Halaman

Rabu, 27 Juni 2012

Jangan Menunggu Godot

Esai R Giryadi

Waiting for Godot, naskah drama karangan Samuel Beckett ini terasa sekali gaungnya sampai sekarang. Menunggu Godot, selalu dikaitkan dengan situasi absurd. Memang tidak terlalu meleset. Dari judulnya sudah menawarkan sesuatu yang serba kemungkinan. Menunggu menggambarkan situasi absurd itu sendiri. Antara datang dan tidak. Antara berubah atau tidak. Menunggu berarti relativitas yang tak habis diperdebatkan.

Seperti dalam kisah drama itu, Vladimir, Estragon, Pozzo hanya memperdebatkan sesuatu yang tak ada ujung pangkalnya. Mereka mempedebatkan sesuatu yang tidak saja membosankan, tetapi berputar-putar. Dari hal yang remeh temeh sampai ke hal-hal filosofis. Menunggu memang membuat situasi seperti berhenti. Dan kita seperti menghabiskan waktu itu sia-sia belaka.
Menunggu sesuatu yang tak berkepastian. Senyatanya, itulah yang dirasakan Vladimir dan Estragon, dua tokoh utama drama Menunggu Godot atau ‘'Waiting for Godot'’ karya Samuel Beckett, sastrawan Irlandia yang besar di Prancis.
Godot yang mereka tunggu tak kunjung datang. Entah berapa lama mereka melakukan penantian. Yang terang, keduanya tak lagi sanggup menengarai apakah telah menunggu seharian, seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan berabad-abad.
Kejenuhan tentu saja hinggap sebab sepanjang penantian mereka nyaris tak beranjak dari tempat yang sama: sebuah jalan desa yang senyap dan berdebu dengan sebatang pohon beranting kering yang masih tegak di tepinya.
Dalam penantian tak berujung itu, Vladimir dan Estragon terlibat banyak perbincangan. Boleh jadi, itulah yang memberi mereka kekuatan untuk bertahan. Tak terkecuali kehadiran Pozzo, seorang tiran yang semula oleh keduanya disangkakan sebagai Godot.
Bukan, Godot hanya sebuah harapan. Harapan dari menunggu yang telah begitu lama. Kita juga sudah begitu lama menanti keadilan. Kita sudah lama menunggu Godot atawa ‘Ratu Adil’ itu.
Sepanjang tahun, kita hanya berdebad. Kita bicara ngalor-ngidul. Bertengkar, saling jegal, saling meludah, saling bunuh, tetapi Godot atawa Ratu Adil itu tak jua datang.
Godot atawa ratu adil itu hanya harapan. Harapan semu. Realitasnya kita hanya berputar-putar dalam ketidak menentuan, karena realitas politik kita, tak pernah yang menyatakan menunggu. Politik kita bahkan tak memberikan kesempatan sedikitpun kata menunggu. Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus besok. Inilah pragmatisme politik kita. Kita terjebak dalam hal ini.
Naskah drama yang pernah meraih hadiah Nobel 1969 ini, membicarakan ketidakberdayaan manusia dalam mengarungi kehidupan. Manusia merasa tidak mampu menghadapi perang, menghadapi teknologi pembunuh massal. Manusia hanya bisa merenung dan melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa ada makna di dalamnya. Hal ini sebenarnya telah hadir dalam The Myth of Sisyphus karya Albert Camus. Alur dalam karya absurd tidak bisa membingkai persoalan sehingga pembicaraan boleh kemana saja dan boleh untuk tujuan apa saja.
Pragmatisme politik kita mengalami situasi seperti ini.
Kini banyak orang tidak menghayati arti politik itu sendiri. Politik dijadikan mesin ‘pembunuh’. Politik dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan dengan segala cara. Orang-orang banyak mengibarkan bendera. Partai-partai tumbuh seperti jamur. Tetapi banyak suara rakyat yang terbungkam. Lembaga swadaya masyarakat banyak bermunculan, tetapi banyak pula masyarakat yang semakin malas. Rakyat menangis, pemimpin menilai itulah tertawanya rakyat.
Kita memang sedang menunggu Godot. Tetapi seperti kita tahu, Godot tidak pernah hadir. Kita sebenarnya sudah dalam kondisi abrsurd total. Detik demi detik, nasib seperti tak menentu. Perubahan suhu politik, ketidak setabilan ekonomi, bencana alam, bisa sewaktu-waktu membuat kita semua ‘senewen.’ Menunggu memang bisa membuat orang senewen, stress, dan kompensasinya suka marah. Maka jangan heran kalau kekerasan demi kekerasan terjadi dimana-mana.
Menunggu memang membahayakan, bagi jiwa yang labil. Perubahan yang kita nantikan sejak Orde Baru minggir dari arena kekuasaan –dan sebentar kemudian telah kembali- membuat kita semakin pesimistis dengan para penguasa kita. Tak ada kata keadilan. Yang ada hanya kebatilan. Dan kita hanya disuguhi janji kosong. Barangkali benar, Godot atawa Ratu Adil itu tidak ada. Itu hanya mitos yang diciptakan penguasa untuk meninabobokan rakyatnya. Karena itu, ‘Jangan Menunggu Godot!’

R Giryadi, penulis tinggal di Sidoarjo

Tidak ada komentar: