Halaman

Minggu, 25 Oktober 2009

Masalah Naskah Teater di Jawa Timur


Oleh : R Giryadi

Jawa Timur, mengalami kelangkaan naskah teater. Sejak periode tahun 1970-an, periode Akhudiat, penerbitan naskah teater baru terjadi satu kali. Pada tahun 2001 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) menerbitkan Tiga Kitab Lakon dari Jawa Timur, yang hanya memuat tiga naskah antara lain, Jaka Tarub (Akhudiat), Sang Tokoh (Anas Yusuf), dan Kuman (Meimura). Namun penerbitan ini juga tidak mampu menjawab kelangkaan naskah di Jawa Timur.
Kelangkaan naskah teater bisa jadi disebabkan oleh kesalah pahaman, bahwa naskah teater semata-mata urusan sastra an sich. Begitu juga sebaliknya, sastrawan juga menganggap naskah teater semata-mata hanya urusan teater an sich. Karena itu jarang sekali para sastrawan kita menulis naskah teater. Apalagi sang teatrawan.

Selain itu tidak banyak pemimpin teater, sutradara teater di Jawa Timur, tidak memiliki latar belakang (menulis) sastra. Sementara kita tahu Akhudiat, adalah seorang sastrawan, Anas Yusuf seorang penyair nasional dari Madiun.
Hal ini memang tidak bisa dipermasalahkan. Karena kenyataannya, bila dibandingkan dengan produksi prosa, karya naskah teater yang bisa digolongkan dalam prosa ini, sangat minim. Boen Sri Omariati (1971) mengatakan bahwa sastra di Indonesia hanya baru menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis. Sementara penulis naskah teater belum ada. Secara kuantitatif, dalam buku ‘Horison Sastra Indonesia’ (2001) terbitan majalah Horison, mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan.
Ini artinya secara jumlah, penulis naskah teater sangat tertinggal jauh dengan penulis sastra lainnya. Tentu memang, persoalannya bukan hanya pada jumlah, namun minat untuk menulis naskah teater di kalangan para pengiat teater sendiri sangat rendah.
Tidak banyaknya penulis yang menekuni naskah drama, agaknya juga disebabkan oleh belum lakunya naskah teater di pasar perbukuan. Lemahnya bangunan pasar ini menyebabkan banyak sastrawan dan teatrawan malas menerbitkan naskah-naskah teaternya.
Faktor lain yang menjadi penyebab adalah belum tingginya frekuensi pementasan grup-grup teater. Hal ini masih ditambah dengan belum mentradisinya masyarakat untuk membaca naskah lakon sebagaimana membaca karya berbentuk prosa lainnya.
Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama sangatlah kurang sehingga penerbit harus berpikir untuk mencetak naskah teater.
Situasai yang seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi bila disadari keterkaitan antara sastra dan teater. Bahwa antara sastra dan teater disatukan dalam kerangka yang lebih luas yaitu drama. Dalam konteks ini, drama juga memiliki pengertian sebagai teater atau performance, dan drama juga terkandung pengertian karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater. Bukankah, ada pula drama yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung?.
Situasi krisis naskah, pada zaman keemasan teater tahun 1970-an, justru menjadi pendorong munculnya naskah-naskah lakon yang ditulis oleh para sutradara/pimpinan teater. Pada periode ini, produksi teater sama dengan memproduksi naskah-naskah yang ditulis oleh sang sutradara yang juga bertidak sebagai pimpinan teater.
Kita mengenal para penulis seperti Rendra (Bengkel Teater), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Arifin C.Noer (Teater Kecil), Ikranagara (Teater Saja), Nano Riantiarno (Teater Koma), Heru Kesawamurti (Teater Gandrik), Bambang Widoyo Sp (Teater Gapit).
Di Jawa Timur (sekedar menyebut nama) kita mengenal, Basuki Rachmat, Akhudiat, Lutfi Rachman, Anang Hanani, Monor Koeswandono, Harjono WS, Emil Sanosa, dll.
Namun periode tradisi penulisan naskah di Jawa Timur tidak berlangsung lama. Atau tidak mentradisi sampai sekarang. Karena, setelah periode itu, teater di Jawa Timur lebih banyak didominasi oleh teater yang ‘anti naskah’ atau ‘anti sastra’.
Kalaupun ada naskah hanya menjadi kerangka pertunjukan saja. Hal ini bisa kita lihat pada naskah-naskah karya Brewok AS (Sanggar Suroboyo), Meimura (Teater Ragil), Julfikar M Yunus (Teater Jaguar), Dody Yan Masfa (Teater Tobong). Naskah teater mereka, sekaligus untuk menegaskan konsep teaternya yang anti plot, anti alur, bahkan anti tokoh. Maka dalam pertunjukannya kita hanya melihat rangkaian situasi.
Pilihan penulisan naskah seperti ini memang cukup beralasan. Hal ini terkait dengan konsep teater mereka yang lebih mengedepankan narasi dan daya ungkap artistik tubuh, daripada mengatur plot, alur, dan perwatakan yang terstruktur sesuai dengan dramaturgi. Fenomena tubuh dalam dunia teater di Jawa Timur sudah menggejala sejak tahun 1990-an. Teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang dinyatakan. Teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini sangat radikal. Di Surabaya, Teater Api Indonesia (Bambang Ginting, alm) menjadi pintu masuk aliran teater tubuh, yang sebelumnya banyak dikenalkan oleh Teater SAE (Jakarta) dengan tokohnya Afrizal Malna dan Budi S Otong.
Gejala ini terus berlanjut hingga kini. Seiring dengan konsep teater tubuh, kesadaran menulis naskah teater merupakan bagian kegiatan bersastra kurang banyak dilakukan. Bahkan penerbitanpun, hingga kini sangat minim sekali atau boleh dikatakan tidak ada. Banyak kelompok teater yang cenderung menggarap naskah-naskah babon (milik penulis ternama), yang sudah terlalu sering dipentaskan, bahkan tidak kontekstual sekali dengan kondisi saat ini.
Sejak puluhan tahun lalu, akting teater kita lebih banyak memerankan manusia Barat. Kita tidak pernah menyadari, bahwa hal itu karena langkanya naskah. Indonesia memiliki sekitar 400 naskah teater yang sebagian adalah naskah saduran dari Barat. Sementara naskah asing yang telah diterjemahkan dan sebagian besar sangat populer berjumlah sekitar 154 naskah teater dari pengarang-pengarang terkenal. Naskah-naskah ini sampai kini masih menjadi referensi para penggiat teater.
Hematnya, langkah awal untuk membangun kembali gairah pertumbuhan naskah teater di Jawa Timur, menurut saya dengan memunculkan kembali naskah-naskah teater baru yang memiliki élan vital Jawa Timur-an. Dan upaya mewujudkan itu bisa melalui ajang lomba penulisan naskah teater atau juga lewat pendokumentasian naskah-naskah dari seniman teater di Jawa Timur. Namun semua itu tidak akan berarti kalau para penggiat teater tidak segera menyadari persoalan ini. ***

Penulis adalah mantan Ketua Komite Teater DKJT

Tidak ada komentar: