Halaman

Jumat, 13 Februari 2009

Ponari



Oleh : Rakhmat Giryadi
Wartawan Surabaya Post

Ponari anak usia 10 tahun duduk di bangku kelas 3 SD tiba-tiba menjadi bintang. Ia digeruduk massa. Tiga minggu ia harus melayani ribuan orang yang percaya dengan ‘kesaktiannya’. Mereka meminta usada.
Ponari si dukun tiban dari Megaluh, Jombang, pada suatu hari bisa menyembukan tetangganya yang sakit. Padahal ia tidak menyuntiknya. Ia juga tidak memberinya resep obat. Porani juga tidak memberikan keterangan Si pasien sedang sakit apa. Ponari hanya menyelupkan batu –konon turun dari langit yang dibawa oleh halilintar- di gelas berisi air. Kemudian gluk!. Satu tegukan air batu dari Ponari, konon (lagi), penyakit yang diderita tetangganya sembuh.

Kabar itu tiba-tiba menyentil bawah sadar ribuan massa dari berbagai daerah. Dalam hitungan hari, ribuan massa menyemut ke rumah Ponari yang reot. Mereka berbondong-bondong demi mendapatkan kesembuhan. Mereka datang dari berbagai kalangan. Mereka juga rela antre berjam-jam, bahkan berhari-hari hanya ingin dapat air batu dari Ponari. Tak kalah dahsyatnya mereka rela meregang nyawa demi itu.
Ini histeria massa. Mereka adalah masyarakat ‘mengambang’ yang tidak memiliki pegangan rasionalitas yang kukuh. Mengapa mereka rela datang dari jauh hanya untuk mendapat air batu dari Ponari. Sementara ada dokter yang bisa menjelaskan secara nalar medis tentang penyakit yang diderita?
Tindakan irasional memang berada diluar nalar. Orang mudah saja mengikuti arus, meski ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Inilah histeria massa. Histeria massa yang muncul selalu tak memiliki identitas. Karena itu pula histeria tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan atas segala akibat dan konsekwensi yang ditimbulkannya.
Histeria menimbulkan irasionalitas pada seseorang. Orang atau segerombolan massa akan bertindak apa saja meski tindakannya itu di bawah kemampuannya. Sudah banyak contoh fenomena semacam ini. Ketika booming handphone, banyak orang ingin memilikinya. Tak peduli seberapa perlunya seseorang memiliki handphone. Bahkan, ketika ada hanphone lain yang menawarkan fitur yang lebih canggih, kehendak untuk memilikinya juga besar. Tak jarang seorang bisa memiliki lebih dari 1 hanphone.
Tak kalah menariknya, ketika booming tanaman hias beberapa waktu lalu, orang-orang ramai membeli tanaman hias dengan harga miliaran rupiah. Ketika booming ikan arwana yang konon ikan keberuntungan, orang-orang membeli arwana dengan harga selangit. Ketika booming lukisan, para juragan tembakau di Magelang, misalnya, memborong lukisan dengan harga diluar batas nalar.
Masyarakat tak bisa menjangkaunya hanya bisa bermimpi. Ketika mimpi itu ingin diwujudkan berubahlah menjadi tindakan fisik. Masyarakat atau seseorang mengalami proses perubahan dari gejala psikologis menjadi manifestasi fisiologis. Dalam hal ini Sigmund Freud meyakini gangguan histeria tak hanya disebabkan oleh kelainan organik, namun juga gangguan emosional yang dialaminya. Artinya, orang-orang yang secara kejiwaan sehat bisa saja mengalami histeris.
Histeria massa sebagai pandangan irasional atau perilaku tidak wajar yang menyebar luas pada sejumlah orang sebenarnya bukanlah sebentuk tindakan sosial tiada arti yang diarahkan kepada orang lain sebagaimana tindakan para fans artis, penyanyi, film, sinetron, dan lain sebagainya.
Namun bila dicermati histeria massa bisa menjadi sebentuk tindakan sosial bila individu yang dihisteria massa tersebut sudah diketahui ke'penyimpang'annya dalam suatu komunitas masyarakat karena kehumanistisan yang ada melihat individu tersebut yang berusaha untuk mendapatkan status yang diberikan padanya. Remaja-remaja membentuk geng. Orang-orang membentuk aliran sempalan dari agama-agama besar.
Mereka yang merasa senasib akan terjalin solidaritas. Sikap dan wujud solidaritas tersebut akan berakumulasi menjadi sebuah “semangat” namun semangat yang berkadar “massa” yang tak jelas identitasnya. Dia bisa berubah menjadi amuk yang destruktif dan menyesatkan serta akhirnya justru malah merugikan kepentingan orang lain. Demo anarkis menuntut pemekaran provinsi di Medan salah satu contohnya.
Dan hal ini sedang dialami pada Ponari. Massa yang tidak ingin pratik Ponari ditutup, memaksa dibuka. Massa tidak peduli Ponari sakit. Begitulah, histeria menimbulkan irasionalitas. Irasionalitas bisa menggiring orang betindak ‘aneh tetapi nyata.’ Dan hal itu dibawah kontrol rasionalitas. Jadi harap maklum!

Tidak ada komentar: