Halaman

Rabu, 16 Januari 2008

Jawa Timur dalam Konstelasi Peta Teater Indonesia


Oleh : R Giryadi

Dalam peta teater Indonesia, Jawa Timur selalu mendapatkan peran yang kurang menonjol. Kenyataan ini barangkali benar. Tetapi meski demikian, kalau kita melihat-lihat sejarah, Jawa Timur memiliki andil terhadap perkembangan teater Indonesia. Catatan yang saya kumpulkan dari data yang berserak ini barang kali bisa dijadikan bayangan keberadaan teater Jawa Timur dalam peta teater Indonesia hingga tahun 1980-an. Sehingga pertanyaan tentang jejak teater Jawa Timur bisa terjawabkan.

Memang benar yang dikatakan Faishal dalam tulisannya di Jawa Pos Minggu 12 Desember 2004, bahwa pada masa kejayaan kelompok sandiwara Orion, di Sidoarjo pada tanggal 21 Juni 1926 berdiri kelompok sandiwara Dardanella. Sandiwara yang didirikan oleh Willy Klimanoff alias A. Piedro ini bertujuan menyaingi kepopuleran Orion. Kalau Orion menjadi terkenal karena bintang panggungnya Miss Riboet, maka di Dardanella yang terkenal adalah Tan Tjeng Bok. Tan Tjeng Bok dikenal sebagai pemain pedang yang tangguh, sehingga banyak digemari penonton. Dia sangat dikenal sebagai pengejawantahan bintang film Amerika, Dauglas Fairbank. Memang, dalam pertunjukan Dardanella selalu didahuli dengan reportoar film-film barat (Amerika) dan film-film roman yang banyak mengetengahkan adegan permainan pedang.
Dua kelompok ini bersaing secara ketat. Mereka melakukan ‘perang teater’ melalui promosi besar-besaran lewat poster-poster yang dipasang di surat-surat kabar, majalah, dan propaganda di jalan-jalan. Dalam persaingan ini Orion harus menyerah pada Dardanella. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Nyoo Cheong Seng penulis naskah Orion bersama istrinya, menyeberang ke Dardanella.
Mengapa Dardanella lebih bisa bertahan dari Orion? Kelompok Dardanela boleh dikatakan pembaharuan dari Orion. Dardanella berani memasukan cerita-cerita yang problimatik dan pendukung-pendukungnya rata-rata para kum terpelajar. Masa kejayaan kelompok Dardanella selama 10 tahun. Setelah mereka berhasil keliling ke Cina, Siam, Burma, India, Tibet, dan Eropa, kelompok ini pecah. Kelompok yang telah bekerja secara professional ini berakhir sampai masa penjajahan Jepang.
Di luar grup profesional seperti Dardanella, kaum terpelajar di Surabaya memiliki kelompok teater amatir ‘Bintang Surabaya’. Bintang Surabaya pada jaman Jepang ini lebih mementingkan aspek estetik teater modern. Bintang Surabaya banyak belajar pada konsep pertunjukan teater modern yang berkembang di Eropa. Inilah yang membedakan Dardanella yang cenderung ngepop bila di bandingkan dengan Bintang Surabaya yang lebih menekankan pada estetika pertunjukan.
Sejak masa itu kegiatan teater di Jawa Timur tidak surut. Ini terbukti pada masa pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta 1946, dalam catatan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990 seniman teater kontemporer aktif menjalin komunikasi dengan seniman teater di Surabaya salah satunya bernama Djamaludin. Bahkan pada sekitar tahun 1952-1954, di Surabaya berlangsung Festival Seni Drama Surabaya. Festival yang berifat amatur ini dikritik oleh Sukarno Hardian dengan mengatakan bahwa para pemain drama amatir belum paham tentang teknik bermain drama. Kritik ini didasarkan pada kekuatan naskah yang dibuat oleh kelompoknya sendiri. Festival ini dinilai olehnya telah merusak apresiasi penonton.
Meski dimikian perkembangan teater modern mau tidak mau terus berkembang ditangan kaum terpelajar. Dalam konggres kebudayaan I di Magelang tahun 1950, para peserta konggres bersepakat untuk membentuk pendidikan khusus teater dan film. Maka terbentuklah Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta pada tahun 1954. Akademi ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi teater modern di Indonesia.
Sejak munculnya akademi ini, perkembangan teater Indonesia mengalami kemajuan. Pada masa itu, Indonesia mengalami zaman kemasan teater I. Penulis-penulis naskah bermunculan, di Surabaya sendiri Suparta Brata telah menjadi salah seorang penulis yang berhasil menjadi pemenang sayembara penulisan naskah di Jogjakarta 1958 dengan naskah berjudul Cinta dan Penghargaannya.
Dalam catatan-catatan yang saya miliki, beberapa tokoh teater di Jawa Timur pada masa tahun 1960-1970an telah dikenal dilingkungan para teatrawan di Jogjakarta yang pada masa itu dikenal gudangnya tokoh teater Indonesia. Tokoh Jawa Timur yang terkenal waktu itu, Sunarto Timur yang pernah memainkan Suara-Suara Mati (Dode Klanken) karya Manuel Van Logem dengan para pemain Deddy Sutomo, Neny Kusumawardani, dan Suparto Prajitno. Pementasan itu diselenggarakan oleh Lingkar Drama Mahasiswa UGM. Selain Sunarto Timur dalam acara itu WS. Rendra memainkan Kereta Kencana yang diadaptasi dari karangan Ionesco.
Dalam catatan buku itu, pada tahun 60-an Surabaya sudah memiliki Paguyuban Teater 60-Surabaya. Ini artinya pada masa itu di Surabaya –meski masih amatir- sudah banyak terdapat kelompok teater. Pada tahun 1976, ketika masa jayanya Bengkel Teater Rendra, sempat memainkan naskah Tuan Kondektur karya Emil Sanosa (penulis Malang) di Auditorium IKIP Malang. Bahkan ditahun yang sama, tanggal 20 Agustus, dramawan muda Yogyakarta, Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra yang hendak memainkan naskah Bui karya Akhudiat (dramawan Surabaya), dicekal polisi dengan alasan yang tidak jelas.
Pada tahun 1977, Sanggar Bambu Yogyakarta mengadakan ‘Duel Teater’ dua kota Yogyakarta dan Surabaya, di Senisono dengan mengangkat naskah yang sama, Bui karya Akhudiat. Yogyakarta diwakili Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra dan Surabaya diwakili oleh teater Merdeka Surabaya dengan sutradara Anang Hanani.
Pada Pertemuan Teater 80 di Jakarta, Akhudiat bersama teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) mementaskan Syair, Bunga, dan Koran karya Akhudiat. Catatan ini menegaskan, bahwa sampai pada dasawarsa 80-an teater di Surabaya masih memiliki peran yang cukup berarti di peta teater Indonesia. Catatan selanjutnya pada masa 90-an, sudah banyak diketahui, teater Surabaya sedikit demi sedikit menghilang dari peta perteateran Indonesia. Sementara para generasi sebelumnya tidak sempat memikirkan regenerasi. Catatan yang barang kali tidak penting ini, hendaklah bisa menjadi bayangan betapa pada masa sebelumnya, Surabaya (Jawa Timur) telah memiliki tokoh dan kelompok teater yang tangguh. Lalu bagaimana generasi 90-an. Mampukah kita meneruskan catatan ini?
R. Giryadi, Penggiat teater tinggal di Sidoarjo

Tidak ada komentar: