annelies
(Masih tidak yakin) Tetapi apakah dia juga mencintai saya?

60. Nyai Ontosoroh
Pemuda siapa yang tak kan tergila padamu? Totok, Indo, Pribumi. Semua menginginkanmu. Mama mengerti, Ann. Tak akan ada gadis secantik kau, di Wonokromo ini.

61. Annelies
Kalau orang tuanya melarang, bagaimana?

62. Nyai Ontosoroh
Jangan kau pikirkan apa-apa. Mama akan mengatur semua. Dan kau berhak menentukan pada akhirnya. Semua terserah kamu, Ann. Tidak seperti Mamamu dulu. Saya tidak punya hak untuk menentukan masa depan saya. Semua telah ditentukan oleh ayah saya.
Mamamu hanya bisa menunggu datangnya seorang laki-laki yang akan mengambilnya dari rumah, entah kemana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau ke empat. Ayah saya dan hanya ayah saya yang menentukan. Apakah yang mengambil seorang laki-laki tua atau muda, seorang perawan tidak berhak tahu. Sekali peristiwa itu terjadi, perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada laki-laki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusirnya.
Tak ada pilihan. Boleh jadi mereka yang datang seorang penjahat, penjudi, atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman dan belum beristri.

63. Annelies
Kapan Mama merasa sangat bahagia?

64. Nyai Ontosoroh
Biarpun pendek dan sedikit, setiap orang pernah, Ann. Ada banyak tahun setelah saya ikut TB Mellema, Ayahmu. Yang sekarang ini saya tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang saya kuatirkan. Saya ingin lihat kau berbahagia. Saya didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak harus tergantung pada suami.
Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti saya dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini : Tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat yang tiba-tiba datang membawa kebahagiaan?

65. Annelies
(Memeluk Mamanya) Saya sayang sekali sama Mama. Saya bahagia sekali Mama.

Musik mengalun lirih. Lampu fide out. Menuju Babak III.

BABAK III

Musik cinta itu berubah menjadi kacau dan amarah. Robert dan Annelies bertengkar. TB Mellema tidak memperdulikannya. Nyai memandang dengan perasaan geram.

66. Robert Mellema
Aku bukan pribumi! Aku bukan Pribumi! Aku anak Papa…wek!

67. Annelies
Mama, Annelies anak Mama, bukan?

Nyai Ontosoroh mengangguk ragu. Mereka masih saling mengejek.

68. Nyai Ontosoroh
Tak terasa Robert dan Annelies sudah besar. Sebaiknya kita ke pengadilan untuk mendaftarkan kita, sehingga anak-anak kita diakui sebagai anak-anak sedarah, anak syah.

69. Tuan Besar Mellema
Itu sudah saya pikirkan sejak semula. Kemarin aku datang ke pengadilan untuk meminta pengakuan. Ternyata dengan campur tangan hukum, justru Robert dan Annelies tetap dianggap anak tidak syah dan hanya diakui sebagai anakku, anak tuan Mellema.

70. Nyai Ontosoroh
Bukankah saya Ibunya? Saya yang mengandung dan melahirkannya. Saya yang merewat dan membesarkannya…? Ini adalah fakta…? Hukum tuan tidak mengakui saya sebagai Ibu anakku sendiri, hanya karena saya pribumi dan tidak kawin secara syah dengan Tuan. Ya, saya mengerti. Seharusnya saya tidak bertanya-tanya ini. tetapi, syah atau tidak menurut hukum Tuan, saya tetaplah Ibu dari anak-anak saya.

71. Robert Mellema
(Berteriak keras) Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak perduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa. Aku bukan pribumi.

72. Nyai Ontosoroh
Robert, masihkan sedikit punya kesopanan terhadap Ibumu? Buatmu, tidak ada yang lebih agung dari pada menjadi Eropa? Dan kau menginginkan semua pribumi untuk tunduk padamu yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Pergi sana. Jadilah orang Eropa yang kau agungkan.

73. Robert Mellema
Papaku bukan pribumi.

74. Nyai Ontosoroh
Dan saya ibumu. Saya yang melahirkan kau…

Robert menyingkir sedikit lalu pergi dan berteriak

75. Robert Mellema
Papaku bukan pribumi…

Annelies berdiri di sudut ruang. Kepalanya tertunduk.

76. Nyai Ontosoroh
Kau boleh ikut abangmu…(Hendak pergi)

77. Annelies
(Mencegahnya) Tidak, Ma. Annelies anak Mama…Mamaku sayang. Engkau mempunyai cinta yang agung. Tetapi betapa diri ini juga merasa lelah. Lelah harus terus bekerja siang malam, mengikuti Mama yang kadang seperti mesin. Terus dan terus. Dan di sana ada kemurungan. Ya, kemurungan yang tak terungkap, meskipun cinta Mama juga telah memberiku kekuatan….Ah..Mama, Mamaku sayang. Engkaulah kebesaran dan kekuasaan satu-satunya yang kukenal.

Tiba-tiba Darsam on stage

78. Darsam
Ada tamu, Nyai!

79. Nyai Ontosoroh
Siapa?

Darsam belum menjawab Mauritz Mellema on stage.

80. Mauritz Mellema
(Masuk tanpa permisi) Mana Tuan Mellema!

81. Nyai Ontosoroh
Bisa saya bantu, Tuan?

82. Mauritz Mellema
Hanya tuan Mellema yang kuperlukan

83. Nyai Ontosoroh
Saya Nyai Ontosoroh.

84. Mauritz Mellema
Hanya tuan Mellema yang kuperlukan!

Nyai meninggalkan dengan perasaan marah.

85. Tuan Besar Mellema
Oh, silahkan duduk Mauritz. Kau sudah segagah ini?!

86. Mauritz Mellema
Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, tuan Mellema! Ibuku, Mevrow Amelia Mellema-Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur.
Tuan telah tinggalkan Mevrow Amelia Harmers, Ibuku, dengan satu tuduhan berbuat serong. Aku anaknya, ikut merasa terhina. Tuan tak pernah mengajukan soal ini ke pengadilan. Tuan tidak memberi kesempatan kepada Ibuku untuk membela diri. Tuan seenaknya saja menggantungkan perkara Ibuku, sehingga Ibuku susah karenanya. Seharusnya Ibuku bisa kawin lagi dan hidup bahagia.

87. Tuan Besar Mellema
Dari dulu dia bisa datang ke pengadilan kalau membutuhkan cerai. Kalau aku yang mengajukan perkara, Ibumu akan kehilangan semua haknya atas semua perusahaan susuku di sana. Kalau ibumu sejak dulu tak ada keberatan sekandal itu diketahui umum, tentu aku telah pergi ke pengadilan.

88. Mauritz Mellema
Jangan berlagak menjadi seorang humanis, Tuan Mellema. Tahu apa Tuan tentang hak? Mengapa mesti Mevrow Melllema Harmers ke pengadilan, kalau yang menuduh Tuan? Kalau tuan yakin Ibuku serong, mengapa tuan tidak mengajukan tuntutan cerai saat itu ke pengadilan?
Dahulu Ibuku belum mampu menyewa pengacara. Sekarang anaknya sanggup, bahkan yang semahal-mahalnya. Tuan bisa buka perkara. Tuan juga cukup kaya untuk membiayai semua.
Aku tahu apa saja yang ada dalam setiap kamar rumah ini, berapa pekerja, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan sawahmu, berapa penghasilannmu setiap tahun, berapa depositomu.
Dan yang terhebat dari semua itu, Tuan Mellema, yaitu sesuatu yang menyangkut azas hidup, bahwa Tuan telah meninggalkan dakwaan seorang kepada istri Tuan, Ibuku. Apa kenyataannya sekarang? Tuanlah yang justru telah mengambil seorang perempuan pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk sehari dua hari, bahkan sudah bertahun-tahun!! Siang dan malam. Tanpa perkawinan yang syah. Tuan sudah menyebabkan lahirnya dua anak haram jadah!!

Nyai Ontosoroh masuk sambil marah, mendengar kalimat Mauritz.

89. Nyai Ontosoroh
Jaga mulutmu. Ini rumah kami. Kami berhak mengusirmu. Ucapanmu hanya patut didengarkan di rumahmu sendiri!! Tak ada hak padamu bicara tentang keluarga saya. Ini rumahku. Bicaralah di sana di pinggir jalan sana, bukan di sini!

90. Mauritz Mellema
Hemm…o..o..o..ini tidak ada urusannya dengan kowe, Nyai. Tuan Mellema, biarpun tuan kawini Nyai, gundik ini, dengan perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekerinya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrow Amellia Mellema Hamers, lebih busuk dari semua dari kebusukan yang pernah Tuan tuduhkan kepada Ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir pribumi berwarna! Dosamu tak terampuni, Tuan!.

91. Nyai Ontosoroh
Tuan Insinyur yang saya hormati. Ternyata otakmu lebih kotor dari mulutmu. Lebih baik segeralah pergi. Bikin kacau rumah tangga orang. Mengaku insinyur, tetapi tak punya sopan santun.

Mauritz memandangi Nyai dengan jijik.

92. Mauritz Mellema
Seorang gundik juga punya sopan santun? Tuan Mellema, jadi tuan tahu sekarang siapa sesunguhnya Tuan? Sssssttttt! (Memberi isyarat kepada Nyai Ontosoroh untuk tidak berbicara) Diam kamu gundik….! (Out stage)

Suasana hening

93. Nyai Ontosoroh
Seperti itukah peradaban Eropa yang kau ajarkan pada saya? Kau angungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki rumah atangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatau kali bisa datang untuk kemudian memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa mencampuri urusan orang lain?
Begitukah adab orang Eropa yang kau agungkan. Apa guna ilmu pengetahuan yang kau miliki? Apa guna kau jadi orang eropa yang dihormati semua orang pribumi? Apa guna kau jadi tuan ku dan guruku sekaligus dan dewaku, kalau membela dirimu saja tak mampu….?

94. Tuan Besar Mellema
Mauritz…Mauritz…Mauritz…(Out stage)

95. Nyai Ontosoroh
(Tetap Terpaku)

96. Annelies
Ada apa…Ma…?

97. Nyai Ontosoroh
(Menggelengkan kepala. Memeluk Annelies)

Musik mengalun lirih. Orang-orang hilir mudik, bekerja tanpa gairah.
BABAK IV

ADEGAN 1
Sederet pelacur sedang berpasang-pasangan dengan lelakinya. Beberapa centeng berjalan kesana-kemari. Seorang pemabuk melintas.
ADEGAN 2
TB Mellema datang disambut gembira oleh Babah Ah Tjong.

98. Babah Ah Tjong
Aya…Tuan Besal mau ada yang balu. Di sana Tuan tinggal pilih-pilih. Ada lima yang balu-balu oi datangkan dari negeri Tiongkok. Yang local juga ada, oi datangkan dari Blitar dan Dampit. Tuan Besal pasti senang. Tinggal pilih, tinggal pilih. Meleka masih gadis-gadis…Meleka juga pada pandai menali.
Mau pilih yang mana tuan? (Tuan Besar Mellema memilih orang yang berpakaian Jawa). Oi…oi…masih kulang puas juga dengan olang Jawa, Tuan. Tapi tidak apa, dia pandai sekali melawat tubuhnya, makanya kelihatan sintal, kayak Nyai, hemmm. Silahkan Tuan. Pelalis, pelalis…!(Tuan Besar Mellema out stage).
(Robert Mellema on stage). Oh..tabik Sinyo Lobet. Hali bagus, Nyo. Hali pelesil sekalang. Ayoh, Nyo, mampil. Ada yang baru. Tinggal pilih, tinggal pilih, Nyo!
Oh mungkin Sinyo tidak suka. Oi sediakan yang lain. Nah ini Meiko. Oi datangkan khusus buat Nyo, dari Jepun. Sinyo juga boleh pakai kamal mana saja Sinyo suka. Tinggal pilih, tinggal pilih. Ayo, Meiko bawa Sinyo Lobet ke dalam. Layani baek-baek.
Pelalis…pelalis… (Robert Mellema out stage) Aya…anak belanak sama saja. Tinggal kilim tagihannya ke lumah Buitenzorg itu, ke Nyainya. He…he…selamat belsenang-senang, Nyo…Tuan Besar…eh…besal…

ADEGAN 3 : Setting : Sekitar rumah Nyai Ontosoroh
Musik berdentang. Di tempat lain, Minke sedang melamun sendirian.

99. Minke
Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, saya jatuh cinta pada Annelies. Mimpipun tidak. Saya bahkan telah tinggal bersama-sama penghuni Buitenzorg itu. Anak dan Ibunya begitu mengesankan. Suatu sosok yang berbeda, tetapi alangkah kuatnya mereka itu. Apa yang ada dalam pendapat umum tentang Nyai-Nyai yang sering di sas-suskan, terbalik dengan apa yang saya lihat. Saya telah jatuh cinta.
Tak pernah akau jatuh cinta. Tetapi memang dara itu, Annelies, sangat menarik dan cantik tiada banding, Bahkan sang Ratu di Nederland sana kalah. Annelies sangat menarik, menawan. Tetapi Ibunya, Nyai Ontosoroh, tak kalah menariknya. Ia adalah perempuan yang sangat kuat, bahkan mengendalikan seluruh usahnya di rumah yang sering disebut-sebut seram, bahkan ia bisa membentak tuannya. Jadi pendapat umum tentang Nyai-Nyai itu keliru. Ah, apakah saya benar-benar jatuh cinta?

100. Robert Mellema
Hei, Minke! Betul kau suka pada adikku? Adikku memang gadis yang baik dan pandai bekerja, juga cantik. Sayang sekali kau hanya pribumi.

101. Minke
Apa salahnya dengan pribumi?

102. Robert Mellema
Kau tidak tahu diri Minke! Kau tak akan pernah mendapatkan apa yang kau impikan. Tidak Minke. Kau seorang kafir! Engkau seorang pribumi yang tidak pantas mengawini Eropa.

103. Minke
Tetapi Ibumu seorang pribumi.

104. Robert Mellema
Dia bukan ibuku. Dia lonthe!

105. Minke
Keterlaluan kau Robert!

106. Robert Mellema
Kau yang keterlaluan. Tidak tahu diri. Bedebah kau!

Robert Mellema Out stage. Minke berdiri seperti patung. Nyai dan Annelies on stage. Dikawal Darsam

107. Nyai Ontosoroh
Kau Nyo. Dari mana saja…? Annelies sakit merindukanmu, Nyo. Hanya kau yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Minke, Nyo. Jagalah buah hatiku ini. Kau jangan sampai sakit. Ayo sayang mendekatlah.

108. Annelies
Selimuti saya, Mas, mendekatlah kemari.

109. Minke
Kau manja sekali Ann…

110. Annelies
Kepada siapa lagi aku bermanja, kalau bukan padamu? Sekarang ceritai aku, Mas.

Minke dan Annelies melepas rindu. Nyai segera menyeret Darsam pergi (out stage)

111. Minke
Cerita apa, Ann? Jawa atau Eropa? Bahasa Jawa tau Belanda?

112. Annelies
Terserah Mas. Saya merindukan suaramu, kata-katamu, yang diucapkan dekat kuping, sampai terdengar nafasmu.

113. Minke
Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali. Kau tak diganggu nyamuk? Juga tidak ada cicak merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih, negeri itu sangat bersih. Negeri itu subur dan hijau. Segala yang ditanam jadi. Hama juga tak pernah ada. Tak ada penyakit dan kemiskinan. Semua orang hidup senang dan bahagia. Setiap orang pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Orang punya kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekorpun tak ada yang belang….

114. Annelies
Ah..Mas ceritanya kacau…masak ada kuda kuning, biru, merah jambu…ada-ada saja…tentu tidak ada kuda belang. Yang ada kan kucing….

115. Minke
Gurau Ann….(pause) Ann..saya mau bertanya…e…e…

116. Annelies
Apa?

117. Minke
Apakah saya bukan laki-laki yang pertama, Ann?

Tiba-tiba wajah Annelies berubah total. Bahkan kemudaian air matanya menetes.

118. Annelies
Saya tahu, semua laki-laki akan selalu bertanya seperti itu. Apakah kau menyesal, Mas?

119. Minke
Tidak. Maafkan atas pertanyaan yang tidak pada perlunya…

120. Annelies
Akan kau peristri aku, Mas…?

121. Minke
Ya………

122. Annelies
(Tambah menangis sesenggukan) Kau bukan lelaki yang pertama, Mas. Tetapi itu bukan kemauankau. Bukan kehendakku. Kecelakaan itu sungguh tak bisa saya elakan…

123. Minke
Kecelakaan? Tidak, Ann. Kau sangat menderita. Boleh saya tahu, siapa yang telah melakukannya Ann?

124. Annelies
Memalukan! Dia binatang! Binatang! Binatang!

125. Minke
Kalau boleh saya tahu, binatang itu siapa? (Pause) Robert! Suuhroff? Atau…?

126. Annelies
(Pause) Dia Robert Mellema! (Menangis sejadinya)

127. Minke
Robert Mellema! Abangmu sendiri?

128. Annelies
Terkutuklah aku. Terkutuklah aku. Apakah kau menyesal….?

129. Minke
(Menggeleng) Ann…kau tetap sayangku. Kau akan jadi istriku. Kemarilah puspitaku. Kau adalah bunga Surabaya. Apakah kakau tahu, Iskandar Zulkarnain, Napoleon-pun akan berlutut memohon kasihmu? Untuk dapat menyentuh kulitmu, mereka akan bersedia mengorbankan seluruh bangsa dan negerinya?

130. Annelies
Engkau pangerankau. Terima kasih Minke, engkau telah datang, mengisi hati dan hari-hariku. Mengusir kesunyian hidup. Engkau memberi warna pada detik-detikku. Kini sepiku menjelma menjadi gairah tak terbendungkan…

Minke dan Annelies berpelukan. Tiba-tiba hujan bunga-bunga. Annelies dan Minke menari-nari. Seorang buruh dengan takjim membersihkan bunga-bunga itu setangkai demi setangkai. Perlahan-lahan lampu fide out.


BABAK V

Di rumah pelacuran Babah Ah Tjong, Tuan Mellema sedang mabuk berat. Dia sempoyongan. Tiba-tiba terhuyung dan jatuh ke lantai. Para pelacur berhamburan mendekat. Darsam muncul tiba-tiba.

131. Darsam
Tuan! Tuan Mellema..! (Menggoyang-goyang tubuh. Mendengar napas) Tuan Mellema mati! (Para pelacur segera berhamburan menjauh) Nyai…! Nyai…! Tuan Mellema Nyai…! (Berteriak keras sekali)

Nyai Ontosoroh, Annelies, Minke datang secara bersamaan.

132. Darsam
Nyai, Noni, Tuan Mellema mati!

133. Nyai Ontosoroh
(Mendekat) Bau minuman keras. Baunya seperti bau mulut anaknya Robert Mellema.

Robert Mellema muncul dari tengah-tengah pelacur. Kemudian pergi begitu saja.

134. Darsam
Nyo…! Nyo..! Jangan lari!

135. Nyai Ontosoroh
Sudah-sudah, jangan teruskan gila-gilaan seperti ini. Dia anak saya. Darsam, urus tuanmu itu!

136. Darsam
Baik Nyai!

Mayat itu kemudian ditutup dengan jarit sidomukti. Minke, Annelies duduk di dekat mayat TB Mellema. Para pelacur dan orang-orang juga duduk dengan ta’jim. Musik mengalun lirih sekali. Terdengar lamat-lamat tembang megatruh:

Duh…duh…aduh..
Ambok uwis, ing pamecut
Tiba deresing kepati
Kinarpakna, dadi lakon
Kang tumiba, ing awakku

137. Nyai Ontosoroh :
Kalian lihat sendiri kelakuan TB Mellema. Diurus di rumah dengan baik, dia malah memilih diurus orang lain, Babah Ah Tjong. Dia telah berbuat sedheng karena tekanan yang begitu berat dari anaknya Mauritz Mellema, Robert Mellema, dan tentunya hukum Eropa yang telah dipahaminya, tetapi tak pernah bisa ia tolak kenyataan yang akan terjadi.
Perlu tuan-tuan ketahui (Kepada penonton) Sejak kematian TB Mellema, saya lalui hari demi hari dengan penuh gunjingan. Semua orang membicarakan TB Mellema. Surat kabar tak habis-habisnya mengabarkan kematian TB Mellema yang memalukan ini.
Berita demi berita tak ada yang benar. Simpang siur, dibumbu-bumbui. TB Mellema dikabarkan mati diracun, entah oleh siapa. Tetapi sesaat sebelum kematiannya, dia tampak mabuk. Dari mulutnya bahu alcohol, persis yang disukai anaknya Robert Mellema. Robert Mellema sendiri tampak berada di rumah plesiran Babah Ah Tjong. Tetapi dia lari. Babah Ah Tjong sendiri tiba-tiba raib.
Para tetangga, berbicara semaunya sendiri. Kami maklum, karena mereka semua tidak bisa membaca. Koran-koran yang ada kebanyakan berbahasa Belanda. Tetapi yang pasti. Koran-koran Eropa jelas memihak TB Mellema dan memojokan keluarga kami. Tidak berbeda jauh, orang-orang Eropa dan pribumi yang memandang Nyai sangat buruk, menuduh Nyai lah yang telah menyebabkan tewasnya TB Mellema.
Darsam dan Minke telah banyak membela saya. Darinyalah orang-orang pribumi itu akhirnya tahu, bahwa saya tidak bersalah. Namun ujian tidak berhenti di sini. Ujian terberat adalah hari-hari menghadapi persidangan. Saya sangat pesimis, seorang pribumi seperti saya, apalagi sudah dicap sebagai gundiknya, tidak akan menang di penggadilan Eropa. Pengadilan kulit putih. Tidak akan menang! Tulisan-tulisan yang dibuat Minke di surat kabar, seperti angin lalu saja. Ketika di pengadilan, saya diperlakukan diskriminatif. Saya tidak boleh menggunakan bahasa Belanda meski saya mampu melafalkan dengan baik dan benar. Katanya : ‘Nyai tidak diperkenankan menggunakan bahasa Belanda. Nyai pribumi. Nyai harus memakai bahasa Jawa, bahasa bangsamu.’
Kepada Tuan Hakim saya katakan, saya tidak pernah kenal dengan Babah Ah Tjong. Yang saya tahu, setiap bulan datang tagihan dari rumah plesirannya untuk TB Mellema dan anaknya Tuan Robert Mellema. Setiap bulan TB Mellema menghabiskan 45 gulden. Sedang anaknya 60 gulden. Mereka harus membayar mahal karena mereka hanya mau pelacur-pelacur asing seperti Meiko dari Jepang itu.
Namun persoalan ini terus melebar. Minke dilibatkan. Mereka menanyakan hubungannya Minke dengan Annelies. Saya katakan kepada Tuan Hakim dan jaksa, bahwa kematian TB Mellema tidak ada kaitannya dengan Minke dan Annelies. Mereka tidak pernah memperdulikannya. Sepertinya telah terjadi persekongkolan untuk merampas semua yang kami miliki.
Tetapi baik, saya akan jawab agar tuan-tuan tahu: Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, kalian telah memulai membongkar keadaan rumah tangga saya. Saya Sanikem, gundik Tuan Besar Mellema. Sanikem memang hanya seorang gundik. Dari gundiknyalah lahir Annelies dan Robert Mellema. Perlu tuan ketahui, selama ini tak pernah ada yang menggugat hubungan saya dengan mendiang. Kenapa? Apakah karena Tuan Besar Eropa Totok. Mengapa hubungan anak saya kalian persoalkan? Mengapa? Hanya karena Minke pribumi?
Tuan-tuan yang terhormat. Antara saya dan TB Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum Eropa. Antara anaku dengan Tuan Minke ada cinta mencintai yang sama-sama tulus, bahkan mereka sudah diikat dalam perkawinan yang syah. Sekali lagi tuan, orang Eropa dapat membeli perempuan pribumi seperti diri saya ini, tetapi tak seorangpun memprotesnya. Apakah pembelian ini lebih benar dari pada percintaan yang tulus dari kedua insan ini? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan dan kekuasaannya, mengapa kalau pribumi jadi ejekan, justru karena cinta yang tulus?
Apa karena Annelies indo, tuan Minke anak bangsawan? Jadi Annelies punya kedudukan seperti orang berdarah Eropa? Tetapi Annelies, sayalah yang melahirkan, membesarkan dan mendidiknya, tanpa bantuan satu sen pun dari Tuan-tuan yang terhormat.
Siapa yang menjadikan saya gundik? Siapa yang membikin mereka jadi Nyai-nyai? Tuan-tuan, bangsa Eropa yang dipertuan! Mengapa kami ditertawakan dan dihinakan? Apakah tuang-tuan menghendaki anak saya juga jadi gundik? Kalianlah yang membuat saya menjadi Nyai, menjadi gundik!

138. Minke
Tuan-tuan saya menyakal semua keputusan Tuan Hakim dan Tuan Jaksa. Saya suami Annelies. Saya mencintainya. Cinta setulusnya. Apakah perlu saya jelaskan kapan dan di mana kami kawin? Saya dan Annelies sudah menikah secara Islam, kami punya saksi.
Meski hukum Tuan menyatakan perkawinan kami tidak syah, kami adalah duan insan yang telah diikat tali perkawinan yang syah. Tak akan ada yang bisa memisahkan.
Hadirin sekalian, apakah ini pengadilan yang adil? Annelies dengan mudah akan dibawa pulang ke Nederland, negeri leluhurnya dengan alasan perkawinan saya tidak syah, karena dia Indo saya pribumi. Apakah ini yang dinamakan hukum?
Annelies, Mas akan lawan semua yang berusaha memisah kita. Mama dan saya akan tetap berusaha sekuat tenaga, biarpun begitu sulit. Kita akan melawan Annelies. Biarpun hanya dengan tulisan atau dengan teman-teman yang masih mempunyai rasa simpati kepada kita. Pengadilan itu sudah tidak lagi menyoal kematian Tuan Mellema. Mereka berusaha memisahkan kita.
Mama, kita akan melawannya. Akan saya tulis peristiwa persidangan kematian Tuan Mellema itu. Akan saya ungkap sejelas-jelasnya di koran-koran, surat-surat juga akan saya tulis dan akan saya kirim kepada teman-teman di Eropa. Apabila tak ada yang mendengarkan, tahulah saya, omong kosong saja segala ilmu pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan. Omong kosong!
Pada akhirnya ilmu pengetahuan itu akan berarti hanya alat untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai : Kehormatan, hak, bahkan juga anak dan istri.
Sekarang semua sangat jelas. Mauritz Mellema telah bersekongkol dengan pengadilan Amsterdam untuk menyingkirkan kita, merampas semua yang ada. Ah Eropa, semua yang saya kagumi, runtuh dalam sekejap.
Ah, istriku tinggal berapa lama lagi kita berkumpul. Kau akan berangkat kekasihku. Apa yang bakal terjadi nanti dengan dirimu, kekasihku? Ann, bagaimana dengan diriku? Apakah kau akan seperti kilat jatuh jauh di sana, mengerjap sekejap, untuk kemudian hilang buat selama-lamanya?

139. Annelies
Mas, tubuhku lemah tak berdaya. Tak berdaya, melawan sakit ini semua. Dikala sakit seperti ini aku terkenang dengan cerita-cerita yang Mas ceritakan tentang negeri Belanda menurut cerita Multatuli. Katamu, nun jauh di sana ada negeri di tepi laut utara. Tanahnya rendah, maka dinamai negeri Tanah Rendah, Nederland atau Holand. Mereka mengembara keseluruh pelosok bumi karena mereka bosan membuat tanggul-tanggul dan lebih mengagumi negeri yang jauh, bergunung-gunung, tanahnya subur, penuh laut dan pantai, kemudian menguasainya. Aku lebih menyukai tanah yang bergunung dan pantai-pantai daripada Nederland. Tetapi persekongkolan hukum ini telah membuat aku tidak punya pilihan apa-apa.
Mama, masih ingatkah dengan cerita tentang kopor itu. Aku akan pergi dengan kopor yang membuat Mama bertekat menjadi seperti ini. Dengan kopor itu dulu Mama pergi dan bertekad tak akan kembali lagi. Kopor itu terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku tidak akan membawa apa-apa, kecuali kain batik dari Mama dan pakaian pengantinku. Semua akan menjadi kenangan, Mama. Aku pasti merindukan kalian semua…
Suamiku, jangan menangis. Aku tetap mencintai suamiku selamanya. Sembah sungkemku untuk Mama, Mas…aku akan pergi. Jangan kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat, biarkan berlalu, Mamaku sayang, suamiku tercinta, jangan menangis. Kenanglah yang baik dan lupakan yang buruk. Aku hanya minta kepada Mama dan suamiku, buatkan aku adik kecil yang tidak merepotkan sepertiku. Rawatlah dia sebaik-baiknya sampai Mama, tak merasa lagi pernah ada Annelies di sisi Mama…

140. Dua Orang Utusan
Waktu kurang dua menit. Kapal akan segera berangkat.

Seseorang membawakan kopor besar dari dalam. Annelies memeluk Minke dan Nyai Ontosoroh. Dua Orang Utusan dan Annelies out stage.

Suasana hening.

141. Minke
Mama, putramu kalah. Sebegini lemah kita di hadapan orang Eropa. (Pause) Kau yang saya kagumi telah merampas segalanya. (Menggumam) Maafkan suamimu Ann.
(Kepada Nyai Ontosoroh) Kita kalah, Ma…

142. Nyai Ontosoroh
Kita telah melawan, Nak Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.

Musik. Lampu fide out. Layar menurun. Pertunjukan selesai.

Surabaya, Maret-Desember 2006
R. Giryadi
(Sutradara Teater Institut)

Naskah ini pernah diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki dalam bentuk drama yang sangat panjang.
Naskah ini diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, penerbit Hasta Mitra cetakan ke lima 1981.




Kamis, 10 Januari 2008

ORDE MIMPI


OLEH : R Giryadi
(Teater Apakah Surabaya)

Drama ini dimulai dengan suara berdentang tanda kehidupan dimulai. Musik ritmis mengiringi dentang yang berdenyut seperti detak nadi. Ligthing perlahan menyala menyinari orang-orang dalam tabung besar. Mulut dan mata mereka tertutup rapat. Seperti sedang menjalani sebuah proses kelahiran. Di luar tabung besar, dua orang sedang bercakap-cakap serius.

01.PAKARWAN:
(Modar-mandir, gelisah) Aku belum menemukan jawaban.
02.RIBAWAN
Apa perlu rumus-rumus?
03.PAKARWAN
(Berpikir sejenak) Sebenarnya tidak perlu. Tetapi aku ragu, kerena mereka penuh dengan rumus-rumus yang telah diformalasikan. Lihat kepala mereka terlalu besar. Di dalamanya segebok rumus-rumus hidup siap digunakan.
04.RIBAWAN
Jadi, masih diperlukan perhitungan yang tepat?
05.PAKARWAN
Bukan perhitungan tetapi kesepakatan. Jangan sampai kehadirannya menjadikan suasana kacau.
06.PAKARWAN
Tetapi mereka kan berdiri dari rumus-rumus. Kita siap mengendalikan.
07.RIBAWAN
Jadi apakah harus kita delete tanda formulasi?
09.PAKARWAN
Mana mungkin bisa? Tanda-tanda itulah yang mungkinkan mereka hidup. (Mencoba berpikir lagi) Ah….buntu!

Musik irama dengus laboratorium terdengar perlahan. Kedua orang sedang mengamati hasil eksperimenya. Mereka membicarakan sekutu tetapi tidak terdengar. Mereka begitu serius. Dan dari sudut lain datang seseorang yang dikawal orang berpakaian aneh.

10.TUAN JABAT
Selamat apa saja!
11.KOOR
Selamat apa saja!
12.PAKARWAN
Oh, Tuan Jabat. Selamat datang di laboratorium Rekayasa Gene kami. Silahkan, silahkan. Kami sudah menunggunya sejak tadi. Mengenai pesanan itu, mohon diperiksa dulu.
13.TUAN JABAT
(Melihat-lihat tabung besar) Good, good. Apakah sudah bisa?
14.PAKARWAN
(Diam sejenak. Klincutan) E…..e…..begini ….e
15.RIBAWAN
Sudah, tuan…e…ee…tetapi
16.TUAN JABAT
Oh..no. Kok, pakai tetapi segela!
17.RIBAWAN
Be..be..be benar Tuan. Kita masih perlu waktu untuk berpikirlebih matang.
18.TUAN JABAT
Ah, teori
19.PAKARWAN
Tepat sekali, Tuan. Kita memang masih butuh teori untuk menterjemahkan kelahirannya. Kita masih punya sisa benyak generasi yang nggangur. Bahkan dari informasi pihak Badan Pemerhati Generasi (BPG), ternyata masih banyak yang ingin memperpanjang hidupnya. E..e kalau tidak salah, menurut mereka, Tuan termasuk di dalamnya. Benarkah, Tuan?
20.TUAN JABAT
Ah, kamu itu tahu saja.
21.RIBAWAN
Menurut kabar angin. Kalau itu benar, Tuan sedang merehap rumah dan mengganti segala perabotannya. E, termasuk kursi kesayangan Tuan. Katanya sekarang kursi Tuan semakin tinggi. Begitukah?
22.TUAN JABAT
Wah, wah, wah. Ternyata kabar itu lebih santer dari kenyataan yang salah alami. No, no, saya merenofasi beberapi bagian saja. Itu kan, hanya menuruti istri dan anak-anak saja. Wah, wah, wah semakin tinggi kekuasaan semakin tinggi banyak angin yang menamparinya…haa…haaa..haa. I don’t now, mengapa mereka begitu menginginkanya?
23.RIBAWAN
Ingin menduduki kursi itu?
24.TUAN JABAT
Bukan, ingin membelinya. (Mereka bersam-sama tertawa cekikikan). Ah, lupakan saja. Terus, bagaimana ini, apakah perlu ada surat keputusan.
25.PAKARWAN
Tidak perlu formal-formalnya begitu. Mereka sudah dilengkapi dengan sistem pengendali otomotis yang menyatakan kelahirnya. Pada saatnya mereka akan keluar sendirinya sesuai dengan rencana kita. Yang perlu kita siapkan saat ini hanya, kesediaan kita menerima mereka di tengah-tengah kita.
26.TUAN JABAT
Teori lagi!
27.PAKARWAN
Kerena mereka terdiri dari rumus-rumus baru. Bisa-bisa kita habis oleh rumus-rumusnya . Kita tidak bisa berimprovisasi saja. Kita herus lebih pintar darinya.
28.TUAN JABAT
Apakah itu, yang menyebabkan keterlambatan kelahiran mereka.
29.RIBAWAN
Mungkin. Atau memang kita belum siap?
30.PAKARWAN
Bukan, kita belumterlalu membutuhkan kehadiranya.
31.TUAN JABAT
Itu ketakutan kita.
32.PAKARWAN
Bisa juga begitu.
33.TUAN JABAT
Ah, sudahlah jangan risau. Apakah kalian lupa dengan dua mesin disampingku ini. He, kalian ngomong. Jangan diam saja. Masak ngomong saja menunggu perintah.
34.KOOR
(M16DAN AK47) Siap Tuan!
35.TUAN JABAT
Ayo ngomong!
36.M16
Siap melaksankan tugas!
37.AK47
Siap melaksanakan tugas!
38.TUAN JABAT
Apa? Tugas apa ?
39.KOOR
(M16 DAN AK47) Siap, keamanan Tuan!
40.TUAN JABAT
Saya kira kalaian sudah mendengar sendiri. Saya tidak perlu berlama-lama di sini. Saya masih ada tugas jawabnya. Saya pergi dulu. Selama apa saja.
41.KOOR
Selamat apa saja!

Tuan jabat, M16, Ak47. Out stage. Pakarwan dan ribawan saling pandang, seperti membuat kesempakatan, kemudian out stage. Lighting perlahan meredup. Mesik mengiring keras seperti benda yang bergesek-gesekan, berbenturan. Musik berhenti, ketika mendengar suara dari spiker berkoar-koar.

42.SPIKER
Perhatian! Perhatian! System Pengendalian Pusat (SP2) memerintahkan agar mengendali-mengendali cabang siaga penuh. Gene 1, 2, dan 3, akan membuka sisitem sementara. Kepada gene1, 2, dan 3, kita akan masuk tanda formulasi plus (+), tanda kehidupan dimulai. (Tekan tombol) Selamat datang!

Ketiga gene yang berada dalam tabung plasktik, mulai bergerak perlahan-lahan. Tubuhnya otot-otot mulai meregak, kaku, dan kejang –kejang. Kejangan tubuhnya semakain lama semakin keras diikuti suara mengerang-ngerang , suara jerit, dan tangis.

43.SPIKER
Perhatian, kepada seluruh Sistem Pengendalian Cabang (SPC), kita menuju formula samadengan (=). Kepada masyarakat luas, mohon memperhatikan datangnya generasi baru gene 1, 2, dan 3. Semua cabang sudah siaga. Okey! Berpisah untuk meluncur melaksanakan tugas. Hitungan mundur : 10,9,8,7,6,5,4,3,2,1, go…!
Ketiganya meluncur melalui papan luncur. Musik berdendang keras. Lighting berkilat-kilat. Mereka meluncur cepat sekali, hingga bertemu pada sudut yang ditetentukan. Mereka saling pandang, saling mengamati, saling meraba seluruh tubuh. Mereka ingin saling sapa. Tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara. Mereka mengunakan bahasa isyarat yang tidak ada artinya. Dan membuat mereka bertambah bingung akhirnya mereka tidak meneruskan bicara. Tiba-tiba dikejutkan oleh suara dari spiker.

44.SPIKER
Halo, halo, SP2 memanggil. (Ketiga orang yang sedang melamun terperanjat, kemudian mencari sumber suara). E, maaf. Eror, eror, ada gangguan teknis. Maaf kita lupa menekan tombol kode bahasa. Tunggu sebentar, ada sesuatu (Sumber suara menjauh dan terdengar lirih. Speker tendengar sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan) –sebentar sayang, saya sedang serius, jangan ganggu saya. Nanti sajalah puaskan dirimu, kalu sudah selesai semuanya- (Suara kembali terdengar jelas) SP2 memanggil! Kode sudah ditekan, silahkan dicoba!

Mereka mulai menggerakana mulutnya. Kata yang mulai diucapkannya adalah: Aku, saya, dan kamu. Masing-masing menyebut dirinya dan saling menyebut yang lain.

45.ORANG I
Aku…..aku…. aku..(menunjuk dua temanya)
46.ORANG II
Aku? (menunjuk dirinya) Aku…A-k-u.
47.ORANG III
(Menunjuk dirinya) Aku…A-K-U

Orang I Tidak mengerti, dua temanya juga menyebut sama: Aku. Kemudian dari spiker terdengar suara. Mereka terkejut dan mencoba bersama-sama mendegarkanya.

48.SPIKER
Benar dan bagus. Kalian sudah mengenal kata. Untuk itu dari pengendalian dari pengendalian kata-kata yang telah dibuat sesempurna dan sebaik mungkin. Untuk itu gunakan bahasa itu sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Bahasa itu akan kalian gunakan untuk percakapan sehari-hari, agar kalian saling mengenal.
E..mohon perhatian, selain kalian akan diberi tanda pengenal yang disebut nama masing-masing, maka kata AKU harus ditanggalkan. Yang harus kalian gunakan adalah gene 1 mempunyai nama Pekerti. Ingat Pa-ker-ti. Gene 2 mempunyai arti Panarut. Ingat Pa-nu-rut, dan gene 3 mempunyai nama Panrimo. Ingat Pa-nri-mo.
Kali terakhir, larangan yang harus dipatuhi adalah (1). Dilarang berbicara terlalu keras .(2). Dilarang berpikir yang aneh-aneh. (3). Dilarang melihat sengaja maupun tidak sengaja. (4). Dilarang mengajukan pertanyaan dan usul.
SP2 akan mengambil tindakan preventif bila salah satu larangan kalian langgar. Disana ada M-16 dan Ak47. Kalau mereka tidak bisa mengatasi, maka akan diambil tindakan penangan khusus dengan merubah formula tanda kurang(-) bila memperlambat aktifitas anda dan tanda bagi (:) akan mengentikan aktifitas anda. Demikian mohon diperhatian dan selamat menempuh hidup baru.

(Sooosssssssss, suara spiker mengilang)

49.PAKERTI
He, jangan pergi! (sesaat, ia tidak sadar kalau sudah bisa berbicara. Mulutnya diraba seakan tidak seakan tidak percaya) Apa yang terjadi. Apa artinya ini? He, jangan pergi! Lo..apa ini? lagi-lagi aku..
50.PANURUT
(Memandang dengan penuh heran) Apa itu? (Ia terkejut dengan kalimat yang diucapkan).
51.PANRIMO
(Plenggang-plenggong, tidak mengerti apa-apa. Ia mendekati kedua orang temannya. Yang sedang meraba-raba mulutnya.ia ikut meraba mulutnya dan juga meraba mulut tamanya) Kenapa kamu? (Terkejut).

Mereka saling pandang. Kemudia saling meraba mulutnya sendiri dan mulut temannya. Sesekali burusaha melihat dalam mulut dengan rasa kagum, cemas, dan tak mengerti mereka duduk termenung.

52.PAKERTI
(Menunjuk) Siapa kalian?
53.PANRIMO
Kalian itu loh? (Tidak sadar)
54.PANURUT
Apa maksudmu!? (Berteriak)
56.PANRIMO.
Apa? (Juga tidak mengeti)
57.PEKERTI
A-p-a, Apa.
58.PANURUT
(Manggut-manggut)
59.PANRIMO
Kenapa? (Memandang dengan heran)
60.PENURUT
(Mengelengkan kepala)
61.PANRIMO
Lho…? (Tamabah tidak mengerti)

Mereka kembali saling memandang dengan ekspresi tak menetu. Dan tak seorang pun mengerti apa maksudnya. Mereka saling tatap bahkan saling meraba wajah mereka masing-masing dan juga saling meraba tubuh mereka. Pada puncaknya, mereka merasa geli. Gerakan tubuhnya kejang-kejang. Menggeliat-menggeliat. Tertawa kecil. Cekikikaan. Dan meledehkan tawa mereka.

62.KOOR.
Haaa, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha. (Terpingkal-pingkal).
63.PEKERTI.
Cukup, cukup, berhenti! (Berteriak)
64.PENURUT
Apa lagi itu? Hik…hik..Hik..ha..ha haaaaaaaa!
65.KOOR
(Tertawa terbahak-bahak. Semakin keras. Semakin terpingkal-pingkal).
66.TUAN JABAT.
(Dari dalam, muncul tiba-tiba) Pekerti. Panurut. Panrimo!
(Mereka berhenti tertawa, memandang kagum kepala Tuan Jabat dan dua pengawalnya) O, ternyata kalia sudah ada disini. (Mereka saling memandang, tidak mengerti). Maafkan saya dan dua pengawal setia saya ini, datang tidak tepat pada waktunya. (Tak kuat menahan tawa. Akhirnya tertawa bersama. Tetapi tiba-tiba mereka berhenti)
67.M-16 DAN AK-47
(Bersama-sama mengokang senjata)
68.TUAN JABAT
Pengawal janangan terlalu agresif. Biarkan mereka. Mungkin ada kesalahn. O, ya , saya lanjutkan. Jalanan macet, lagi pula informasi yang saya peroleh kurang akurat. Jadi maklum, tetapi untunglah akhirnya kita bisa bertemu. (Memandangi ketiganya) Oh, sungguh hasil yang memuaskan.
Tentunya kalian sangat beruntung dan bahagia terlahir di sini. Tempat ini begitu tentram dan damai. (Pause) Lo, kenapa kalian tampak murung. Jangan diam saja. Ayo coba katakan kegembiraanmu Pakerti. O, ya, siap yang namanya Pakerti. (Tidak ada yang mengangkat tangan). Lho? Yang namanya Panurut yang mana? (Tidak ada yang mengangkat tangan). Lho?! Panrimo yang mana? (Juga tidak ada yang mengangkat tangan). Lho!!!?? (Lebih keras).
Tidak apalah, tetepi berbahagialah, karena kamu mamasuki era baru kehidupan. Tidak gemen-gemen lo. Kalian sudah merdeka. Ini merdeka betul, tidak hanya dibibir saja. Lihat di sana ada gedung bertingkat. Ah, nanti kalian akan tahu, bagaimana rasanya merdeka. (Pause) Kenapa? O, ini? Jangan takut, mereka juga manusia seperti kalian. Ayo, pengawal mendekatlah, kenalkan mereka.
(M-16 DAN AK-47 menjulurkan tangan, tetapi mereka tetap diam, tidak mengerti maksudnya). Balaslah salamnya. Begini (Mengangkat tangan masing-masing, kemudian saling bersalaman). Ini namanaya M-16 dan yang satunya namanya AK-47. Mereka berdua bertugas sebagai pengawal dan juga penjaga keamana. (Pause) Apa kalian sakit to, kok diam saja?
69.KOOR
Apa??
70.TUAN JABAT
Apa? Jadi kalaian…?
71.KOOR
Apa….?
72.TUAN JABAT
Oh, Tuhan. Pasti ada yang tidak beres ini. No….berbahaya ini. Jangan kawatir. Pengawal! Lakukan sesuatu!
73.KOOR PENGAWAL
Siap, melaksanakan tugas!!(Bersama-sama mengokang senjata)
74.TUAN JABAT
Stop! Stop! Jangan terlalu reaktif to. Ini belum tingkat yang membahayakan. Maksudku bawalah mereka, dan karantina dulu. Jangan boleh menemui orang lain dulu. Mereka masih telanjang. Belum mengerti apa-apa.
75.KOOR PENGAWAL
Siap melaksanakan perintah! (Menggiring ketiga manusia baru)(Meraka bersama-sama menolak ajakan pegawal)
76.PEKERTI
Apa? (Tidak mau dibawa pergi)
77.TUAN JABAT
Tidak, apa-apa. Jangan takut. Kalaian hanya akan dibawa ketempat yang lebih aman. Ayo, pengawal bawa mereka!

Tanpa membantah sekatapun, mereka menurut digiring pengawal. Out stage. Musik terdengar lirih, menggiringi lagu kebisuan. Black out

BABAK 2

Lagu Kebisuan
Aku dilahirkan di padang sunyi.
Ilalang-ilalang menari-nari bercumbu dengan bulan.
Burung-burung meniup seruling, mendayu, seperti angin.
Tubuhku berlumur lumpur sawah.
Hidupku seperti pagi diirama desir air ngarai dan lembah-lembah.
Inilah nyanyiaku.
Simponinya teruntai oleh tetes keringatku.
Ibu…oh, ibu ku. Tanah dan air ku.

Stage lenggang. Black out. Tirai putih turun, lighting mengarah pada sudut panggung. Tepat mengenai tempat ari-ari ditanam, terdiri kurungan kecil dan lumpu teplok. Disana sudah berdiri seorang perempuan sedang menggendong boneka bayinya. Ia menimang-nimangnya. Irama musik menggantung sedih.

78.PARTIWI
Cepat besar ya, nak. Cepat bisa berlari dan bicara. Kamau harus kuat seperti Gatutkoca. Kamu harus perkasa seperti Bima. Dan kamu harus cerdik seperti Bathara Ksena. Siapa lagi Ibu yang diharapkan, kecuali kamu anak ibu satu-satunya. Cepat besar ya, nak. Biar cepat bisa menggarp sawah dan mencarikan rumput sapi-sapi kita. Siapa lagi, ayahmu setiap hari bekerja sendirian. Kau harus cepat besar. Nanti Ibu sekolahkan sampai sarjana, biar tidak dibodohi orang lain. Cepat besar nak, jaman sudah maju. kita sudah merdeka. Dimana-mana orang bekerja, membangun negeri ini. Cepat besar nak, tanah kita menanti uluranmu. (Menimang-nimang lagi).
79.NENEK
(Dari dalam, bersama Kakek membawa buku besar) Partiwi..Partiwi..Partiwi, di mana kau, Nak. Oh, Partiwi sudahlah. Tak baik begitu. Masukalah, tak baik dilihat orang lain. Lihatlah mereka seakan mengejek kita. Tak apalah. Tetapi kau jangan menyesali nasibmu seperti itu. Pada suatu saat nanti alam pasti , merubah nasib kita. Percayalah, ia mempunyai kekuatan yang maha dasyat. Kamu jangan menyesal. Kalau sekarang kita hanya bisa melahirkan bayi saja, dan tak bisa membesarkan, terimalah itu sebagai takdir.
80.PARTIWI.
Tetapi takdir tidak harus seperti ini…
81.NENEK.
Kenapa kamu menyesali takdir?
82.PARTIWI.
Sawah kita luas. Tanah kita subur, akankah digarap oleh generasi yang menyesal. Setiap hari minta ditimang-timang, minta dinana bobokan, minta disuapin, minta dimandikan. Kapan ia lekas dewasa?
83.NENEK.
Anakku, alam tak akan membiarkan dirinya terlunta-lunta. Pada suatu saat mereka berbicara, dan yakinlah ia akan berbicara lebih keras. Alam mengerti akan dirinya. Nenek sudah sering diombang-ambingkanya. Nenek dan Kakek adalah prasasti alam yang sewaktu-waktu membelamu. Janganlah kelewat menyesal.
84.PARTIWI.
(Menimang-nimang lagi) Cepat besar, Nak. Cepatlah kau bisa berlari. Jaman seperti roket.
85.NENEK dan KAKEK.
(Geleng-geleng kepala, sambil membuka-buka buku besaar)
86.KAKEK.
Kau harus kembali buku besarmu ini, Partiwi.
87.PARTIWI.
Kau harus mencoba kembali buku besarmu ini, Partiwi
88. PARTIWI
Aku sudah berulang kali membaca, tetapi selalu gagal.
89.KAKEK
Tidak, kau tidak gagal. Kau harus ulangi sekali lagi! Kau tidak boleh menyerah.
90.PARTIWI.
Cepat besar, Nak. Lihatlah matahari sudah tinggi. Jangan tidur dipangkuan ibumu. Kini saatnya kau bangkit, mengakat cangkul dan sabit. Jangan sampai tanah ini direbut orang lain. Kau harus menjaganya. Cepatlah besar, nak. Jangan membisu saja. Dengarkan Ibumu….ya…
91.NENEK
Partiwi, air matamu menetes?
92.KAKEK
Kita belum pernah lihatnya sesedih ini.
93.NENEK.
Jangan menangis Partiwi, malu dilihat tetangga.
94.KAKEK
Kita ini keluarga besar. Kau harus bisa menghadapi kesedihan ini. Kemarin-kemarin, kau tidak menangis. Bahkan begitu tabah. Lihatlaha catatan buku harian ini (Membuka buku besar) Tak ada kata tangis disni. Ayo, Partiwi kita harus mengadapi semua ini.
95.PARTIWI
Apakah Kakek dan Nenek lupa, bahwa kemarin memang tidak ada yang harus ditangisi?
96.KAKEK
Saya tahu.
97.NENEK
Saya pun juga tahu
98.PARTIWI.
Buku besar kita ini tidak pernah mengisi kata hatiku. Dulu aku tidak menangis kerena, yang tertanam dalam perutku adaalah bunga-bunga yang wangi. Disana akau dibuatkan taman begitupun aku. Tetapi sayang….(Pause)
99.KOOR
Tetapi sayang?
100.PARTIWI
(Mengis, sesenggukan)
101.KAKEK
Lho….menangis lagi.
102.NANEK
Tetapi apa, Partiwi?
103.PARTIWI
Itulah yang tidak pernah kita cacat. Kita sudah terlalu dininabobokan oleh taman dan kebun kita. Tetapi kita tak pernah tahu, selama ini perutku telah dibuangi sampah dan bangkai-bangkai tak berguna!

Terdengar suara bel berdentang-dentang

104.KAKEK
Kelihatan ada yang datang? (Menghapiri pintu besar out stage)
105.NENEK
Lembaran baru kita akan tulis, Partiwi!
106.PARTIWI
Sudah beribu kali kita menulisnya.

Kakek masuk bersama tuasn jabat. AK-47, M-16, Partiwi, panrimo dan panurut

107.KAKEK
Mari, silahkan masuk Tuan….
108.TUAN JABAT
Kami menghadap Juru Catat.
109.KAKEK
Denagn senang hati. Kabar apa kiranya yang dibawa, kok kelihatan gembira sekali.
110.TUAN JABAT
Begitulah kiranya. Hari ini kita harus bergembira, menyambut kehadiran generasi baru, hasil produksi dalam negeri. Wah, hasil yang menggaumkan. 60% kandungan lokal selibihnya rekayasa belaka. Oh, maaf bila tampaknya begitu mendadak. Biasa era Teknologi. Kita hasur segera mengejar itu.
111.KAKEK
Tuan Jabat, to the point, saja
112.TUAN JABAT
O…o…o., baik. Tepatnya, meraka adalah generasi baru yang telah kita ciptakan untuk memimpin generasi ini. Dalam buku besarmu, bahwa era baru kita untuk ingat menjadi negara yang disegani. Catat itu! Oya..mari. Lihatlah mereka! (Kakek membatu) Canggih dan bermutu. Ini bukan lagi kerajinan tangan atau dari bim sala bim. Tetapi benar-benar dari kemajuan ilmu pengetahuan kita yang berkembang pesat. Apa kalian tidak bangga.
Catatlah! Biar suatu saat nanti, kita bisa membukanya bersama-sama. Lho, lho… Partiwi kok diam saja toh. Jangan mbesengut begitu. Mbok ya ikut bergembira. Ini hari gembira, tidak sewot begitu! Negara-negara besar saja belum tentu bisa berbuat begini. Ini harus kita sambut dengan lapang dada. Siapa lagi kalau bukan mereka yang membaangun negeri besar ini kalau bukan generasi baru. Bukan begitu, Partiwi?!
113.KAKEK.
Tuan….kiranya, Partiwi masih belum berkenan.
114. TUAN JABAT
Ah…mokal, impossible. Kemarin-kemarin ia bergembira. Ah, sudahlah. O…ya, mereka adalah Panurut, Panrimo, Pakerti. Sangat sederhana sekali. Partiwi, aku berbuat ini demi kepentingan kita bersama. Kita harus menyiapkan generasi yang canggih. Dan itulah mereka. Partiwi, tersenyumlah. Aku ingin melihat kau bahagia.
115. PARTIWI
Tuan Jabat, indah sekalui kelihatannya. Seandainya ini bukan mimpi, aku tidak akan bersedih.
116. TUAN JABAT
Oh…mimpi ?
117. PARTIWI
Tuan Jabat, mimpi yang kemarin hanya menjadi sampah dalam perutku. Tidakkah kau mengerti itu. Dan mimpi itu dalam buku besar hanya menjadi lembaran hitam. Lihatlah janin yang terkapar ini , beribu-ribu bahkan berjuta-juta kau terlantarkan. Tidak lihatkah engkau. Buanglah mimpi besarmu itu Tuan Jabat !
118 TUAN JABAT
No… impossible. Juru Catat ! Adakah itu tertera dalam buku besarmu.
119 KAKEK
(MEMBUKA BUKU BESAR , MENCARI-CARI KEMUDIAN MENGGELENGKAN KEPALA)
120. TUAN JABAT
Nah.. You now ? Mana mungkin ini mimpi ?
121. PARTIWI
Tuan Jabat! Anda boleh tidak percaya. Silahkan, itu hak Tuan. Catat itu Kek. Saya, Partiwi akan undur dari mimpi ini. Saya sudah tak sanggup lagi. Selamat tinggal.

Partiwi out stage. Musik melantun lirih. Tuan jabat dan ketiga generasinya bergeming. Kakek dan Nenek tidak berkata-kata. Lighting temaram biru.

122 KAKEK
Saya tak pernah melihat Partiwi semurka ini. Pertanda Tuan Jabat. Ini pertanda. Tuan Jabat harus menahan diri.
123. NENEK
Partiwi sudah terlalu lelah. Tuan Jabat harus paham itu. Sudah terlalu banyakn yang dikorbankan. Tuan Jabat harus paham. Dalam buku besar ini , kami sudah terlalu sering membuat catatan kesedihan dan kami tidak bisa menutup-nutupi.
124. TUAN JABAT
Sudalah. Jangan meracu begitu Juru Catat. Aku bosan dengan petuah-petuah. Sekarang aku butuh persetujuanmu, bukan petuahmu ! (Duduk di kursi goyang)
125. KAKEK
Kami hanya bisa mencatat Tuan. Itulah tugas kami. Kalau Tuan ingin membuat dan melahirkan generasi baru lagi, itu hak Tuan. Silahkan. Kami nanti yang mencatatnya. Biarlah Partiwi, nanti kami yang membujuk. Bukankah Partiwi selalu menurut jika Tuan memaksa. Kalau semua ini Tuan anggap baik dan benar.

Partiwi on stage dengan membawa sekeranjang bayi. Ia menebarkan (menanam bayi-bayi itu) ke tanah dengan penuh takjim.

126. KAKEK
Sebagai pemimpin tidak boleh ragu-ragu. Dalam kondisi perang komando harus tegas. Tuan Jabat adalah orang nomor satu disini, sebagai pusat komando. Mengapa harus berunding segala. Toh segala sesuatu demi kepentingan Tuan. Beribu bahkan berjuta manusia disekitar Tuan yang telah Tuan buat sebagai budak-budak tuan, yang sekarang sudah afkiran, tidak ada salahnya tuan mencoba semua itu.
Tuan harus berani. Nantri kami yang mencatat. Partiwi akan mengerti. Ketika waktu bergerak maka pikiran manusia akan melesat menyusulnya.
127. NENEK
Tetapi sasmita Partiwi tidak setuju itu harus Tuan Jabat perhatikan. Itu berarti Partiwi tahu waktu. Paham akan siklus alam. Mungkin Partiwi hanya hanya ingin proses semacam ini mbok yao dibatasi. Perut Partiwi mengembung hanya oleh bangkai sia-sia. Sepanjang hari ia hanya menimang-nimang kekalahannya. Manusia memang serakah , terkadang singapun dibuat malu olehnya.
Tetapi Tuan Jabat, Semuanya berpulang kepada Tuan. Mungkin, sasmita Partiwi itu hanya sebagai ujian saja. Seperti biasanya. Silahkan Tuan. Kami hanya bisa mencatat.
128. KOOR (KAKEK DAN NENEK)
Silahkan Tuan, kami hanya bisa mencatat.

Berulang-ulang sampai suara menghilang. Partiwi terus menari. Tubuh bayi berserakan keseluruh ruang. Tirai-tirai turun, seperti pilar-pilar gedung besar.
Suasana Hening. Hanya terdengar dengkur Tuan Jabat yang tampak lelah dan renta. Tiba-tiba dentang jam berbunyi, entah berapa kali. Tuan Jabat terperanjat, seperti bangun dari tidur.

129. TUAN JABAT
Pakerti, Panurut, Panrimo….!!!
130. M-16 DAN AK-47
Siap melaksanakan tugas ! (KOOR)
131. TUAN JABAT
Lo, kemana Pakerti, Panurut, dan Panrimo ?
132. M-16
Siap ! Tidak tahu yang Tuan maksud.
133. AK-47
Siap ! Idem. Tuan !
134. TUAN JABAT
Idem, idem. Idem bagaimana to kamu itu. Tiga manusia yang kamu kawal tadi lo. Pakerti, Panurut dan Panrimo ?
135. KOOR
Siap, tidak tau Tuan !
136. TUAN JABAT
Goblok jadi mereka kamu biarkan liar begitu. Saya kan sudah bilang jaga mereka semua. Mereka harus terus diawasi. Kalau tidak…Wah pengawal goblok. Bisanya hanya tunggu perintah. Apakah kamu tidak bisa berpikir. Kamu ini manusia. Bukan kerbau cunguk, kalau tidak dikeluh tidak bergerak. Mau jadi apa kalian. Perang itu pakai otak bukan otot saja. Pengawal goblok. Kemana mereka ! ?
137. RIBAWAN
(DARI LUAR) Hallooo. Eny body home ? Oh, Selamat apa saja Tuan Jabat. Kiranya Tuan Jabat sudah bangun . Kebetulan sekali. Berhari-hari saya menunggu tuan bangun tidur. Kata Tuan Pakarwan, Tuan tidak boleh diganggu. Wah, begitu sibuknya pejabat, sampai tidurnya berhari-hari.
138. TUAN JABAT
Bicaralah yang lebih sopan. Katakan apa perlunya?.
139. RIBAWAN
Okey. Tanggal pelunasan hutang-hutang sudah waktunya Tuan Jabat.
140. TUAN JABAT
Tagihan? Aku belum dapat hasilnya, dari kerjamu itu.
141. RIBAWAN
Tapi ini sudah jatuh tempo, Tuan.
142. TUAN JABAT
Diroll over dulu saja.
143. RIBAWAN
Enak saja. Dulu kan Tuan sendiri yang maksa-maksa. Saya kan juga hasil pinjaman. Ini juga sudah jatuh tempo. Enak saja kalau ngomong. Memangnya duit, Emakmu.
144. TUAN JABAT
Kamu jangan ngomong begitu. Saya belum punya uang. Kalau memang butuh sekarang, ambilah barang-barangku.
145. RIBAWAN
Saya butuh uang kontan, Tuan!

Ribawan Mencengkeram leher Tuan jabat kemudian melempakan ke kursi goyang. Tuan jabat marah besar. Dengan bahasa isyarat ia mengomando M-16 dan AK-47. Mereka mengokang senjata dan mengarahkan ke Ribawan

146. TUAN JABAT
Kalau yang kamu maksud uang aku tidak punya. Tetapi kematian yang aku punya. Tunggulah di neraka, nanti aku lunasi.

Memberi isyarat tembakan. Suara tembakan beruntuh merubuhkan tubuh Ribawan. Musik berderap-derap. Suara gendering, terompet, dan teriakan orang-orang membahana.Pakarwan masuk dengan tergopoh-gopoh.

147. PAKARWAN
Gawat tuan! Gawat! Pengendali pusat telah dikuasai massa. Mereka mengobrak-abrik sistem pengendali. Mereka begitu buas. Kami Kualahan. Mereka seperti banteng ketaton sistem pengendali sudah tidak berfungsi lagi. Gawat tuan!.
148. TUAN JABAT
(Melirik dua pengawal) Selesaikan dengan caramu sendiri. Laksanakan !
149. KOOR
Siap melaksanakan tugas ! (Out Stage).

Perang besar terjadi. Orang-orang mengamuk, membakar, membunuh, menjarah apa saja. Tak ada yang bisa mencegah. Suara rentetan tembakan terdengar dimana-mana. Satu persatu orang-orang yang beringas berjatuhan. Sepi!

150. M-16 dan AK-47
(On stage) Siap. Tugas tugas telah dilaksanakan1
151. TUAN JABAT
Good! Sekarang, kau harus bekerja keras lagi Pakarwan. Jangan mengecewakan aku. Buatkan yang lebih canggih. Aku ingin yang lebih Panurut, yang lebih Panrimo, juga yang lebih Pakerti. Kita harus mempersiapkan yang lebih matang. Kau harus mengerti Pakarwan dan Pengawal, hanya engkau yang aku percaya. Maka laksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Kamu mengerti Pakarwan ?
152. PAKARWAN
Berpuluh-puluh tahun yang lalu kita bersepakat, berjalan bersama-sama demi masa depan kita bersama. Tetapi jalan kita selalu berseberangan. Saya telah merasa mengkhianati kesepakatan itu.Orde-orde yang kita bangun selalu kandas di tengah jalan. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita bersepakat. Tetapi sekarang, tidak!?
153. TUAN JABAT
Artinya, kau menolak? (Pause) Okey. Kalau itu pilihanmu, silahkan!
154. PAKARWAN
Saya sudah terlalu tua untuk berpikir.
155. TUAN JABAT
Tugas pemikir adalah berpikir. Bukan begitu, Pakarwan ?
156. PAKARWAN
Benar. Tetapi saya ingin memikirkan kehidupan saya.
157. TUAN JABAT
Lho, Selama ini kamu berpikir untuk siapa ?
158. PAKARWAN
Saya telah mencurahkan tenaga dan pikiran saya untuk semua yang ada di sini.
159. TUAN JABAT
Jangan mbulet, Pakarwan.
160. PAKARWAN
Ya, saya ingin istirahat
161. TUAN JABAT
Jelasnya kamu sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan aku. Okey, kalau itu maumu. Silahkan tuan Pakarwan yang aku hormati. Aku mengucapkan terimakasih atas jasa-jasamu selama ini. Maafkan jika aku banyak kesalahan. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih, semoga kau bisa menikmati hari tuamu. Selamat tinggal, sampai bertemu.

Pakarwan out stage. Tuan Jabat memberi isyarat kepada dua pengawal. Dua pengawal membuntut Pakarwan. Tuan Jabat menyeka peluhnya dan menyalakan rokoknya. Tiba-tiba terdengar suara tembakan.

162. KOOR
Siap. Tugas telah dilaksanakan ! (Out stage)
163. TUAN JABAT
Habis sudah. Aku harus memulainya dari nol lagi. Kalau hadirin sekalian ingin mendaftar jadi karyawan saya silahkan tulis lamaran. Alamatnya, terserah anda alamatkan kemana saja. Kemanapun ingin mengabdi kepada tanah airnya. Rela berkorban untuk tanah airnya.
Aku butuh orang-orang yang bener-bener ingin mengabdi kepada tanah airnya.Rela berkorban untuk tanah airnya. Aku butuh orang-orang, bukan para pengkhianat. Silahkan kalau ada hadirin yang berminat, tulislah lamaran. Daripada Ijazah sarjana tuan-tuan tidak berguna dan habis dimakan ngengat.
Ini kesempatan emas. Ada yang ingin yang melamar. Anda mungkin (Menunjuk salah seorang penonton) O, Tidak. Hanya lulusan SD katanya. Ya sana pergi jadi buruh-buruh, di negeri orang. Tetapi ingat, kirimlah uang keluargamu yang di sini, jangan mayat.
Oh tuan yang dipojok sana mungkin. Lulusan apa? Sarjana pendidikan. Well, Anda bisa mengajar? Tidak! Terus bagaimana dengan ijazah Anda ? Digadaikan !? Masya’Allah.
Ayo-ayo siapa yang ingin melamar pekerjaan menjadi pegawaiku. Lowongan! Lowongan!. Lowongan! Lowongan! Lowongan! Lowongan! Tidak berijazah tidak apa-apa. Lowongan! Lowongan! Siapa mau lowongan. Lowongan, lowongan!. (Seperti bernyanyi) Lowongan tuan lowongan. Aku butuh orang bukan pengkhianat. Lowongan. Anda mungkin (Kepada penonton. Tak ada jawaban. Out stage)

Stage remang-remang. Partiwi memunguti boneka-boneka plastik dan memasukannya ke dalam keranjang. Kakek dan Nenek terseok-seok membawa buku besar. Kemudian ia membuka lembaran buku besar itu dan menulis sesuatu. Kakek menulis dengan penuh perasaan.

164. KAKEK
Kesaksian: Hari ini, hari yang ke 10590, kami menulis kesaksian di atas lembar hidup dengan tinta kejujuran. Bumi dan langit adalah saksinya. Waktu adalah hakimnya. Halaman tiga puluh lembar terakhir dari kehidupan Tuan Jabat: Tercatat, mimpi-mimpinya telah berakhir, tetapi kerakusan masih mengejarnya. Dihari terakhirnya ia lari dari kursi goyangnya, yang selama ini untuk memuja mimipi-mimpinya. Ia lari meninggalkan kekalahan yang menyedihkan. Ia terus berlari mengejar mimpinya.
Bila hadirin sekalian bertemu, terimalah dengan wajar. Jangan lupa sedikit menyanjungnya, maka ia akan bergembira seperti anak kecil. Hari ini Tuan Jabat telah mencari dirinya yang dulu, hilang entah kemana. Dan hari ini kerajaan mimpinya, hanya tinggal lembaran hitam, yang perlu Anda ketahui. Di sana tercatat prasasti besar : Kekuasaan Bukan Dunia Imajinasi dan Bukan Dunia Rekayasa. Sekian.

Partiwi menyanyi lagu buaian. Lighting perlahan meredup. Suara lonceng, entah berapa kali. Lihting black out. Penonton tepuk tangan

Surabaya, 1994
R Giryadi
(Sutradara teater)

NB :
1. Naskah ini, kali pertama ditulis tahun 1994 dan dikembangkan terus sampai tahun 1998. Diketik ulang dengan sedikit perubahan tahun 2004. Sampai sekarang naskah ini belum pernah dipentaskan.
2. Jika ada yang berminat mementaskan, silahkan mementaskan tanpa dipungut royalty (Asal untuk kepentingan teater, bukan komersial).
3. Naskah ini bisa dikembangan dengan berbagai pendekatan.
4. Bahkan naskah ini memungkinkan dikembangkan dialog-dialognya.
5. bagi kelompok yang mementaskan hanya diwajibkan memberitahukan hasilnya dengan mengirimkan, data apapun (catalog, berita, resume, foto) kepada penulis.