Esai R Giryadi
Waiting
for Godot, naskah drama karangan Samuel Beckett ini terasa sekali gaungnya
sampai sekarang. Menunggu Godot, selalu dikaitkan dengan situasi absurd. Memang
tidak terlalu meleset. Dari judulnya sudah menawarkan sesuatu yang serba
kemungkinan. Menunggu menggambarkan situasi absurd itu sendiri. Antara datang
dan tidak. Antara berubah atau tidak. Menunggu berarti relativitas yang tak
habis diperdebatkan.
Seperti
dalam kisah drama itu, Vladimir, Estragon, Pozzo hanya memperdebatkan sesuatu
yang tak ada ujung pangkalnya. Mereka mempedebatkan sesuatu yang tidak saja
membosankan, tetapi berputar-putar. Dari hal yang remeh temeh sampai ke hal-hal
filosofis. Menunggu memang membuat situasi seperti berhenti. Dan kita seperti
menghabiskan waktu itu sia-sia belaka.
Menunggu
sesuatu yang tak berkepastian. Senyatanya, itulah yang dirasakan Vladimir dan
Estragon, dua tokoh utama drama Menunggu Godot atau ‘'Waiting for Godot'’ karya
Samuel Beckett, sastrawan Irlandia yang besar di Prancis.
Godot
yang mereka tunggu tak kunjung datang. Entah berapa lama mereka melakukan
penantian. Yang terang, keduanya tak lagi sanggup menengarai apakah telah
menunggu seharian, seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan berabad-abad.
Kejenuhan
tentu saja hinggap sebab sepanjang penantian mereka nyaris tak beranjak dari
tempat yang sama: sebuah jalan desa yang senyap dan berdebu dengan sebatang
pohon beranting kering yang masih tegak di tepinya.
Dalam
penantian tak berujung itu, Vladimir dan Estragon terlibat banyak perbincangan.
Boleh jadi, itulah yang memberi mereka kekuatan untuk bertahan. Tak terkecuali
kehadiran Pozzo, seorang tiran yang semula oleh keduanya disangkakan sebagai
Godot.
Bukan, Godot hanya sebuah harapan. Harapan dari menunggu yang telah begitu lama. Kita juga sudah begitu lama menanti keadilan. Kita sudah lama menunggu Godot atawa ‘Ratu Adil’ itu.
Bukan, Godot hanya sebuah harapan. Harapan dari menunggu yang telah begitu lama. Kita juga sudah begitu lama menanti keadilan. Kita sudah lama menunggu Godot atawa ‘Ratu Adil’ itu.
Sepanjang
tahun, kita hanya berdebad. Kita bicara ngalor-ngidul. Bertengkar, saling
jegal, saling meludah, saling bunuh, tetapi Godot atawa Ratu Adil itu tak jua
datang.
Godot atawa ratu adil itu hanya harapan. Harapan semu. Realitasnya kita hanya berputar-putar dalam ketidak menentuan, karena realitas politik kita, tak pernah yang menyatakan menunggu. Politik kita bahkan tak memberikan kesempatan sedikitpun kata menunggu. Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus besok. Inilah pragmatisme politik kita. Kita terjebak dalam hal ini.
Godot atawa ratu adil itu hanya harapan. Harapan semu. Realitasnya kita hanya berputar-putar dalam ketidak menentuan, karena realitas politik kita, tak pernah yang menyatakan menunggu. Politik kita bahkan tak memberikan kesempatan sedikitpun kata menunggu. Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus besok. Inilah pragmatisme politik kita. Kita terjebak dalam hal ini.
Naskah
drama yang pernah meraih hadiah Nobel 1969 ini, membicarakan ketidakberdayaan
manusia dalam mengarungi kehidupan. Manusia merasa tidak mampu menghadapi
perang, menghadapi teknologi pembunuh massal. Manusia hanya bisa merenung dan
melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa ada makna di dalamnya. Hal ini
sebenarnya telah hadir dalam The Myth of Sisyphus karya Albert Camus. Alur
dalam karya absurd tidak bisa membingkai persoalan sehingga pembicaraan boleh
kemana saja dan boleh untuk tujuan apa saja.
Pragmatisme politik kita mengalami situasi seperti ini.
Pragmatisme politik kita mengalami situasi seperti ini.
Kini
banyak orang tidak menghayati arti politik itu sendiri. Politik dijadikan mesin
‘pembunuh’. Politik dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan dengan segala
cara. Orang-orang banyak mengibarkan bendera. Partai-partai tumbuh seperti
jamur. Tetapi banyak suara rakyat yang terbungkam. Lembaga swadaya masyarakat
banyak bermunculan, tetapi banyak pula masyarakat yang semakin malas. Rakyat
menangis, pemimpin menilai itulah tertawanya rakyat.
Kita
memang sedang menunggu Godot. Tetapi seperti kita tahu, Godot tidak pernah
hadir. Kita sebenarnya sudah dalam kondisi abrsurd total. Detik demi detik,
nasib seperti tak menentu. Perubahan suhu politik, ketidak setabilan ekonomi,
bencana alam, bisa sewaktu-waktu membuat kita semua ‘senewen.’ Menunggu memang
bisa membuat orang senewen, stress, dan kompensasinya suka marah. Maka jangan
heran kalau kekerasan demi kekerasan terjadi dimana-mana.
Menunggu
memang membahayakan, bagi jiwa yang labil. Perubahan yang kita nantikan sejak
Orde Baru minggir dari arena kekuasaan –dan sebentar kemudian telah kembali-
membuat kita semakin pesimistis dengan para penguasa kita. Tak ada kata
keadilan. Yang ada hanya kebatilan. Dan kita hanya disuguhi janji kosong.
Barangkali benar, Godot atawa Ratu Adil itu tidak ada. Itu hanya mitos yang
diciptakan penguasa untuk meninabobokan rakyatnya. Karena itu, ‘Jangan Menunggu
Godot!’
R Giryadi, penulis
tinggal di Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar