Halaman

Minggu, 25 Oktober 2009

Nyai Ontosoroh : Hikayat Perlawanan Sanikem

Diadaptasi : R Giryadi
dari novel BUMI MANUSIA karya Pramoedya Ananta Toer

BABAK I

Setting : Dekat Pabrik Gula Tulangan

ADEGAN 1
Orang-orang sedang bekerja, hilir mudik, membawa karung-karung (gula) dan juga batangan tebu dengan geledekan. Mereka bertelanjang dada. Tubuhnya hitam. Ada yang kekar. Tetapi ada juga yang kurus kering.


ADEGAN 2
Seorang Juragan (Mandor), dikawal oleh dua budaknya. Dengan berkacak pinggang, Mandor itu menuding-nuding, bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja, berlarian. Ibunya, mengikuti dengan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta. Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu itu menyerahkan anak itu kepada seorang Mandor. Dengan imbalan seketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa Mandor, entah kemana?

DEWA MABUK

Naskah Monolog/Akhudiat

Peran: Seorang Dionisian


Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?

Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.
Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup, bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.

Masalah Naskah Teater di Jawa Timur


Oleh : R Giryadi

Jawa Timur, mengalami kelangkaan naskah teater. Sejak periode tahun 1970-an, periode Akhudiat, penerbitan naskah teater baru terjadi satu kali. Pada tahun 2001 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) menerbitkan Tiga Kitab Lakon dari Jawa Timur, yang hanya memuat tiga naskah antara lain, Jaka Tarub (Akhudiat), Sang Tokoh (Anas Yusuf), dan Kuman (Meimura). Namun penerbitan ini juga tidak mampu menjawab kelangkaan naskah di Jawa Timur.
Kelangkaan naskah teater bisa jadi disebabkan oleh kesalah pahaman, bahwa naskah teater semata-mata urusan sastra an sich. Begitu juga sebaliknya, sastrawan juga menganggap naskah teater semata-mata hanya urusan teater an sich. Karena itu jarang sekali para sastrawan kita menulis naskah teater. Apalagi sang teatrawan.