Halaman

Senin, 04 Februari 2008

KOTA TANPA TEATER


Oleh : R Giryadi

Tahun 90-an, bersama karang taruna tempat tinggal saya di Blitar, mencoba membuat kelompok teater. Namanya teater Gumyek. Hampir satu tahun dua kali, Teater Gumyek melakukan pergelaran. Naskah yang digarap, ada yang ditulis sendiri, adaptasi dari cerita rakyat, dan naskah jadi seperti karya WS.Rendra dan Emil Sanosa.
Kurang lebih selama tiga tahun, teater Gumyek hadir di tengah-tengah masyarakat desa yang tradisional. Selama itu pula, masyarakat yang sudah mulai mendapat jejalan informasi modern, -karena tv swasta sudah mulai ada- sangat kagum melihat cerita Suto Mencari Bapa, karya WS.Rendra. Atau cerita tentang, pemberontakan Ken Arok yang diadaptasi dalam teater modern.
Hal yang patut dicatat adalah, kegairahan akan kehidupan sangat terasa selama kami melakukan proses teater. Masyarakat yang tadinya hanya berdiam diri di rumah sambil menikmati, -hiburan satu-satunya TVRI- seakan terhenyak. Ada semacam alternatif hiburan yang tak kalah menariknya, yaitu teater.

Kami saling berdialog. Berinteraksi secara terbuka, melalui proses itu. masyarakat yang biasanya tidur –menutup pintu rumah- jam 19.00, menjadi molor sampai tengah malam, karena menyaksikan anak-anak berlatih teater. Mereka antusias, tidak hanya ingin melihat sanak saudaranya ikut terlibat, tetapi, benar-benar ingin mendapatkan sesuatu yang baru –pencerahan- di luar cara-acara TVRI yang menjemukan dan didominasi ‘doktrin’ rezim yang masif. Dan memang mereka merasakan, betapa teater –untuk menyebut tidak berlebihan- memberikan sesuatu yang baru, dari pada keterangan Menteri Penerangan yang syarat dengan retorika, usai rapat kabinet di Bina Graha.
Namun, zaman memang terus bergerak. Satu persatu personil teater Gumyek beranjak dewasa, dan dituntut untuk mengembangkan pemikiran yang pragmatis. Maka mereka pada meninggalkan desa, menguber harta benda. Saya sendiripun akhirnya memilih bergelut dengan kehidupan pragmatis, sekolah, dan kerja di Surabaya –walaupun saya masih aktif di teater. Akhirnya seperti yang bisa ditebak, keberlangsungan teater pun berhenti total. Dan orang-orang kembali menutup pintu rapat-rapat pada pukul 19.00 WIB.
Kota yang Sepi
Surabaya, tahun 90-an yang saya kenal, pada tahun-tahun itu terasa sekali denyut kehidupan teater. Bahkan ada puluhan teater yang aktif, menghidupkan iklim perteateran Surabaya.
Boleh diingat, pada waktu itu, ada teater Jaguar, Dua Lima, Pavita, Rajawali, Nol, Ragil, Sanggar Soeroboyo, Teater Api Indonesia, Bengkel Muda Surabaya, di tambah dengan aktivitas teater di kampus-kampus dan SMU-SMU, yang aktif berpentas.
Pada masa itu, kegitan teater di Surabaya, begitu marak, apalagi di tambah dengan adanya festival-festival yang representatif. Ditambah dengan ‘kritikus’ yang memberikan iklim teater tidak hanya sekedar ramai di panggung-panggung tetapi juga pada tingkat wacana di media massa, boleh disebut pada waktu itu ada Akhudiat, Marx Arifin, H. Bambang Ginting, Autar Abddilah, Zeinuri.
Hampir semua kelompok teater dan ‘kritikus’ mendesakkan gagasan-gagasannya masing-masing. Mereka memiliki spirit yang begitu kuat, seakan kehidupan teater di Surabaya memiliki masa depan yang cerah.
Namun apa mau dikata. Jaman yang berbicara. Usai gegap gempita ‘revolusi’ pelengseran rezim Orde Baru, itu teater Surabaya justru seperti menemukan titik baliknya. Aura kebebasan, seakan menyilaukan mata hingga banyak para pekerja seni menjadi ‘buta’. Tidak tahu harus berbuat apa? Bahkan seakan-akan banyak pekerja seni di Surabaya, terbengong-bengong dengan keterbukaan yang teramat sangat.
Barangkali kalau digambarkan, mereka yang memiliki spirit teater realis, terbengong-bengong melihat realitas di depan matanya yang mengharu-biru. Sementara itu, mereka yang memiliki spirit absurd, juga tak kalah bengongnya ketika melihat, manusia tanpa kepala diseret-seret keliling kota. Dan Surabaya, tergagap-gagap menerima ‘arus deras’ pertikaian budaya (baca : politik, ekonomi, agama, dan ras) negeri ini.
Akhirnya apa yang terjadi? Sedikit demi sedikit, mereka yang tidak bisa melihat kenyataan, mengundurkan diri dari dunia teater. Intensitas pertunjukan menjadi berkurang. Bahkan, lebih ironis lagi, Surabaya lebih banyak dikunjungi oleh ‘tamu’ dari luar Surabaya dan Jawa Timur, dan tanpa bisa menyuguhi apapun, selalin rasa iri.
Dan rujukan untuk menyebut teater Surabaya, menjadi kesulitan. Karena tak ada kelompok yang benar-benar fenomenal, macam teater Koma (Riantiarno) dan teater Kubur (Dindon WS) di Jakarta, teater Payung Hitam (Rahman Sabur) dan Studiclub Teater Bandung (Suyatna Anirun), Gandrik (Heru Kesawamurti dan Butet Kertarejasa) dan Garasi (Yudi Ahmad Tajudin), Jogjakarta, Gapit (Bambang Widoyo HS) dan Gidak-Gidik (Hanindawan) Solo. Mereka yang berada di balik nama-nama teater itu, telah menjadi ‘juru bicara’ bagi kelompoknya masing-masing, untuk menciptakan sejarah dan menciptakan ideologi, bagi perkembangan teater modern Indonesia. Sementara itu, Surabaya malah seperti kehilangan sejarah. Surabaya seperti tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Kegagahan dalam Kemiskinan
Meminjam istilah WS.Rendra, kegagahan dalam kemiskinan, tampaknya itulah yang sedang dihadapi teater Surabaya. Secara ringkas, wajah teater Surabaya, memiliki kendala yang sering diartikulasikan baik lewat tulisan, diskusi, dan pembicaraan sambil lalu adalah masalah miskin gedung yang representatif, stok aktor yang sedikit, sutradara yang langka, penata artistik yang langka, regenerasi yang terputus, masyarakat penonton yang semu.
Sebagaimana telah diramaikan di media massa beberpa waktu lalu, bahwa Surabaya butuh gedung yang representatif untuk pertunjukan teater. Sementara ini, teater Surabaya tidak memiliki gedung yang jadi rujukan untuk pentas. Misal kalau di Jakarta ada Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Teater Untan Kayu, paling tidak Surabaya harus memiliki satu atau dua gedung yang memiliki arti representatif tersebut. dan memang Surabaya ‘tidak memiliki’ gedung yang representatif.
Belum lagi persoalan aktor yang konon tidak mudah menciptakan. Di Surabaya, meskipun antara tahun 70-90-an secara periodik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK), telah memilih aktor dan aktris terbaik, juga tak memunculkan aktor yang kuat bertahan berteater. Kemanakah mereka yang pernah mendapat penghargaan aktor dan aktris terbaik LDLK?
Sutradara dalam arti yang sebenarnya, tampaknya Surabaya sangat miskin. Bahkan kalau boleh ekstrim, Surabaya tidak memiliki sutradara, pasca generasi Akhudiat –hanya sekedar menyebut nama. Sejak digulirkanya LDLK-pun juga tidak memunculkan sutradara yang mewakili zamannya. Di Surabaya, sutradara hanya berlaku sebagai pemimpin arstistik dan pelatih. Merekalah yang memberikan intruksi keseluruhan artistik dan bentuk-bentuk latihan yang akan di pentaskan. Sutradara yang memiliki kemampuan liteler, boleh jadi Surabaya tidak memiliki.
Persoalan keterputusan generasi, seperti telah menjadi jamak, bahwa kelemahan negeri ini adalah keterputusan generasi. Surabaya dalam kasus perkembangan teaternya seperti a-historis. Dari generasi ke generasi seperti tidak memiliki benang merah. Apakah ini satu usaha kreatif? Memberontok dari para suhunya, untuk tidak hanya sekadar perpanjangan tangan dari semacam, Akhudiat, Bambang Sujiono, Wally Sardil, Hare Rumemper, Elysabet Luther, Bambang Ginting, Meimura, dll? Belum ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, bahwa orientasi generasi penerus teater di Surabaya merupakan bentuk usaha kreatif, atau ketergagapan generasi dalam membaca sejarahnya?
Ketergagapan ini diikuti dengan semakin banyaknya penonton yang meninggalkan teater. Mereka lebih memilih gedung teater 21 dari pada berpanas-panas ria di Gallery DKS yang pertunjukkannya belum tentu memberikan mereka ‘katarsis’ (baca:kepuasan). Barangkali sedikitnya penonton, memang tidak bisa dijadikan tolok ukur sebuah tontonan teater. Tetapi kecenderungan teater semakin ditinggalkan penonton menjadi signifikan dengan kegairahan pekerja teaternya. Bagaimana tidak trenyuh bila telah berproses berbulan-bulan hanya ditonton oleh puluhan orang yang nota bone juga teman-temannya sendiri, yang sudah tahu prosesnya terlebih dahulu? Apakah ini bukan orgasme yang ironis. Sebuah kenikmatan yang menjemput kematian.
Surabaya butuh Teater
Namun demikian, Surabaya masih diuntungkan, ada Teater Api Indonesia (TAI), Ragil, Tobong, dan beberapa teater kampus yang tidak ada lelah-lelahnya, mencoba menghidupkan teater di Surabaya. Kelompok itulah –disamping kelompok teater kampus seperti Kusuma (Untag) –Institut (Unesa), yang menurut ingatan saya (maaf saya tidak pernah mencatatnya) secara periodik –tahunan- bisa mementaskan satu naskah drama, baik karya sendiri maupun naskah babon dari penulis lain.
Paling tidak, ketiga arus itulah yang menjadi lampu kuning (baca : tanda-tanda) bahwa teater di Surabaya ‘masih ada’ namun masih membutuhkan eksistensi yang cukup kuat, dalam pengertian, teater tidak sekedar sebuah tontonan tetapi sebuah wacana yang bisa menghadirkan dialetika antar masyarakat pendukungnya –penonton, kritikus, media massa.
Jadi Surabaya masih butuh teater yang tidak sekedar teater. Tetapi sebuah teater yang membuka wacana. Yang bisa memberikan keabsahan bahwa sebuah produk seni (budaya) adalah hasil dialektika dengan masyarkat pendukungnya dan memiliki wacana yang bisa ditlesik keberadaannya.
Bila semua ini terjadi, kehendak untuk berteater memiliki peluang yang melegakan. Teater menjadi memiliki masa depan yang diciptakan atas dasar pemikiran yang terus hidup. Paling tidak kita memiliki budaya tanding untuk membendung derasnya budaya kicth, yang dihumbalangkan media massa –cetak dan elektronik- baik global maupun lokal. Kalau tidak terjadi, orang-orang akan mengunci rumah pada 19.00 WIB, menikmati dunianya sendiri, dunia maya, dan Surabaya menjadi sepi. (*)

Tidak ada komentar: