Halaman

Rabu, 20 Juni 2012

Zombi Teater dan Mental Pemangku Kesenian

Esai ini saya teruntukan mbak Ratna Sarumpaet dan mas Radar Panca Dahana  yang sedang berpolemik, di koran Kompas, medio Desember 2005. Tetapi esai ini tidak pernah dipublikasikan oleh Kompas.
Oleh : R Giryadi

Sudah menjadi tabiat pejabat di negeri ini, ketika mendapat kritik dari pihak lain (meski kritik itu konstruktif), serta merta akan melakukan penolakan, dengan tanpa memberikan argument yang lebih menarik dari para pengkritik. Hal ini sungguh menjadi fenomena yang cukup menarik, ketika Indonesia sedang belajar demokrasi.
Fenomena itu tidak hanya terjadi dalam ranah kekuasaan politik saja, tetapi (ternyata) juga telah menghinggapi pejabat kesenian kita. Ini sungguh ironi yang terus patut dipertanyakan. Sudah siapkah pejabat kesenian bersikap lebih arif dari para pejabat pemerintah yang anti kritik itu?

Apa yang dipaparkan Radhar Panca Dahana dalam Kompas, Senin, 12 Desember 2005 (Zombi dan Involusi Teater Festival), merupakan sesuatu yang wajar. Sebagai kritikus, (meski Ratna Sarumpaet secara implisit tidak mengakuinya), dia berhak mengartikulasikan pemikirannya, terhadap kondisi perteateran di Indonesia. Kritik dengan bahasa esai khas Radhar, semestinya justru menjadi bahan kajian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) -kalau itu yang dituju DKJ- atau lembaga kesenian terkait. Bukan justru untuk menjadi alat penyerangan, terhadap diri Radhar, yang selama ini, menurut saya, justru banyak menyumbangkan pikirannya terhadap dunia teater. Bagaimana dengan Sarumpaet?
Kalau kita mau melihat realita teater Indonesia, mari kita bersama-sama menghitung dengan jari. Sejak era tahun berapa kita punya teater yang sehat walafiat (bukan professional)? Kita akan menemukan, tidak terlalu banyak, teater yang benar-benar sehat walafiat dan bisa menjadi tempat yang layak untuk menitih karier, apalagi, tempat mencari nafkah. Sungguh kalaupun ada, teater tersebut sudah berusia puluhan tahun, atau mendapat rejeki nomplok dari founding, dan lembaga kebudayaan asing. Menurut hemat saya, ini realita kehidupan teater kita.
Kehidupan teater di luar hitungan jari yang digambarkan Radhar, sungguh kenyataan yang tak terelakan. Fenomena ini muncul ketika kran demokratisasi semakin terbuka, dan di teaterlah -sejak masa reformasi- menjadi wahana yang cukup efektif untuk mengartikulasikan ketimpangan di masyarakat. Maka munculah teater jalanan, yang terjadi setiap hari, sembari meneriakan yel-yel.
Tidak hanya itu, teater juga hidup di kota-kota kecil. Mereka tidak bermain di gedung-gedung representatif, tetapi cukup memakai gudang beras atau aula desa. Mereka mendapatkan dana dari para orang tua yang perduli pada nasib anaknya. Mereka hidup setiap bulan Agustus, atau kalau ada perayaan hari-hari besar.
Fenomena itu mendorong, dari seniman tradisional, mahasiswa teater, seniman yang tahu teater, atau bekas pemain teater, buruh, psk, anak-anak jalanan, membuat kelompok-kelompok teater. Begitu mudahnya sebuah kelompok teater dibuat dan begitu mudahnya sebuah kelompok teater dibubarkan. Akibatnya, fenomena ini juga mendorong, munculnya ‘gerombolan’ para penganggur yang hidupnya lama tergencet, baik secara politis maupun ekonomis untuk bergabung di teater. Maka munculah teater dadakan. Mereka tidak memperdulikan mutu teaternya. Mereka masuk teater hanya untuk menyalurkan keprihatinan hidupnya, persis seperti yang digambarkan Radhar. Sebagai mantan aktivis teater kampus, keadaan yang digambarkan Radhar sungguh kenyataan yang tidak perlu ditutup-tutupi.
Tampaknya, teater di luar hitungan jari, benar-benar menjadi alat yang mudah, murah, dan meriah, untuk menyatakan pendapat. Hal ini terjadi dari kompensasi hidup yang selama ini, terus menerus dikuasai oleh retorika pejabat semasa orde baru. Bahkan kini berlanjut lebih kronis. Tindak hanya retorika tetapi juga sudah tudingan dan ancaman. Baca kutipan esai Ratna Sarumpaet : ‘…Tetapi mengatakan kondisi teater kita berada di titik nadir adalah berlebihan, lancang, dan ceroboh…’
Begitu juga simak kalimat berikut : ‘…Radhar yang menyebut diri ketua Federasi Teater Indonesia (FTI) berjanji dengan FTI dia akan menyelamatkan FTJ. Saya tahu cita-cita FTI adalah mengangkat kehidupan teater di Indonesia. Saya juga percaya organesasi manapun –termasuk FTI- bisa menolong FTJ. Tetapi FTI di bawah pimpinan Radhar?’
Sungguh pernyataan itu tak jauh berbeda dengan pernyataan Jusuf Kalla, ketika mendapat kritikan mengenai kondisi kehidupan guru, beberapa waktu lalu. Atau pernyataan para pejabat kita tentang kelaparan di Yokuhimo. Kenyataan yang diutarakan Radhar, justru menjadi alat untuk menyatakan kepentingan pejabat kesenian yang masif, anti kritik, dan menghandalkan kekuatan kekuasaannya.
Menurut hemat saya, kehidupan teater kita, perlu kritik. Munculnya kritik di media massa seharusnya menjadi kajian bersama, karena hanya di media massalah kritik itu bisa terwadahi (kecuali dewan kesenian mampu membuat jurnal teater misalnya). Sanggahan, Ratna Sarumpaet Kompas Sabtu 24 Desember 2005 (Teater di Indonesia Zombi?) sungguh merupakan gambaran wajah birokrasi kesenian kita. Anti kritik! Dengan menyajikan data kuantitatif (jumlah) teater, dengan pongah Sarumpaet sudah berani menuding Radhar : ‘lancang!’
Menurut hemat saya, apa yang disajikan Sarumpaet (tak lebih) data teater era 80-an hingga-90-an yang kini napasnya kembang kempis. Sementara hanya beberapa saja yang bisa dikatakan sebagai fenomena teater era 2000-an dengan pencapaian artistic yang khas dan penggarapan manageman yang mapan. Sebut saja, teater Payung Hitam (Bandung), Ruang (Solo), Garasi (Yogjakarta), dan Gardanala (Yogjakarta). Sementara yang lain adalah kelompok-kelompok yang sudah uzur dan belum mampu membenahi kembali organesasinya, meski mereka tetap berusaha hidup. Sebut saja dalam hal ini, teater Studiclub Teater Bandung (Bandung), Teater Republik (Bandung), Teater Api Indonesia (Surabaya), Bengkel Muda Surabaya (Surabaya), dan beberapa teater yang disebutkan Sarumpaet.
Sungguh, pikiran Sarumpaet tak jauh berbeda dengan proses berpikir para pejabat kita. Sarumpaet terjebak oleh data-data sekunder dan menjadikan data itu sebagai kesimpulan, bahwa teater Indonesia sehat, tanpa melakukan refleksi terhadap sejarah, kontekstual, dan pencapaiannya. Ini sungguh ironi yang harus diperhatikan oleh seluruh pejabat kesenian kita, yang selalu berpikir pragmatis. Seolah-olah yang dilihatnya sesuatu kebenaran. Padahal itu merupakan pola kerja APS (Asal Pejabat Senang).
Asumsi saya, kenyataan teater hingga kini, seperti yang dipaparkan Radhar, merupakan buah ketidak harmonisan antara, pekerja teater, kritikus, media massa,  pejabat kesenian, pejabat pemerintah,  dalam mengartikulasikan pikirannya. Ketika saya bertanya pada seorang pendekar teater Indonesia ketika berkunjung ke Surabaya, mengenai kritikan tajam oleh sebuah media massa nasional tentang pementasannya, dengan lantang dia mengatakan, “Apakah media tersebut tidak bisa mencari wartawan yang lebih baik?”. Kenyataan ini menegaskan asumsi saya hingga kini masih terjadi terik menarik kepentingan yang cukup kuat, antara masing-masing pihak. Tetapi, jangan-jangan kita adalah pribadi yang masokis? Mari bercermin!
           
R. Giryadi, pekerja teater Surabaya

Tidak ada komentar: