Halaman

Rabu, 02 Januari 2008

Masa Depan Teater Jawa Timur


Oleh : Rakhmat Giryadi

Bicara problematik teater di Jawa Timur atau bahkan di Indonesia, kalau mau kita sederhanakan, sejak jaman Usmar Ismail dengan Sandirwara Mayanya, adalah hampir memiliki kesemaan. Sejak jaman Usmar Ismail sampai generasi teater Indonesia terkini teater masih bernasib sama, diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.
Cerita tentang jual-menjual harta benda untuk sebuah pementasan terjadi sejak jaman itu, hingga sekarang. Ekonomi dan infrastruktur yang minim juga masih berlangsung hingga saat ini. Teater dijauhi penonton juga terjadi turun temurun. Teater termarjinalkan juga seperti kutukan, hinggap dalam tubuh teater hingga saat ini pula.
Memang berbicara teater selalu menyulut kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tetapi di balik kemuraman itu juga tersimpan harapan dan impian yang coba terus disusun meski kemudian runtuh lagi, persis seperti Sisipus. Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, meski kalau diibaratkan patah tumbuh hilang berganti.

Selama rentang 365 hari ini, apa yangg terjadi dengan teater di Jawa Timur? Kalau kita jujur, selama setahun ini tidak ada yang patut kita catat, meski ada letupan-letupan kecil, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat dalam lingkaran area kecil.
Letupan-letupan kecil itu seperti, beberapa performing art Ilham J Badai di berbagai forum, Pesta Pencuri garapan Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya, Percakapan Dari Dalam Kulkas sanggar Lentera STKIP Sumenep, Nyai Ontosoroh teater Institut Unesa, Satu Malam 3 Cerita Teater Nol Surabaya, Monumen-Monumen komunitas Jadul Surabaya, dan beberapa letupan lainnya. Namun letupan itu hanya berlalu begitu saja, kemudian sunyi.
Selebihnya kita kemudian berganti menyaksikan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran dan emosi kita. Kisah tentang lumpur Lapindo, pabrik narkotika, bencana alam, kriminalitas, korupsi, carut marut politik, lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang lebih teatrikal.
Disaat seperti itu, teater (kita) hanya mampu berdiri di pojok panggung besar kehidupan ini sembari merasa sedih karena hampir potensi dalam dirinya ‘dimanfaatkan’ pihak lain. Lahan teater semakin menyempit, karena telah kehilangan momentum. Teater menjadi gagap menilai tanda bahkan gagap mengidentifikasi dirinya. Akibatnya ia merasa menjadi makluk yang terasing dalam pranata sosial dan budaya. Padahal sejak jaman bahula, teater hidup dalam pranata itu.
Karena itu (mungkin benar) tengara Radhar Paca Dahana bahwa dalam dekade terakhir teater mengalami stagnasi. Artinya, selama dekade terakhir ini pekerja teater tidak mampu memperlihatkan diri sebagai entitas yang kukuh. Sebenarnya, seratus tahun perjalanan teater (modern) adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik
Tanpa menafikan beberapa pencapaian sporadis, dalam dekade belakangan ini, pada umumnya teater maupun teaterawan, terasa inferior ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga lain di luar dirinya. Teater menjadi lembaga yang klepto. Teater perlu seni rupa. Teater perlu tari. Teater perlu film. Teater perlu musik. Teater perlu pencanggihan estetika pertunjukan yang sekaligus merayakan pembunuhan aktor-aktornya.
Teater menjadi semacam subordinasi. Padahal sejak jaman bahula, teater merupakan entitas budaya yang melebur dalam kehidupan masyarakat. Karenanya teater tidak saja sebuah pertunjukan, tetapi bagian dari ritual, bahkan baian dari pandangan hidup tersendiri. Namun di tengah kebudayaan modern (baca : barat), teater menjadi subordinasi kebudayaan, bahkan semakin menyempit menjadi subordinasi seni.
Padahal seperti diungkapkan Jakob Sumardjo bahwa teater Indonesia telah ada ribuan tahun yang lalu. Dengan berbagai upacara yang menjadi ikon masyarakat, secara tidak langsung, teater telah menjadi bagian dari proses kehidupan masyarakat kita. Upacara-upacara yang digelar masyarakat kita, percakapan-percakapan soal hidup, soal cinta, telah masuk menjadi bagian dari ritus teater kita.
Memahami problim saat ini sebenarnya kita tengah membaca masa depan teater kita. Nasib teater di Jawa Timur ke depan, tergantung dari cara kita mengolah persoalan yang terjadi saat ini.
Letupan-letupan kecil yang terjadi dalam komunitas-komunitas mungkin akan menjadi amunisi yang dahsyat ledakannya, jika mampu kita kelola secara bersama-sama. Sementara ini, masing-masing masih terksesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga upaya- menjadikan teater sebagai proses budaya secara utuh sulit tercapai.
Berteater memang berbeda dengan berseni rupa atau bersastra. Teater membutuhkan ikatan komunal. Berteater tidak bisa bekerja sendiri, meski harus diakui di dalam ikatan komunal itu ada stake holder yang menonjol, sebagai penggerak.
Karena itu, saya sepakat pada Goenawan Mohamad, saat deklarasi Federasi Teater Indonesia di Jakarta tahun 2004 lalu, agar aktivis teater membentuk semacam ‘gilda’ atau kelompok kerja menurut bidang masing-masing. Pembentukan gilda ini, sebagai tempat tukar pikiran para pekerja teater. Gilda-gilda juga berfungsi untuk tukar pengalaman dan memberikan masukan ke beberapa lembaga teater.
Pembentukan kelompok kerja ini, agar semua aktivis teater bisa tertampung. Karena tidak semua orang punya bakat main teater, tetapi mungkin ia punya bakat di organisasi. Inilah perlunya menampung semua orang yang punya minat di dunia teater.
Namun apakah ide itu efektif atau tidak, sebernanya bergantung dari upaya pekerja teater untuk melakukan perubahan. Sejauh ini saya melihat kelemahan teater (di Jawa Timur) terletak pada kerja kolektifnya yang sering saya sebut ‘civitas akademika teater’ yang terdiri dari pekerja teater, kritikus teater, dramaturg, media massa, dan penonton.

Rakhmat Giryadi, pekerja teater tinggal di Sidoarjo.

1 komentar:

Ribut Wijoto mengatakan...

Saya kira problem teater di Jawa Timur memang soal kolektivitas. Selebihnya, adalah problem teknik.
Selama ini, komunitas teater mampu bertahan karena faktor kesenangan semata. Pembentukan komunitas yang lebih profesional kurang dikerjakan. Atau mungkin telah pernah dikerjakan tapi kurang maksimal.