Halaman

Jumat, 13 Februari 2009

SEJARAH BLOG



(Bagian 1)
Blog pertama kemungkinan besar adalah halaman What’s New pada browser Mosaic yang dibuat oleh Marc Andersen pada tahun 1993. Kalau kita masih ingat, Mosaic adalah browser pertama sebelum adanya Internet Explorer bahkan sebelum Nestcape. Kemudian pada Januari 1994 Justin Hall memulai website pribadinya Justin’s Home Page yang kemudian berubah menjadi Links from the Underground yang mungkin dapat disebut sebagai Blog pertama seperti yang kita kenal sekarang.
Hingga pada tahun 1998, jumlah Blog yang ada diluar sana belumlah seberapa. Hal ini disebabkan karena saat itu diperlukan keahlian dan pengetahuan khusus tentang pembuatan website, HTML, dan web hosting untuk membuat Blog, sehingga hanya mereka yang berkecimpung di bidang Internet, System Administrator atau Web Designer yang kemudian pada waktu luangnya menciptakan Blog-Blog mereka sendiri. Pada Agustus 1999 sebuah perusahaan Silicon Valley bernama Pyra Lab meluncurkan layanan
Blogger.com yang memungkinkan siapapun dengan pengetahuan dasar tentang HTML dapat menciptakan Blog-nya sendiri secara online dan gratis. Walaupun sebelum itu (Juli 1999) layanan membuat Blog online dan gratis yaitu Pitas telah ada dan telah membuat Blogger bertambah hingga ratusan, tapi jumlah Blog tidak pernah bertambah banyak begitu rupa sehingga Blogger.com muncul di dunia per-blog-an. Blogger.com sendiri saat ini telah memiliki hingga 100.000 Blogger yang menggunakan layanan mereka dengan pertumbuhan jumlah sekitar 20% per bulan. Blogger.com dan Pitas tentu tidak sendirian, layanan pembuat blog online diberikan pula oleh Grouksoup, Edit this Page dan juga Velocinews.

Sejak saat itu Blog kian hari kian bertambah hingga makin sulit untuk mengikutinya. Eatonweb Portal adalah salah satu daftar Blog terlengkap yang kini ada diantara daftar Blog lainnya. Ribuan Blog kemudian bermunculan dan masing-masing memilih topik bahasannya sendiri, dimulai dari bagaimana menjadi orang tua yang baik, hobi menonton film, topik politik, kesehatan, sex, olahraga, buku komik dan macam-macam lagi. Bahkan Blogger ada Blog tentang barang-barang aneh yang dijual di situs lelang Ebay yang bernama Who Would By That?. Cameron Barret menulis pada Blog-nya essay berjudul Anatomy of a Weblog yang menerangkan tema dari Blog. “Blog seringkali sangat terfokus pada sebuah subjek unik yaitu sebuah topik dasar dan/atau sebuah konsep yang menyatukan tema-tema dalam Blog tersebut.” Secara sederhana topik sebuah Blog adalah daerah kekuasan si Blogger-nya tanpa ada editor atau boss yang ikut campur, tema segila apapun biasanya dapat kita temukan sejalan dengan makin bermunculannya Blog di Internet. Dan ya, ide itu telah terpikirkan, Blogger bahkan sekarang telah membuat Blog dari Blog, dan bahkan Blog dari Blog dari Blog.
Dari sedemikian banyak Blog yang ada, Blog-Blog yang menetapkan standar dari Blog dan terkenal sehingga memiliki penggemarnya sendiri diantaranya adalah Blog milik Jorn Barger, Robot Wisdom yang disebut-sebut merupakan Blog terbesar dan paling berguna dimana dia setiap harinya menyodorkan sekian banyak link yang dibentuk dari ketertarikannya pada seni dan teknologi. Camworld adalah Blog populer milik Cameron Barret seorang Desainer Interaktif dimana dia mengkatagorikan topik-topik Blog-nya pada katagori, Random Thoughts, Web Design dan New Media. Camworld dapat disebut sebagai Blog klasik dalam arti Blog tersebut mengandung dosis tepat dari karakter dan opini pribadi dicampur dengan keselektifan pemilihan link-nya. (bersambung)

Para Peletak Dasar Teater Modern


Oleh : R Giryadi

Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya menampilkan wajah kerajaan.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang.

Ketika Burung Garuda Menjadi Emprit


Teater Dinasti


"Sepinya hati Garuda. Dijunjung tanpa jiwa.Menjadi hiasan maya. Oleh hati yang hampa.Dendam tanpa kata.Mendalam luka Garuda.Disayangi tanpa cinta. Dipuja tapi dihina"

Itulah sepenggal lagu karya Emha Ainun Nadjib, yang akan dilantunkan oleh Novia Kolopaking dan 6 pemain anak-anak untuk mengawali pertunjukan ‘Tikungan Iblis’ Teater Dinasti Yogyakarta, malam ini. Enam anak-anak itu menanyakan arti pertunjukan teater. Dengan sabar Novia menerangkan arti teater dan drama.
Saat Novia bercerita, pertunjukan teater pun dimulai. Pertunjukan itu dibuka dengan tari remo jugag (sepenggal) dan disusul barisan rampokan (bala tentara) yang bersliweran di atas panggung. Sementara itu dua saudara Khabal dan Khabil, sedang berkelahi. Namun sesaat kemudian mereka berdamai. Tetapi, perdamaian itu berlangsung sesaat, saat lengah, Khabal dibunuh Khabil dengan batu bersar. Gegerlah para malaekat di akherat.

Setelah pembunuhan itu, muncul para malaekat yang menyesal melihat kejadian itu. Sementara Iblis yang berdiri disisi lain, meledek dengan berbagai celetukan. “Malaekat kok menyesal,” celetuk Iblis.
Memang, pertunjukan yang akan dimulai tepat pukul 20.00 WIB itu bakal dipenuhi dengan celetukan-celetukan segar. Celetukan itu datang dari Iblis atau Smarabhumi (Joko Kamto) yang merasa dikambing hitamkan atas kerusakan sosial yang sedang berlangsung.
Iblis itu tidak sangar layaknya gambaran iblis selama ini. Ketika turun ke bumi ia macak layaknya turis, memakai kaca mata hitam, mencangklong kamera, dan menenteng tas koper. Iblis pulalah yang menebarkan kehebohan di bumi (Indonesia). Ia datang sebagai tamu agung, dengan membawa burung garuda sebagai hadiah kepada Prawiro (Joko Kamto).Namun betapa marahnya Prawiro, karena yang dimaksud garuda ternyata hanya burung emprit di dalam sangkar. “Ini penghinaan!” teriak Prawiro.
Konflik semakin memuncak ketika Iblis protes kepada manusia yang menuduh dirinyalah yang menyebabkan rusaknya moral masyarakat. Tetapi manusia sudah terkadung percaya dengan cerita-cerita, bahwa kejahatan manusia akibat dari bisikan Iblis. Makanya mereka hanya tertawa ketika Iblis protes.
“Sampeyan jangan guyon. Masak nama sampeyan Iblis? Mungkin sampeyan manusia yang bernama Iblis begitu,” tanya salah satu penduduk.
“Tidak sayalah Iblis. Karena Tuhan hanya menciptkan Iblis hanya satu!” seru Iblis.
Dialog-dialog di atas bakal terjadi di pentas nanti malam. Toto Rahardjo salah satu kontributor pertunjukan ini, mengungkapkan, pertunjukan Tikungan Iblis, merupakan respon kepada berbagai situasi yang sedang melanda negeri ini. Tetapi lebih utamanya, pemantasan Tikungan Iblis untuk mengajak manusia merenungkan kembali eksistensinya. “Sasaran utama kita adalah manusia. Kita sedang mengalami degradasi kemanusiaan,” kata Toto, Selasa (18/11).
Ditambahkan Toto bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. “Hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan,” kata Toto.
“Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran, bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain,” tambah Toto.
Sementara itu, berbicara proses pembuatan naskah, Toto memaparkan, proses pembuatan naskah Tikungan Iblis itu dari hasil dialog antara Emha Ainun Nadjib, Indra Tranggono, Simon Hate, Toto Rahardjo, dan Fauji Ridjal. Proses pembuatan naskah seiring dengan proses latihan yang dikomandani Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno. “Makanya hingga saat ini naskah terus berkembang,” katanya.
Sementara itu, pertunjukan itu sendiri akan dipenuhi berbagai unsur seni. Berbagai media seni seperti, tari, musik, seni rupa, video, animasi akan mewarnai seluruh pertunjukan yang berdurasi 2,5 jam. Tidak kalah pentingnya, pertunjukan juga diperkuat oleh garapan musik Bobiet Santoso dari Kiai Kanjeng.
Pertunjukan ini menurut Novia Kolopaking dipersiapkan selama empat bulan lebih. Ketika digelar di Taman Budaya Yogyakarta, 28 Agustus lalu, Tikungan Iblis mampu memukau lebih dari 2000 penonton. “Namun di Surabaya kita melakukan perubahan. Seperti masuknya tari remo, dan juga muncul tokoh baru, Laserta,” kata istri Emha Ainun Nadjib ini.
Sementara itu Farid Syamlan ketua Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengatakan tiket yang disediakan terjual habis, baik kelas vip (Rp 100 ribu) maupun lesehan ( Rp 50 ribu). “Antusias penonton luar biasa. Kita sudah kehabisan tiket. Bahkan ada penonton yang memesan tempat untuk ayahnya yang terkena stroke,” kata Farid. n gir

Dari ‘Festival Panggung Realis’

Mencari Teater Realis rasa Madura
Konsep teater realis belum banyak dipahami. Meski demikian Sanggar Lentera STKIP Sumenep menggelar festival teater bergenre realis.

Serangkaian dengan Pekan Seni Madura, pada 30 Desember lalu, Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep, mengadakan Festival ‘Panggung Teater Realis’ se Madura. Sebanyak 20 peserta mengikuti festival ini. Panitia memberikan arahan, setiap peserta wajib menampilkan lakon drama realis dengan basik tradisi. Setiap peserta hanya diberi waktu 30 menit lengkap dengan penataan setting dan lightingya.
Hasilnya dapat ditebak, dari 20 peserta tak satupun yang bisa secara total memainkan drama realis. Bahkan hampir semua peserta tidak memainkan drama yang bergenre realis. Hal ini bukan tanpa sebab. Sebab utamanya adalah minimnya informasi tentang konsep drama realis. Sebab ke dua teater di Madura tidak memiliki tradisi realisme seperti di Barat, tempat kelahiran genre drama realis.

Ponari



Oleh : Rakhmat Giryadi
Wartawan Surabaya Post

Ponari anak usia 10 tahun duduk di bangku kelas 3 SD tiba-tiba menjadi bintang. Ia digeruduk massa. Tiga minggu ia harus melayani ribuan orang yang percaya dengan ‘kesaktiannya’. Mereka meminta usada.
Ponari si dukun tiban dari Megaluh, Jombang, pada suatu hari bisa menyembukan tetangganya yang sakit. Padahal ia tidak menyuntiknya. Ia juga tidak memberinya resep obat. Porani juga tidak memberikan keterangan Si pasien sedang sakit apa. Ponari hanya menyelupkan batu –konon turun dari langit yang dibawa oleh halilintar- di gelas berisi air. Kemudian gluk!. Satu tegukan air batu dari Ponari, konon (lagi), penyakit yang diderita tetangganya sembuh.

Kabar itu tiba-tiba menyentil bawah sadar ribuan massa dari berbagai daerah. Dalam hitungan hari, ribuan massa menyemut ke rumah Ponari yang reot. Mereka berbondong-bondong demi mendapatkan kesembuhan. Mereka datang dari berbagai kalangan. Mereka juga rela antre berjam-jam, bahkan berhari-hari hanya ingin dapat air batu dari Ponari. Tak kalah dahsyatnya mereka rela meregang nyawa demi itu.
Ini histeria massa. Mereka adalah masyarakat ‘mengambang’ yang tidak memiliki pegangan rasionalitas yang kukuh. Mengapa mereka rela datang dari jauh hanya untuk mendapat air batu dari Ponari. Sementara ada dokter yang bisa menjelaskan secara nalar medis tentang penyakit yang diderita?
Tindakan irasional memang berada diluar nalar. Orang mudah saja mengikuti arus, meski ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Inilah histeria massa. Histeria massa yang muncul selalu tak memiliki identitas. Karena itu pula histeria tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan atas segala akibat dan konsekwensi yang ditimbulkannya.
Histeria menimbulkan irasionalitas pada seseorang. Orang atau segerombolan massa akan bertindak apa saja meski tindakannya itu di bawah kemampuannya. Sudah banyak contoh fenomena semacam ini. Ketika booming handphone, banyak orang ingin memilikinya. Tak peduli seberapa perlunya seseorang memiliki handphone. Bahkan, ketika ada hanphone lain yang menawarkan fitur yang lebih canggih, kehendak untuk memilikinya juga besar. Tak jarang seorang bisa memiliki lebih dari 1 hanphone.
Tak kalah menariknya, ketika booming tanaman hias beberapa waktu lalu, orang-orang ramai membeli tanaman hias dengan harga miliaran rupiah. Ketika booming ikan arwana yang konon ikan keberuntungan, orang-orang membeli arwana dengan harga selangit. Ketika booming lukisan, para juragan tembakau di Magelang, misalnya, memborong lukisan dengan harga diluar batas nalar.
Masyarakat tak bisa menjangkaunya hanya bisa bermimpi. Ketika mimpi itu ingin diwujudkan berubahlah menjadi tindakan fisik. Masyarakat atau seseorang mengalami proses perubahan dari gejala psikologis menjadi manifestasi fisiologis. Dalam hal ini Sigmund Freud meyakini gangguan histeria tak hanya disebabkan oleh kelainan organik, namun juga gangguan emosional yang dialaminya. Artinya, orang-orang yang secara kejiwaan sehat bisa saja mengalami histeris.
Histeria massa sebagai pandangan irasional atau perilaku tidak wajar yang menyebar luas pada sejumlah orang sebenarnya bukanlah sebentuk tindakan sosial tiada arti yang diarahkan kepada orang lain sebagaimana tindakan para fans artis, penyanyi, film, sinetron, dan lain sebagainya.
Namun bila dicermati histeria massa bisa menjadi sebentuk tindakan sosial bila individu yang dihisteria massa tersebut sudah diketahui ke'penyimpang'annya dalam suatu komunitas masyarakat karena kehumanistisan yang ada melihat individu tersebut yang berusaha untuk mendapatkan status yang diberikan padanya. Remaja-remaja membentuk geng. Orang-orang membentuk aliran sempalan dari agama-agama besar.
Mereka yang merasa senasib akan terjalin solidaritas. Sikap dan wujud solidaritas tersebut akan berakumulasi menjadi sebuah “semangat” namun semangat yang berkadar “massa” yang tak jelas identitasnya. Dia bisa berubah menjadi amuk yang destruktif dan menyesatkan serta akhirnya justru malah merugikan kepentingan orang lain. Demo anarkis menuntut pemekaran provinsi di Medan salah satu contohnya.
Dan hal ini sedang dialami pada Ponari. Massa yang tidak ingin pratik Ponari ditutup, memaksa dibuka. Massa tidak peduli Ponari sakit. Begitulah, histeria menimbulkan irasionalitas. Irasionalitas bisa menggiring orang betindak ‘aneh tetapi nyata.’ Dan hal itu dibawah kontrol rasionalitas. Jadi harap maklum!