Halaman

Minggu, 20 Januari 2008

Teater Kampus, Tantangan Masa Depan


Oleh : R. Giryadi

Dalam perhelatan Festival Seni Surabaya 2004 lalu, ada semacam gugatan dari aktivis teater kampus yang tidak setuju dengan pembedaan baik secara teknis maupun non teknis antara teater kampus dan teater non kampus. Sejauh yang saya pahami, dalam hal ini, (panita) memberikan ruang apresiasi terhadap teater kampus yang berkembang, baik, di Surabaya, Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dalam hal ini, diharapkan, di Jawa Timur, muncul penggagas teater dari para mahasiswa, berdampingan dengan para tokoh teater yang bergiat di luar kampus.

Bagaimanapun teater kampus harus menjadi tumpuan masa depan, perkembangan teater di tanah air. Tentu kita tahu, bahwa para pendekar-pendekar teater yang sekarang, seperti WS.Rendra, Putu Wijaya, Yudi Ahmad Tajudin (hanya sekedar menyebut nama), adalah mantan penggiat teater di kampusnya.
Dikotomi teater kampus dan non kampus (sebenarnya) tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurut saya, dikotomi itu justru akan menjebak proses kreatif yang sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh terminologi kampus dan bukan kampus. Teater, di manapun prosesnya dan siapapun yang memroses, tetap teater.
Terminologi teater kampus lahir ketika teater modern Indonesia pada jaman keemasannya (1960-1970) banyak dilakukan oleh para mahasiswa. Hal ini dikarenakan arus informasi berpusat di kampus. Maka wajar bila berbagai perkembangan kebudayaan termasuk di dalamnya teater, cepat diterima oleh kalangan mahasiswa. Pada saat itu memang di kampuslah teater modern Indonesia mulai diperkenalkan.
Terminologi teater kampus yang melekat pada saat itu hanya sebuah identitas ( bukan genre ) untuk menyebut kegiatan teater yang pelaku-pelakunya adalah mahasiswa. Dari periodisasi perkembangan teater Indonesia bisa di pahami kedudukan teater kampus sederajat dengan teater yang berkembang di luar kampus.
Pada Pasar Teater ‘90 di Institut Teknologi Bandung (ITB) banyak saran yang menyatakan agar teater kampus mempertegas identitasnya dengan menekankan pada nilai-nilai intelektualitas. Putu Wijaya menyarankan agar teater kampus bersifat eksperimental. Alasannya, sifat eksperimental lebih dekat dengan proses berpikir mahasiswa. Selain itu juga untuk menyiasati waktu mahasiswa yang banyak dihabiskan untuk kuliah. Berbeda dengan Putu Wijaya, Ratna Sarumpaet menyarankan agar keterlibatan mahasiswa dengan peristiwa sosial lebih dekat. Karena selama itu kampus terkesan berada di menara gading dan seolah-olah enggan terlibat dengan peristiwa sosial. Oleh sebab itu dia berharap teater kampus bisa memberikan solusi sosial di tengah masyarakat, melalui medium teater.
Siapakah yang baik diantara keduanya? Sampai hari ini kita masih bisa menyaksikan dua tawaran bentuk teater yang diidealkan oleh Putu Wijaya dan Ratna Sarumpaet. Hal ini membuktikan bahwa teater, apapun bentuknya, selalu berbicara tentang makna universalitas. Oleh sebab itu terminologi kampus menjadi tidak berguna ketika kita berbicara teater sebagai teater.
Saat ini yang terpenting adalah bagaimana teater kampus memberlakukan proses teater tidak hanya sekedar berbicara persoalan teknis tetapi pada proses berpikir (dialektika) tentang konsep teater dan wacana social, politik, ekonomi, budaya. Sehingga para mahasiswa ( yang sudah dibekali berbagai ilmu ) bisa menyalurkan keilmuannya itu pada teater dan tidak hanya sekedar datang, ‘mabuk’, pulang, datang lagi, ‘mabuk lagi’ dan hanya menjadikan teater untuk menumpahkan kebosanannya pada perkuliahan.
Teater kampus memang harus memiliki spirit yang berbeda dengan teater non kampus. Teater kampus memiliki banyak peluang menelorkan berbagai gagasan tentang persoalan teater, persoalan sosial, persoalan politik, dll. Eksperimen yang dimaksudkan Putu Wijaya, dari kampus diharapkan muncul para avant garde (perintis masa depan). Karena di dalam kampus sangat memungkinkan berbagai eksperimen bisa dilakukan.
Persoalnya, mampukah teman-teman kampus memanajemen anggotanya yang secara periodik terus berganti? Sejauh yang saya alami banyak teater kampus gagal memanajemen anggotanya. Hampir setiap tahun anggota teater kampus mengalami pasang surut. Hanya beberapa orang saja yang bisa bertahan sampai akhir masa kuliahnya. Inilah yang menyebabkan teater kampus, secara manajemen, masih dipandang main-main.
Hal ini dikarenakan, teater kampus, dalam setiap proses (pentas) masih berkutat dilingkungannya sendiri. Selain itu, tradisi menulis (kritik dan wacana) bagi para aktivisnya kurang terwadahi, karena memang tidak ada media yang representatif untuk mewadahinya. Akhibatnya, apapun yang dilakukan teman-teman teater kampus, seperti hanya main-main saja. Tak heran bila embel-embel kampus (belajar) tetap melekat di belakang nama teaternya.

(R. Giryadi, sutradara Teater Institut Surabaya, tinggal di Sidoarjo)

Tidak ada komentar: