Halaman

Minggu, 13 April 2008

Teater Realis (di) Surabaya



Oleh : Rakhmat Giryadi

Menjawab ‘tantangan’ Dheny Jadmiko (Kompas, Kamis 10 April 2008), agar teater Surabaya kembali ke (genre) realis, sungguh tidak mudah. Untuk menjawab tantangan itu perlu dirumuskan pengertian antara teater realis di Surabaya dan teater realis Surabaya. Kedua rumusan ini memiliki makna yang berbeda dan konsekwensi yang berbeda pula.
Teater realis di Surabaya, memiliki ruang yang lebih fleksibel. Karena yang dimaksud teater realis di Surabaya (bisa) berarti peristiwa teater bergaya realis di Surabaya. Peristiwanya bisa kapan saja, dimana saja, dan tentunya tanpa merujuk pada fenomena tertentu yang terjadi di Surabaya.

Teater realis di Surabaya juga berarti sebuah kelompok teater sedang memainkan naskah-naskah realis misalnya dari Hendrik Ibsen, Anton P Chekov, dan Eugene O`Neill, Abu Hanifah, Armijn Pane, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Trisno Sumardjo, Motinggo Busje, B Sularto, WS Rendra, Putu Wijaya, dll, bertempat di Surabaya.
Dalam hal ini sebuah kelompok teater hanya merekontruksi (peristiwa) naskah yang sudah ada dalam satu pertunjukan. Kelompok teater hanya mempresentasikan naskah dengan sedikit aktualisasi tema di dalamnya. Dalam peristiwa ini penonton hanya menyaksikan, kehebatan pemeranan, penyutradaraan, dan tentu kehebatan well made play-nya.
Sementara itu teater realis Surabaya, memiliki pengertian yang lebih khusus. Secara ontologis realis bisa merujuk pada pemahaman filsafat realisme atau konsep drama realis, atau juga merujuk suatu fenomena sosial. Sementara Surabaya, bisa merujuk pada pemahaman ruang sosial, dan entitas budaya. Teater realis Surabaya memiliki kekhasan dalam konsep teaternya.
Surabaya, bukan saja dipahami sebagai letak geografis tetapi juga sebuah medan sosial yang menjadi bagian dari proses (obyek) pertunjukan teater itu sendiri. Surabaya menjadi `laboratorium` penelitian atas pertunjuakan yang akan disajikan. Surabaya menjadi entitas budaya yang tak terpisahkan dengan pertunjukan.
Pada bagian yang kedua ini jelas teater tidak saja sebuah peristiwa di atas panggung belaka, tetapi telah menuklik pada pemahaman atas realitas sosial. Kerja teater tidak hanya merekontruksi naskah yang sudah tersedia, tetapi merekontruksi peristiwa sosial menjadi sebuah tema pertunjukan.
Seperti diketahui lahirnya teater realis di Barat dilatari semangat studi ilmu pengetahuan dan eksperimen terhadap dunia aktual. Semangat ilmu pengetahuan mendorong dramawan realis menjadi pengamat yang obyektif. Kelompok teater dituntut jujur, obyektif, teliti, rinci dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami pengarang maupun sebuah kelompok kerja teater. Secara sadar mereka menyajikan fakta-fakta dan mendorong penonton untuk berpikir kritis.
Realisme merupakan cara pengamatan yang khas terhadap apa yang tampak sebagai realitas. Titik beratnya drama ini terletak pada bahasa yang digunakan, pola gesture, situasi, dan adegan-adegan yang dapat dijumpai di dunia nyata. Menurut Kernodle, drama realis bertujuan menciptakan ilusi realitas. Di sini penonton dapat lupa, bahwa dunia nyata yang ada di atas pentas sesungguhnya hanyalah drama.
Sekarang pertanyaannya, apakah para pekerja teater di Surabaya memiliki tradisi seperti saya sebutkan di atas?
Tantangan Dheny, membawa konsekwensi yang sangat luas. Karena mau tidak mau, harus berani membongkar `tradisi` teater di Surabaya yang menurut Dheny lebih banyak mengadobsi teater eksperimennya Grotowsky. Begitu juga teater di Surabaya sendiri tidak memiliki tradisi menulis. Padahal kelahiran teater realis di Barat diiringi dengan tradisi menulis dan cara berpikir empiris.
Hemat saya, teater kita punya cara pandang sendiri dalam menyampaikan pandangannya terhadap masalah fenomena sosial maupun fenomena-fenomena lainnya. Cara pandang itu bisa kita lihat pada seni pertunjukan tradisi kita.
Kita punya seni pertunjukan, kentrung, jaranan, tayuban, wayang, ketoprak, ludruk, Srimulat yang dalam seni pertunjukan ini, realitas sosial tidak lagi menjadi teks verbal, tetapi bisa menjadi kidungan, tembang, dongeng, dan lain sebagainya yang lebih mirip dengan konsep realisme epiknya, Bertolt Brecht.
Puncak dari realisme adalah teater epiknya Bertolt Brecht. Dalam teater epik penonton mendapat konsep realisme yang diperluas, sehingga mereka berpikir tidak hanya satu realisme saja. Dalam epik teater yang paling menonjol adalah setting-decoration yang lebih ringkas, bahkan simbolik, dan memiliki fleksibilitas ruang yang tak terbatas.
Dalam pementasannya, kadang tokoh menggunakan topeng, nyanyian, pidato, berdialog dengan penonton. Tidak jarang teater epik juga memanfaatkan teknologi, seperti slide-proyektor, film, dan komputer grafis.
Teater epik mampu menampilkan hubungan yang lebih luas, historik, politik, dan ekonomi, berbeda dengan realisme yang konvensional. Dalam hal ini kita bisa melihat teater karya, Putu Wijaya (Mandiri), N Riantiarno (Koma), WS Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Kecil). Sementara realisme konvensional kita bisa melihat karya-karya Teguh Karya (Populer).
Inti dari jawaban tantangan Dheny adalah, kita perlu kembali pada akar budaya sendiri sebagai bagian dari proses penciptaan teater. Hemat saya, tidak menariknya teater di Surabaya bukan masalah genre teater yang digunakan, tetapi masalah lemahnya ‘baca-tulis’ yang belum mentradisi pada pekerja teater di Surabaya. Disinilah, kita sering melihat pertunjukan yang tanpa rujukan yang jelas. ‘Co gito ergo sum, Rek!’

1 komentar:

Eko Ompong mengatakan...

Sebetulnya perlu hati-hati membedah genre teater di Indonesia. Artinya, Indonesia punya sejarah perkembangan teaternya sendiri yang mau tidak mau berurat akar pada budayanya. Nah sementara pisau bedah yang digunakan adalah pisau bedah sarjana barat yang tentu saja karya seninya juga memiliki sejarah perkembangan tersendiri. Jadi, realisme yang sering kita dengar itu kan made in barat yg tentu saja instrumen penilaiannyapun dari barat. Sementara itu, secara kultur seni teater Indonesia itu unik jadi kadang agak susah diukur dengan pisau barat. Sama seperti kata "tradisional" yang sebetulnya berasal dari Inggris itu seolah2 menjadi kata sakti leluhur untuk memberikan alamat kepada salah satu jenis seni di negara kita. Padahal arti tradisi sesungguhnya mereka nggak paham banget, coba seandainya yang digaungkan itu seni rakyat atau seni kerakyatan.. saya kira akan lebih sejuk di kuping. Jadi, pisau siapa yang akan digunakan untuk membedah teater Indonesia itu?