Halaman

Jumat, 21 Maret 2008

Teater Jatim, Seperti Gelas di Bibir Meja


Oleh : R Giryadi

Melihat perkembangan teater di Jatim, seperti melihat gelas di bibir meja, saat keramaian sebuah pesta. Kita dibuat was-was, tetapi kita sendiri malas meletakan gelas itu pada posisi yang aman. Dan memang teater Jatim, sedang berada dalam bibir meja, yang pada suatu saat bila tidak segera sadar ruang, maka gelas itu akan jatuh juga ke lantai dan pecah berkeping-keping.
Ini kenyataan. Tetapi terkadang para aktivis teater sendiri merasakan bahwa kondisi teater di Jatim aman-aman saja. “Katanya siapa di Jatim tidak ada teater. Itu pengamatan yang salah kaprah,” kata salah aktivis teater di Surabaya.
Saya kira persoalannya bukan pada ada atau tidaknya teater di Jatim. Tetapi sejauh mana posisi teater itu, tidak terlihat membuat was-was karena keberadaannya tidak pada posisi yang baik?

Adanya teater tidak bisa dihitung jumlahnya saja apalagi hanya menghitung dari adanya pentas belaka. Teater akan lebih bermakna (eksis) ketika bisa mempoisisikan diri menjadi sebuah nilai, pada ruang yang lebih luas, dan bukan dalam sebentuk ruang pertunjukan yang sempit dan pengab.
Memang benar ada kelompok yang berpentas dan ditulis oleh media massa. Tetapi apakah dengan demikian, gelas yang terlanjur di pinggir meja itu terselamatkan? Persoalan teater di Jatim tidak bisa dipandang dari sudut peristiwa teater belaka sementara persoalan dibalik peristiwa itu cukup mengkawatirkan bila dibandingkan dengan kuantitas peristiwa teater yang terjadi di Jatim.
Dengan menyebut peristiwa teater saja, di Jatim ada puluhan peristiwa teater. Tahun ini saja, paling tidak sudah ada lima tontonan teater yang tergelar di Jatim. Tetapi sejauh mana teater itu memikirkan dirinya berposisi pada tempat yang tidak mengkawatirkan? Sekali lagi, di Jatim memang ada teater, tetapi sejauh ini, mereka tidak sedang bekerja demi teater itu, tetapi berteater demi yang bukan teater. Ini benar-benar mengkawatirkan.
Posisi yang mengkawatirkan itu, sebenarnya disebabkan teater di Jatim tidak punya akar wacana yang kuat. Sementara itu, pembacaan terhadap wacana arus besar semacam ideologi-ideologi, dan fenomena teater, tidak tuntas. Akibatnya, dalam praktiknya, banyak menemui kegagalan karena akar yang dimiliki rapuh. Sehingga ketika fenomena itu kehabisan napas, teater Jatim mendekati ajalnya.
Saya kira para penggiat teater tahu, sebuah peristiwa teater itu bukan hanya sebuah peristiwa di dalam panggung, tetapi peristiwa-peristiwa yang mengikutinya, menjadi bagian dari pengayaan teater itu sendiri. Sehingga keberadaan sebuah teater tidak dinilai kapan teater itu pentas, tetapi sejauh mana pentas teater memiliki tawaran wacana, ideology, isu, diskusi, bahkan kehadirannya menumbuhkan keberjamakaan ruang yang bisa dibaca dari berbagai disiplin ilmu, dan tidak un sich teater.
Teater modern di Jatim, secara umum adalah teater dadagan, bukan sebuah proses yang berkesinambungan atau teater yang lahir dari sebuah akar yang kuat, tetapi seperti teater yang hidup di atas angin. Teater belum menjadi sebuah pilihan profesi, karena kehidupan kelompok teater di Jatim masih diwarnai oleh relasi longgar yang ikatan keanggotaannya lebih ditentukan oleh mood dan tidak terbentuk dari kesuntukan sebuah proses. Teater Jatim, hanya sebentuk pengalaman sensasi ephemeral teater dari sebuah rumah yang dihuni oleh para martir.
Kemiskinan teater di Jatim terletak cara menjiwai kemiskinannya itu. Sublimasitas kemiskinan di Jatim, dieksploitir sedemikian rupa menjadi kemiskinan materi dalam arti sebenarnnya. Pertaruhan terhadap perjuangan untuk mempoisisikan menjadi martir, menjadi terbebani oleh kekalutan atas kemiskianan materi itu. Dan inilah yang menyebakan teater di Jatim menjadi meskin dalam pengertian yang sebenarnya.
Menyedihkan sekali memang. Tetapi anehnya masih saja ada yang berkacak pinggang: ‘Jatim masih ada teater, Bung!’ Meski hutang demi hutang menumpuk, tambal sulam untuk proses produksi berikutnya dan berikutnmya lagi. Dan memang hanya sang martir yang mau menghidupinya. Tetapi dampaknya, teater (hanya) menjadi pertaruhan semangat, dan bukan pertaruhan ideologis dalam ruang dialog budaya!
Barangkali, ini sudah menjadi jamak terhadap aura kehidupan teater Jatim, yang menafikan kata sublimasi. Sehingga tataran orisinalitas pencapaian teater, bukan menjadi taruhan yang ideologis, tetapi masih artificial. Kecenderungan ini tampak pada produksi teater akhir-akhir ini, yang hanya menekankan pada performance-nya. Untuk itu ada upaya, kolaborasi, multimedia, kemudian juga adaptasi, dan inovasi. Semuannya itu hanya demi bentuk-bentuknya saja, yang dibungkus oleh kalimat-kalimat yang belum dimaknai betul keperuntukannya dalam pertunjukannnya.
Sehingga dengan demikian kita hanya tinggal menunggu waktu, sampai kapan gelas itu berada pada posisi yang menggelisahkan? Sementara kita sibuk terhadap kemiskinan demi kemiskinan. Dan membiarkan galas itu suatu waktu jatuh berkeping-keping. Dan kita bersorak, sembari berteriak; ‘Itulah teater!’

R.Giryadi, Penggiat teater tinggal di Sidoarjo

coming soon


Retorika Lelaki Senja
R. Giryadi

SEBUAH LEMARI TUA BERDIRI KOKOH. DI SEKITARNYA BEBERAPA INTERIOR TUA DAN KELIHATAN TAK TERAWAT. BEBERAPA EKOR TIKUS BERSLIWERAN, SIBUK MENGUSUNG BENDA-BENDA CURIANNYA. MEREKA SALING BEREBUT. DISAAT KEGADUHAN MEMUNCAK, TIBA-TIBA PINTU LEMARI TUA ITU MEMBUKA PERLAHAN-LAHAN. BEBERAPA TIKUS ITU SEGERA MELESAT, MENINGGALKAN BENDA-BENDA ITU TERGELETAK BEGITU SAJA. SEMENTARA PINTU LEMARI TUA ITU MENUTUP DENGAN CEPATNYA SEHINGGA MENIMBULKAN BUNYI : “Brak!!”
BEBERAPA SAAT KEADAAN SEPI. PINTU LEMARI KEMBALI MEMBUKA SECARA PERLAHAN. DARI BALIK PINTU ITU MUNCUL WAJAH SESEORANG. SOROT MATANYA MENYELIDIK. SETELAH DIRASA AMAN, SESEORANG ITU KELUAR DARI LEMARI.. SESEORANG ITU MENENTENG KOPER (ATAU BUKUSAN KAIN). TIBA-TIBA BEBERAPA TIKUS MELINTAS SEPERTI FORMULA-1. SESEORANG ITU SEGERA MELONCAT KE TEMPAT YANG LEBIH TINGGI. TIKUS-TIKUS BERPUTAR-PUTAR. MELONCAT KESANA KEMARI. DI TEMPAT YANG TINGGI ITU, SESEORANG YANG KELIHATAN RAPUH, MENYAPA SIAPA SAJA, DIWAKTU KAPAN SAJA.


Selamat apa saja dan selamat kapan saja. (Clingukan melihat situasi sekitarnya) Baiklah, dalam kesempatan ini, sebelum drama ini berlangsung, ijinkan saya mengutip sebuah kalimat yang cukup terkesan dihati saya. “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada!” (1) Pasti anda ingat dengan kalimat itu. Nah, kalau diperkenankan kalimat itu akan saya kutip menjadi, “Kalau saya mati, saya tidak bisa kurupsi!” Hiiiii. Makanya sekalian masih hidup sandiwara kurupsi ini harus saya jalani dengan cara seksama dan dalam tempo (kalau bisa ) selama-lamanya.

TERTAWA

(Kepada para tikus) Sudah, pergilah! Tugasmu sudah berakhir! Terlalu verbal!

SETELAH TIKUS BERLALU

Berkurupsi sudah menjadi garis nasib saya. Karena itu dalam melakukannya tidak boleh setengah-setengah. Meski banyak dicaci-maki orang, saya harus jalankan amanat nasib ini dengan sebaik-baiknya.
Ya, memang terpaksa harus saya jalani. Sebagaimana Mas Jumena Martawangsa, saya harus menerima nasib sebagai aktor (dalam tanda petik) untuk menjalankan peran yang meskipun berat, harus menerimanya dengan iklas, dengan lapang dada.
Saudara-saudara, banyak ajaran yang mengajarkan pada kita, bahwa kita harus iklas menerima nasib. Saya memang tidak bisa mengelak untuk berkelakuan seperti ini. Saya tidak ingin munafik dalam hal ini. Ketika saya harus melakukan sesuatu, selagi ada kesempatan semua akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya, tanpa menunggu-nunggu dan melewatkan kesempatan itu berlalu begitu saja.
Sampulung pernah berkata, “Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silahkan menyaksikan dan mencemooh diri saya, sudah tentu setelah sudara-sudara memuja dan menjilat-jilatnya.” (2)

MELETAKAN TAS (KOPER) ATAU APA SAJA YANG TERKESAN BUNGKUSAN UANG. KEMUDIAN MEMBUKANYA. DI DALAMNYA ADA PULUHAN TOPENG DAN DASI. SETELAH MENYERINGAI, SESEORANG MEMBETULKAN DASI. MEMAKAI TOPENG.

Sampulung, saya menghargai pendapat panjenengan. Nyatanya menjadi tokoh nasib memang tidak enak, apalagi peran yang harus dijalani tidak baik di mata orang lain. Saya harus menerima nasib seperti ini dengan iklas dan tulus untuk menjadi bajingan sebagai jalan hidup. Ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, seperti sampeyan tahu, berapa nomer lotre yang sedang dalam genggaman sampeyan. Sementara orang-orang blingsatan, menduga-duga, dan menghargai nasibnya sendiri dalam jumlah sekian rupiah. Hmmmm, kok murah betul nasib itu?
Mas Jumena, saya pingin tahu, apakah yang sampeyan rasakan saat itu? Apa yang terjadi dalam diri Mas, ketika melihat disekeliling sampeyan semua menjadi pecundang, sementara maut telah menjelang? Saya kira jawaban Mas, pasti tidak berbeda jauh dengan yang saya pikirkan, dan juga sampeyan pikirkan.
Kesetiaan hanya omong kosong. Itu hanya akal bulus, agar kita menjadi terlena dan tidak tahu, sebenarnya di sekeliling kita dunia gelap gulita. Dunia para pencoleng memerankan sebagai manusia suci. Dan manusia suci memerankan sebagai pencoleng. Dunia sudah jungkir balik. Dan memang dunia diciptakan jungkir balik, agar manusia mempunyai keputusan yang tegas. Kalau hitam, hitam. Kalau putih ya putih. Itu saja prinsipnya. Sekarang, yang putih bisa berubah jadi kelabu. Begitu juga yang hitam, bisa berubah jadi abu-abu. Semua tidak hitam dan tidak putih. Inilah yang mengacaukan dunia. Tidak jujur!
Maka dalam hal ini saya saya sangat setuju dengan Turah isteri Korep yang sangat benci dengan kemiskinan. Karena tidak iklasnya miskin, ia berkali-kali mencari pesugihan dengan jalan berjudi, meski berkali-kali pula jantungnya dibuat berdebar-debar dan hasilnya kosong mlompong, bahkan harus rela menjual kehormatannya demi memperjuangkan nasibnya. (3)
Ini pilihan yang jujur. Dari pada setengah setengah, apa jadinya? Emangnya hidup hanya dijejali mimpi-mimpi. Hidup diawang-awang. Kalau mau kaya lakukan apa saja. Jangan kemiskinan jadi alasan untuk tidak berbuat sesuatu.
Sampulung, sampeyan memang harus disikapi lain dan lain. Tidak hanya dengan kata-kata iklas dan tulus. Terkadang harus melawan sampai titik darah penghabisan. Tergantung sampeyan datang sebagai apa. Kalau sampeyan datang dalam bentuk kemiskinan, maka tidak heran kalau Turah menggadaikan kehormatannya, dan juga Euis berani mencederai kesetiaan Mas Jumena yang sudah buyuten itu. (4)
Ini sangat realistis. Dari pada menjadi pecundang semacam Korep suaminya yang takut menjadi kaya, sehingga ia berlaku sok jujur dan sok relegius. Sok menerima nasib apa adanya. Namun sebenarnya dihatinya yang sok suci itu tersimpan niat licik, selicik Bandar (5) yang bisa memainkan keluarnya nomer lotre. Jangan munafik, ketika ketidakberdayaan menjerat. Ini untuk memperteguh iman. Agar tidak takut bertindak.
Kenapa Turah tidak takut menjadi lonthe? Karena Korep sendiri tidak takut mencederai rumah tangganya dengan membabi buta. Kenapa Euis rela bermesraan dengan Juki, Marjuki maksud saya, di depan Jumena Martawangsa yang otaknya sudah digergaji ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang disekelilingnya? (6)
Saya kira terkadang kejujuran bisa menjadi buah simalakama. Mengapa kita harus mengantarkan nasib pada ketidak pastian. Kalau kita ingin melakukan sesuatu, lakukan. Kenapa harus ditutup-tutupi?
Mas Jumena, saya sangat setuju dengan ketegasan sampeyan, mempertanyakan cinta Eusi. Karena hati manusia selalu berbeda dengan mulutnya. Kadang dihatinya berkata tidak tetapi dimulutnya berkata ya.
Lihat saja sekarang? Siapa yang tidak menjadi pecundang bagi dirinya sendiri. Semua telah menjadi pecundang. Namun mereka hanya lihai menutupi kebusukannya. Siapa sih yang tidak suka duit? Siapa yang mau hidup melarat? Siapa yang mau anak turunnya juga menjadi gembel? Siapa yang kuat ujian menjadi manusia miskin, hidup dikolong-kolong jembatan, memakan makanan dari hasil mengorek-ngorek tong sampah, penghasilan hanya dari mengemis. Kalau kepepet sedikit mencopet atau menodong.?
Sekarang baik buruk itu bukan sesuatu yang penting. Yang terpenting bisa membuat semua itu meyakinkan. Kalau Anda merasa berbuat buruk maka Anda harus meyakinkan bahwa yang sedang Anda kerjakan itu baik. Harus yakin! Dengan demikian semua pasti yakin, meski yang Anda perbuat adalah sesuatu yang buruk.
Tidak boleh malu. Betul ini. Tidak boleh malu. Kalau malu maka misi Anda untuk meyakinkan itu tidak berhasil. Sampeyan pasti ingat, bagaimana dengan tidak malunya Emak, mengatakan pada Abu, anaknya yang korengan dengan sebutan Pangeran yang rupawan. Dan karena Emak meyakinkan, sang anakpun merasa sebagai pangeran. Padahal mereka adalah gembel yang diperbudak mimpi. Pangeran edan! (7) Tetapi, mereka sungguh meyakinkan. Sehingga kemiskinan yang telah dihadapinya selama hidup tak terasa sebagai penderitaan. Huh…hebat betul.
Nah begitu juga, ketika Anda mencopet, menipu, mencuri, merampok, atau berbuat apapun, harus meyakinkan. Sekali lagi harus mayakinkan! Kalau tidak meyakinkan, maka celakalah hidup Anda.
Saya kira, saya sendiri tidak mau hidup dalam kubangan kemiskinan. Makanya dengan sangat meyakinkan, saya harus macak bukan sebagai orang miskin. Saya tidak sudi diperbudak kemiskinan. Kemiskinan? Yu Turah, kamu benar, bahwa menjadi miskin itu siksaan. Maka jalan terbaik harus membebaskan diri dari siksaan kemiskinan itu. Sampeyan sangat berani menclathu Korep, suami sampeyan yang sok suci itu. Kemiskinan memang tidak bisa ditolelir. Harus dilawan dengan cara apapun. Kalau sampeyan hanya bisa tombok lotre, ya tombok saja. Dari pada hanya pasrah, menunggu perubahan! Lemah betul kelihatannya.
Orang pasrah itu hanya mengandalkan perasaan. Otaknya sendiri tidak main. Karena perasaan yang berperan, bisanya hanya menduga-duga, tanpa mau bicara apa yang menjadi keresahannya. Terus kalau nasib tidak segera berubah, mulutnya nyinyir menyalahkan orang lain dan sok dirinya suci. Ini tidak adil! Kemiskinan hanya mencetak ketidakadilan. Orang nyinyir karena lapar. Karena dirinya tidak bisa berbuat. Karena dirinya telah dibelenggu oleh dirinya sendiri yang sok sudah bagaimana begitu. Untuk memberantas itu, lawan kemiskinan!
Manusia tidak boleh miskin dalam berbagai hal. Ini penyakit. Kalau sudah menjadi penyakit, logikanya harus pergi kedokter. Jadi siapa yang tidak suka kekayaan, lebih baik sekarang juga tinggalkan gedung ini. Pergilah ke dokter. (Kepada penonton) Siapa yang suka miskin, angkat tangan! Berarti semuanya sehat.

TERTAWA

Yu Turah, Kang Masmu itu seperti ketika saya masih idialis dulu. Sok idialis. Sok suci semuci. Sok tidak butuh kesejahteraan. Sok malu. Padahal dalam hatinya tidak begitu. Betul? Saya mengalami sendiri. Saya tahu, sebenarnya dalam hatinya ingin sekali hidup itu enak, tidak kedumpyangan mencari utangan. Tetapi ketika masih idialis, hmmm…kayaknya hidup itu harus begitu. Biar sengsara asal hatinya tenteram.
Cuiih! Bagaimana mau tenteram kalau perutnya melilit-lilit. Hatinya gundah gulana karena selalu dicerca oleh istrinya dan dirinya sendiri? Apa tidak tambah ngenes, terus akhirnya mati kaku?
Mbok yang realistis. Yang jujur pada diri sendiri. Kalau bisanya nyopet, mengapa tidak nyopet? Kalau bisanya ngutil (mencuri), kenapa tidak ngutil? Kalau bisanya korupsi, mengapa tidak korupsi? Semua itu tergantung niatnya. Kenapa harus menggantungkan hidup pada mimpi-mimpi? Kenapa harus menggantungkan hidup pada ketidakjujuran pada diri sendiri?
Yu Turah, kamu memang benar-benar hebat. Saya terkesan sekali ketika sampeyan nuturi Korep yang sekali lagi lelaki yang sok suci itu.
Ya begitu itu orang yang terbiasa hidup miskin. Mereka takut kaya. Mereka sudah merasa cukup puas dengan yang diberikan oleh Tuhan, meski sediiiikiiiittt.
“Korep! Kecaplah sedikit kekayaan niscaya kamu akan ketagihan dan kamu segera akan bisa merasakan bagaimana kekayaan melecut darah sehingga wajahmu berwarna merah." (8)
Kalian tahu, Korep masih bisa membantah dengan berkata tidak jujur. “Saya tidak pernah lapar.” (9)
Huh..!!! Sungguh munafik! Bagaimana mau merasa kenyang kalau setiap hari memang tidak pernah makan, karena bisanya hanya mimpi? Itu mah, kebal. Tuh lihat para petinju itu. Setiap hari dipukuli, semakin hari-semakin tahan pukul. Kelihatannya betul ia kebal pukul. Ototnya kuat. Tulang wajahnya kuat. Tetapi yang tidak pernah ketahuan, otaknya jadi lumer, organ tubuhnya remuk. Baru terasa kalu sudah tua.
Orang yang kebal miskin, kelihatan sehat-sehat saja, tetapi hatinya hancur. Dan ini lebih berbahaya, karena mereka tidak punya hati. Ingat, “Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam.” (10)
Saya kira memang benar. Bahwa nasib tidak akan berpihak pada kebanyakan orang yang merasa dirinya hidup bersama nasib. Padahal nasib adalah satu kekuatan yang tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Nasib tidak pernah berpihak pada kebanyakan orang. Nasib tidak mengenal SARA. (11) Karena nasib tidak mengenal SARA, maka kita harus tegas, kepada siapa kita berpihak!

MENGENAKAN DASI. MENGGANTI TOPENG.

Kenakan dasi, tampaknya mudah sekali. Ini tidak gampang, kalau dasi sebagai simbul keberhasilan. Tetapi kalau sebagai tampang saja, seribu dasipun begitu mudahnya kita mengenakannya.
Saya sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Jadi saya sangat mudah sekali mengenakan dasi. Berapa kalipun menginginkannya, saya begitu mudahnya menggantikan dasi. Ini tergantung dari dan untuk apa saya mengenakan dasi.
Anda perlu tahu, satu dasi yang saya kenakan, sama dengan satu kemungkinan saya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Setiap saya mengenakan dasi saya menjadi percaya diri dengan apa yang saya kerjakan dan saya tidak pernah menjadi ragu-ragu. Bahkan orang-orang yang mempercayai saya, juga tidak merasa ragu-ragu, karena kami memang didukung oleh saling percaya dan tahu sama tahu.
Ini sudah berlaku dimana-mana. Saya tidak perlu menutup-nutupi dengan dalih apapun. Saya harus jujur. Karena kejujuran kunci utama kesusksesan. Saya memang jujur. Ketika mereka memberi isyarat untuk diberi uang pelicin, apa beratnya memberinya kalau memang membuat urusan menjadi licin. Jangan berbelit-belit kalau tidak ingin menemui jalan buntu.
Saya sudah mengalami hal itu, ketika masih kuper dulu. Pasti hal ini tidak perlu saya ceritakan lagi, karena untuk urusan ini sudah menjadi jamak. Sudah terjadi dimana-mana dan tidak perlu ditutup-tutupi. Dari presiden, sampai pengurus RT, kalau tidak memakai pelicin urusan pasti jadi seret.
Kalau tidak pecaya silahkan coba. Apa? Ya kalau ada itu pengecualian. Kalau saya bandingkan, seribu banding satu. Satu itu orang yang bernasib malang, karena telah menyia-nyiakan kesempatan. Lo, betul lo ini? Ini kesempatan. Kapan lagi berbuat? Wong sebenarnya sistem itu ada, tetapi kan berlaku di bawah tangan dengan undang-undangnya saling percaya. Kenapa takut melakukan? Meski lima ribu sepuluh ribu kalau kali sekian orang, berapa jumlahnya? Hitunglah sendiri dan pikirkan.

TIBA-TIBA SEEKOR TIKUS BERLALU SAMBIL MENGGONDOL SESUATU.
MELOMPAT KE TEMPAT YANG LEBIH TINGGI

Lihat! Tikus yang tidak mengerti apa-apa saja bisa berbuat untuk dirinya. Dia tidak takut dengan yang dilakukannya, meski ia tahu resikonya. Ia tahu hidup di dunia itu harus survival (kata guru-guru kita). Kalau tidak, kita bisa menjadi makluk minoritas dan terjajah. Apakah ini lebih baik? Cobalah beranikan diri. Saya sudah ribuan kali untuk mencoba hidup idialis. Tetapi ketemunya saya harus realistis. Saya harus mengaca pada kemampuan dan kesempatan yang saya dapat. Sekali lagi kesempatan!
Ndilalah saya selalu mendapat kesempatan. Tikus itupun ketika mengusung barang-barang curiannya (dalam tanda petik) pasti menunggu kesempatan. Ketika ada kesempatan melesatlah dia. Apalagi saya. Sebagai manusia yang memiliki akal budi, dalam bertindak pasti berbeda dengan para tikus itu. Saya harus menggunakan dasi, sepatu, rambut klemis, dan make up seperti ini.

MEMAKAI TOPENG DENGAN HIDUNG SEPERTI KELAMIN LAKI-LAKI.

Lo, kenapa tertawa? Apa ada yang lucu? Memang ini kelihatan naif. Ini salah satu bentuk akal budi untuk mengelabuhi orang agar mereka tidak merasa kecewa. Saya harus meyakinkan. Dengan topeng keyakinan ini, insya’allah, semua akan berjalan dengan lancar.
Masih tertawa? Cara saya ini manjur lo. Kalau lawaran seperti tikus-tikus itu pasti segera mampus. Kalau saya mau, tikus-tikus itu sudah mampus sejak dulu. Apa sih susahnya memberantas tikus? Cukup dengan lem tikus kan? Itu sudah beres. Tikus itu kan tidak bisa membedakan mana makanan dan mana lem. Nah kalau manusia dengan akal budinya pasti tahu, mana makanan enak dan mana yang sudah basi. Mana uang yang enak dienthit (dicuri sedikit), mana yang uang panas.
Ya dengan topeng ini, dasi ini, saya bisa mendapatkan kesempatan. Dan ternyata semua saya lakukan dengan mudah, ketika saya menggunakan akal budi saya. Kalian pingin tahu rahasianya? Ternyata semua pegawai dalam perusahaan saya bahkan di kantor-kantor intansi terkait dengan perusahaan tempat saya berkerja, semua mengenakan akal budinya dengan memakai dasi dan topeng seperti saya ini.
Begitulah cara kerjanya. Kelihatannya mudah. Kalau tidak meyakinkan, wah berat. Sulit! Seperti saya katakan di depan, kalau lawaran, hasilnya cuman sedikit. Cobalah pakai akal budi, biar lebih canggih dan kelihatan manusiawi.

SEEKOR TIKUS MENGERANG-NGERANG. TUBUHNYA TERGENCET PERANGKAP TIKUS.

Itulah akibatnya kalau ‘bermain’ tidak canggih. Tradisional sekali. Ia tidak bisa mengelabuhi. Ia bekerja atas dasar insting saja. Padahal kalau pakai otak sedikit saja, manusia itu mudah dikelabuhi. Mudah ditipu. Seperti yang anda saksikan ini sebenarnya cara saya untuk mengelabuhi orang-orang. Agar orang-orang tidak pernah mempersoalkan kekayaan saya.
Bayangkan kalau mereka tahu kekayaan saya yang sebenarnya, pasti hidup saya sudah berakhir. Tetapi dengan akal budi saya, saya bisa mengelabuhi para petugas yang akan memeriksa kekayaan saya. Ya, terus terang dengan sedikit uang, agar mereka bisa sedikit merubah jumlah kekayaan saya. Hasilnya sangat efisien. Dengan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu, hasilnya bisa Anda lihat. Harta benda saya selamat, dan sayapun masih dengan lancar menumpuk kekayaan demi kekayaan.

LEMARI YANG BERDIRI KOKOH TADI, DIBARINGKAN SEDEMIKIAN RUPA, SEHINGGA SESEORANG BISA BERDIRI DI ATASNYA. DI BALIK LEMARI TADI ADA TIRAI.

Saya sudah katakan tadi, gunakan akal budi. Dan inilah salahsatu bentuk akal budi saya.
TIRAI MEMBUKA SEDIKIT

Sudah bertahun-tahun saya memikirkan bagaimana menyelamatkan kekayaan saya dan keluarga saya. Barangkali ini contoh yang tidak gampang dilakukan. Terus terang, saya harus rela harta benda yang saya miliki, saya biarkan menumpuk seperti ini.

TIRAI MEMBUKA AGAK LEBAR, SEHINGGA KELIHATAN SEBAGIAN ‘INTERIORNYA’ YANG BERISI KARDUS-KARDUS BEKAS PEMBUNGKUS KULKAS, AC, TV, TAPE, HP, DLL YANG BERGANTUNGAN.

Begitu juga, barang-barang itu tidak pernah saya sentuh sedikitpun, demi keawetan harta benda itu. Bahkan, anak dan istri saya tidak pernah boleh menyentuhnya. Apalagi menggunakannya. Mereka tahu, bagaimana sulitnya mendapatkan harta benda itu. Oleh sebab itu, demi menjaga semua harta benda saya itu, saya harus mengelabuhi berbagai pihak. Termasuk keluarga saya. Berapa tikus itu pun tertipu. Inilah hasil kerja saya yang sebenarnya.

TIRAI MEMBUKA LEBAR. TAMPAK ‘INTERIOR MEWAH’ DAN SEBUAH POTO (GAMBAR) KELUARGA.

Sampeyan tidak perlu kaget. Yang dipojok sana (Menunjuk kardus bekas perlengkapan dapur. Kemudian mengenakan dasi dan mengganti topeng), semuanya saya peroleh pada lima tahun awal ketika saya mulai bekerja. Kunci untuk mendapatkan itu tidak mudah. Dengan telaten, saya mengumpulkan serupiah demi serupiah. Saya harus sedikit pandai bermain sandiwara. Melaporkan hal-hal yang tidak sebenarnya. Sering saya melebih-lebihkan laporan, sehingga pimpinan perusahaan saya senang. Pernah juga saya katakan, perusahaan kita dalam krisis, sehingga perusahaan kalangkabut dan melakukan rasionalisasi. Pada saat itu, saya bisa curi kesempatan. Orang-orang yang sok suci saya sikat. Tentu, sebelumnya saya sudah menjilati pantat direktur saya, agar dia percaya dengan apa yang saya omongkan. Berikutnya, orang yang sok suci itu tersingkir, saya memasukan orang-orang yang bisa diajak kerja sama, biar pada lima tahun ke dua, saya bisa bekerja dengan baik.
Yang disebelah sana (Menunjuk kardus bekas pembungkus perangkat elekronik dan gambar sofa. Kemudian mengenakan dasi dan mengganti topeng), adalah kerja saya pada lima tahun kedua. Tentu, dengan sangat mudah sekali saya bisa mengatur apa yang saya maui. Terus terang kami berlomba-lomba, manipulasi, korupsi, dan kolusi. Bagi kami, kapan lagi tidak melakukan KKN, kalau tidak saat ada kesempatan. Kami tidak mau ketinggalan jaman. Rasanya malu tidak ikut korupsi. Bahkan kalau tidak ikut-ikutan korupsi, dikatakan manusia langka. Mulai Satpam, sampai pegawai bawahan saya, semua pandai berbohong. Pada lima tahun kedua itu, saya menyebarkan paham, “Kalau ingin kaya, jangan bekerja dengan hati nurani. Bekerjalah dengan akal budimu. Kalau engkau bekerja berdasar hati nurani, maka kamu akan pulang dengan tangan hampa, sehampa hatimu yang sok bagaimana begitu.” Itulah racun yang selalu saya berikan pada anak buah saya. Hasilnya, meski mereka sedikit malu-malu, dia mau bekerja dengan ‘akalnya’.
Setelah mereka sadar akan kedudukannya, yang Satpam sering tidur diwaktu malam. Meskipun ia sering tahu ada kepala gudang mencuri sesuatu, ia pura-pura tidak tahu, karena besok paginya ia akan mendapat salam tempel dari kepala gudang. Yang sedikit susah itu, tukang sapu. Ia hanya bisa mengkorupsi serbet. Sementara para pekerja wanita, kalau tidak ada pekerjaan atau ada pekerjaan, kesukaannya nonton sinetron di TV yang sengaja saya letakan disitu, sambil menunggu jam kantor berakhir. Sementara saya sendiri, sibuk merubah angka-angka laporan, biar kelihatan realistis, kemudian pada akhir tahun saya melaporkan keuangan dengan wajah seperti ini!

MEMAKAI TOPENG SEDIH. HIDUNGNYA MANCUNG SEPERTI KELAMIN LAKI-LAKI YANG ‘TEGANG’.

Saya laporkan, pada perusahaan bahwa perusahaan kita sedang pailit. Oleh sebab itu deviden tidak bisa dibagikan pada para pemegang saham, apalagi THR. Meski bisa, tidak sebanyak tahun sebelumnya. Tentu semua itu sudah dimaklumi oleh semua pegawai. Mereka tidak bisa memaksa, karena mereka telah mengkorupnya terlebih dahulu. Tentu, drama ini telah diatur sebelumnya. Paling tidak saya sudah menyusun laporan itu terdiri dari beberapa bagian. Pertama untuk auditur dan petugas pajak, kedua untuk pimpinan, ketiga untuk para pegawai lain. Tentu semua itu atas setahu pimpinan. Dia sendiri, tidak ingin perusahaannya kena pajak. Hanya itu.
Nah, yang sebelah sana (Menunjuk gambar rumah mewah dan mobil mewah kemudian mengenakan dasi lagi) adalah kekayaan saya pada lima tahun ke tiga. Pada saat itu, saya sudah menjabat jadi direktur eksekutif. Jabatan yang strategis. Saya bisa melakukan apa saja. Bahkan semakin bisa menumpuk kekayaan dengan mudah, karena sebagian kerja sama-kerja sama yang ditawarkan ke perusahaan saya, bisa saya eksekusi sendiri, dan hasilnya untuk saya sendiri. Dalam tempo kurang dari dua tahun, saya bisa mendirikan perusahaan sendiri. Seperti yang Anda tahu, saya pun menjadi kaya raya. Lihatlah, betapa semua ini merupakan hasil akal budi saya yang cemerlang. Dalam tempo lima belas tahun, mulai dari pegawai rendahan sampai saya punya perusahaan sendiri adalah kerja yang gemilang.

TERDIAM. BEBERAPA TIKUS MELINTAS, DENGAN GERAKAN SANGAT LAMBAT.

Namun kegemilangan itu hanya berlalu sekejab saja. Lihat poto yang di sebelah sana itu! Kekayaan yang berharga itu, tak bisa saya selamatkan. Ketika karir saya sedikit demi sedikit naik, saya bekerja siang malam, tanpa mempedulikan keluarga saya. Saya seperti diuber-uber hantu kemiskinan. Sepanjang hari saya harus bekerja keras, memeras akal, agar kehidupan kami tidak terpuruk pada kemelaratan.
Namun, nyatanya, apa yang saya lakukan bertahun-tahun, justru membuat salah paham diantara keluarga saya. Istri saya bilang, saya adalah orang gila. Orang yang tidak punya hati nurani. Sementara anak-anak saya menjadi remaja yang binal. Keluyuran setiap malam dan pulang dengan aroma alkohol di mulutnya sembari mendamprat saya habis-habisan, kemudian ndlosor begitu saja di sofa.
Pada saat itu saya pingin menampar anak saya. Tetapi dasar brandal, ia malah nerocos, memaki saya, telah sdiperbudak oleh setan. Bahkan membiarkan istrinya menjadi ‘lonthe’ yang keluar setiap malam dengan berbagai lelaki yang bisa memberinya rasa puas di ranjang.
Mas Korep, sebenarnya kita hanya putus asa, karena menganggap hidup sederhana lebih kaya dari hidup kaya (harta benda). Memang, semua orang pasti punya angan-angan mewah, memiliki rumah mewah, pakaian mewah, pangan mewah, kendaraan, kesempatan rekreasi dan segala aneka kesenangan badan, seperti umumnya orang. (12)
Saya kira semua itu wajar. Saya telah melakoninya dengan terang-terangan. Hidup di suatu negeri yang korup, hidup di tengah masyarakat yang anti akal waras, lebih baik bersikap masa bodoh atau menjadi pemberontak sama sekali. (13)
Saya hidup bagai batu yang punya mata. Memang benar, saya telah membuat nurani saya menjadi batu. Selama hidup, saya mengabdi pada nafsu yang menyala-nyala. Impian tentang kemewahan tidak pernah luntur. Dan ketika harapan itu terwujud, terus terang kami tergagap menerimanya. Ternyata sampeyan benar, Korep. Hidup kaya itu menakutkan. (14)
Mas Korep. Saya dulu juga orang yang lugu. Saya takut miskin, seperti Yu Turah. Saya takut tidak bisa membahagiakan istri dan anak-anak. Makanya saya berusaha banting tulang dengan cara apapun, asalkan saya dan keluarga saya tidak kelaparan. Saya menghalalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, karena saya takut pada suatu hari nanti kehidupan saya jadi bangkrut. Anak-anak saya yang lahir dari rahim istri saya menjadi gelandangan, dan pada akhirnya mati di bawah kolong jembatan.
Oh, ternyata menjadi kaya menakutkan dan menjadi miskin juga menakutkan. Saya selalu dihantui oleh kedua-duanya. Saya pingin kaya, karena saya tidak ingin jatuh miskin yang teramat sangat. Ketika anak istri saya pergi, kekayaan itu tiba-tiba raib. Seluruh harta benda yang bertahun-tahun saya tumpuk menjadi tidak berguna.

MELEPAS TOPENG DAN DASI-DASI. BEBERAPA TIKUS MELINTAS DENGAN MENGUSUNG BERBAGAI HARTA BENDA.

Ambilah! Semua tidak berguna. Ambilah, saya tidak membutuhkan lagi. Kalau perlu ambilah jantung hatiku. Semua sudah tidak berguna.

SEEKOR TIKUS NYRONDOL, HENDAK MENGAMBIL HARTA YANG DI BALIK TIRAI.

Stop! Stoooop! Kalian jangan main-main dengan harta benda saya. Jangankan kamu. Istri saya saja tidak pernah menyentuhnya. Pergilah! (Mengusir dengan melempar sandal) Huh, dikira hidup itu gratisan. Dasar otak tikus. Silahkan ambil barang-barang saya, tetapi harus ada jaminannya. Apakah kalian bisa menjamin kehidupan saya yang sudah hampir berakhir ini, bisa selamat. Harta benda itu tidak ada artinya bagi keselamatan saya sendiri. Saya pingin mati dengan tenang. Saya pingin mengakiri hidup seperti ketika saya lahir dulu. Apakah ada yang bisa menjamin, bahwa saya bisa selamat tanpa harta benda di sekitar saya? Kalau ada, silahkan ambil seluruh kekayaan saya ini. Bagi saya, keutuhan keluarga saya lebih membahagiakan saya, meski semuanya sudah terlambat.
Sampulung, apa sampeyan tidak dengar suara saya? Mas Korep, Mas Jumena Martawangsa, Yu Turah, Make, apa sampeyan semua sudah bahagia? Saya sekarang sendirian, menjaga berhala-berhala yang saya sembah bertahun-tahun. Benda-benda itu pada mulanya bisa menyelamatkan dari ketakutan-ketakutan yang menyelimuti benak saya. Nyatanya berhala-berhala itu malah menikam saya dari belakang. Mereka hanya diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tidak berharga, ketika tuannya butuh perlindungan.
Ternyata kerja keras saya hanya untuk mengubur saya dengan cara yang sangat menyakitkan. Benda-benda yang saya kumpulkan itu, malah menjadi hantu-hantu yang setiap saat mengancam jiwa saya. Setiap detik, ia selalu membuat sikap saya berubah. Saya tidak bisa tidur. Benda-benda itu, selalu menghantarkan saya pada mimpi-mimpi buruk.

TIKUS-TIKUS BERGERAK, HENDAK MENCURI BENDA-BENDA.

Hai jangan sentuh barang-barang itu!

TIKUS-TIKUS DIAM.

Sepanjang malam, saya menunggui barang-barang yang saya peroleh sejak saya hanya mempunyai lemari butut, dan kursi-kursi tua peninggalan mertua saya. Sementara orang tua saya hanya meningalkan, rasa takut akan kelaparan.

TIKUS-TIKUS HENDAK BERGERAK.

Sudah aku bilang, kalau kalian menyentuh benda-benda itu, maka hidupmu akan berakhir. Kalau mau hidup, cari diluar sana. Basih banyak yang bisa kamu miliki!
Saya sudah sering mengatakan pada anak-anak dan istri saya. Semua harta benda yang kita miliki ini bukan milik kita. Tetapi semua ini untuk masa depan cucu dan cicit-cicit kita. Harta benda itu pondasi sejarah yang kukuh, agar keturunan kita langgeng sepanjang masa.
Mereka tampak masa bodoh dengan yang saya katakan. Meski mulut saya nerocos. Anak-anak saya, pulang menjelang pagi dengan mata merah, rambut acak-acakan, jalannya sempoyongan, dan pasti mobilnya terluka, untuk kebut-kebutan dangan anak-anak brandal yang sok kaya itu.
Sementara istri saya selalu memilih tidur di vila dan membiarkan saya mendekap guling sendiri, sembari membayangkan istri saya yang dipeluk lelaki lain yang sengaja dibawanya dari plasa-plasa atau hasil arisan dengan perempuan-perempuan malang yang merasa dibuang suaminya karena sibuk mengurusi harta bendanya.

TIKUS-TIKUS HAMPIR MENYENTUH KARDUS-KARDUS BEKAS.

Kamu tahu, harta benda itu saya dapatkan dengan mengorbankan segala-galanya. Untuk mendapatkan itu, kamu harus menghadapi saya, meski saya menganggapnya harta itu tidak ternilai lagi selain rasa bahagia.

MENGAMBIL BENDA APA SAJA DAN SIAP BERPERANG DENGAN TIKUS-TIKUS.

Kini saatnya kita beradu nasib kawan. Siapa yang menang dialah penguasa kerajaan ini.

MEMBURU TIKUS. TIKUS-TIKUS BERHAMBURAN DAN HILANG ENTAH KEMANA. SEMENTARA SESEORANG ITU TERUS MEMBURUNYA SAMBIL MEMUKUL-MUKUL SEKENANYA.

Mampuslah engkau! Mampuslah engkau! Mampuslah engkau!

BERHENTI. BERLARI LAGI DAN MEMUKUL LAGI.

Mampuslah engkau! Enyahlah engkau!

TERUS BERLARI SAMBIL MEMUKUL-MUKUL HINGGA HARTA BENDA ITU BERANTAKAN TAK BERSISA.

Habis. Ludes. Saya kira ini lebih adil.

TIBA-TIBA SEBUAH BENDA ATAU APA SAJA JATUH.

Hussssaaa….dimana…kamu..pengecut! Habis. Ludes.

MENGEMASI KARDUS-KARDUS DAN MEMASUKAN KE DALAM LEMARI YANG TERBARING. SESEORANG MASUK KE DALAM LEMARI.

Saya kira ini lebih adil. Inilah cita-cita saya. Lahir tanpa membawa apa-apa, pulangpun tanpa membawa apa-apa bahkan tanpa siapa-siapa, meskipun saya tetap mencintai mereka.

SEPI

Kang Korep, saya titip nomer togelnya. ( Hendak berbaring dalam lemari dan tumpukan kardus-kardus ) Kayaknya saya dapat pulung hari ini. Tolong belikan nomer berapa saja. Tampaknya semua nomer akan jadi nomer keberuntungan saya.

SEEKOR TIKUS MELINTAS.

Hah itu dia. Nomer tikus. Berapa nomer tikus? Ya, lima belas! Belikan nomer tikus saja! Apa? Uang? Nanti kalau tembus saya ganti. Pokoknya belikan nomer tikus. Saya pusing sekali dengan ulah mereka. Berapapun sampeyan punya uang. Kalau tembus, uang itu akan saya buat mbakar tikus kurang ajar itu. Mengganggu orang tidur saja sepanjang hari.

TIKUS MELESAT SEPERTI FORMULA-1

Jancuk, apa lagi yang kamu ambil? Oya, Kang Korep, kalau nanti tembus, sampeyan pingin apa? Apa? Tidak punya keinginan? Bodoh sekali. Apa sampeyan tidak pingin bir, paloma, toak, atau nglonthe di stasiun? Siapa tahu sampeyan ketemu Turah dan saya ketemu istri saya. Tidak semuanya? Terus sampeyan pingin apa? Mati? Sampeyan pingin mati?

DIAM. SEPI. SESEORANG MELEPAS CELANANYA, SEHINGGA TELANJANG BULAT. TERNYATA SESEORANG ITU TIDAK PUNYA ALAT KELAMIN.

Mas, keinginan sampeyan itu sudah lama saya idamkan. Saya sebenarnya sudah mati, ketika rasa kemaluan saya hilang. Sebenarnya saya bukan manusia lagi. Sekarang, saya hanya sebagai mayat hidup yang bergentayangan menunggu malaikat maut menjemput saya dan menyeretnya ke neraka, tanpa pengadilan di depan Tuhan. Namun sampai sekarang, ketika satu demi satu keluarga meninggalkan saya sendiri, malaikat itu tak kunjung menjemput saya. Sampai kapanpun, Beliau akan saya tunggu.
Mas Korep, sepulang beli togel. Kalau masih punya uang tolong belikan peti mati. Kalau togel itu mbleset, kuburlah peti mati itu, anggaplah saya sudah mati. Buatkan upacara kecil dan berita duka cita. Tancapkan nisan di atasnya, dan tulis : Telah meninggal dunia, nama saya, lahir tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, mati tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian. Ingat gunakan kata mati, jangan wafat.

HENDAK BERBARING DI TENGAH TUMPUKAN KARDUS.

Ya! Siapa? Apa? Nomer saya tembus? Dapat jutaan rupiah? Mas Korep, kalau begitu tolong beritahu malaikat, tunda dulu kematian saya. Kalau perlu undang mereka, kita berpesta bersama-sama! Kita mabuk-mabukan! Kita nglonthe! Kita kawin lagi, Mas. Merdeka!

SESEORANG ITU SEGERA MEMAKAI CELANA, DASI, DAN TOPENG, KEMUDIAN BERJOGET SEKENANYA. TIKUS-TIKUS BERGEMBIRA RIA. MEREKA BERJOGET. KEMENANGAN KEMBALI MEREBAK. RUMAH YANG MURAM ITU MENYALA-NYALA MERAYAKAN KEMENANGANNYA. TIRAI PERLAHAN-LAHAN MENUTUP. DUA EKOR TIKUS MUNCUL DARI BALIK TIRAI. MEREKA MEMBENTANGKAN POSTER BERTULISKAN : “Kalau ingin berantas korupsi, do’akan tokoh kita ini segera mati!”

Surabaya, 2004


Keterangan :

1. Dalam naskah drama, Sumur Tanpa Dasar, karya Arifin C Noor, pada babak awal tokoh Jumena Martawangsa mengucapkan kalimat ini, “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.” Saya sangat terkesan dengan kalimat ini. Menurut saya, kalimat ini mencerminkan, bahwa sebuah peristiwa pasti melibatkan ‘tokoh’. Dari tokoh inilah peristiwa apapun bisa diselesaikan.
2. Dalam naskah drama Tengul, karya Arifin C Noor, pada babak awal tokoh Sampulung mengucapkan kalimat ini, “Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silahkan menyaksikan dan mencemooh diri saya, sudah tentu setelah saudara-saudara memuja dan menjilat-jilatnya.” Barangkali para koruptor kita berpikiran demikian.
3. Pada adegan penarikan lotre dalam naskah Tengul, karya Arifin C Noor, nomer yang ditomboki (dibeli) Turah istri Korep ternyata meleset lagi. Padahal ia telah menjual seluruh harta bendanya. Karena harta satu-satunya tinggal kehormatan, maka Turah menjualnya seperti menjual jajanan : “Kehormatan! Kehormatan! Kehormatan!” Oleh karena krisis ekonomi telah melanda Indonesa dengan begitu hebat dan hutang luar negeri terus melambung, maka jalan satu-satunya (secara tidak sadar) bangsa yang besar ini telah menempuh jalan, seperti yang dilakukan Turah.
4. Euis dan Marjuki, dicurigai Jumena Martawangsa, telah menjalin hubungan afair. Kecurigaan ini memang didasari ketakutan-ketakuatan Jumena sendiri. Tetapi sebenarnya dibalik itu, Euis dan Marjuki bisa dibilang menjalin asmara, meski ia selalu berdusta di depan Jumena. Demi sesuatu yang diyakini, manusia (menurut saya) pasti berdusta, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
5. Dalam setiap perjudian, Bandar (Salah satu tokoh di Tengul, karya Arifin C Noor) tidak pernah mengenal filosofi jujur. Ditangannyalah pendulum nasib dikuasai. Oleh sebab itu ia bebas memainkan, selicik apapun. Dan memang bandar judi jarang kalah karena harta benda mereka jelas lebih banyak dari penombok.
6. Kecurigaan Jumena terhadap Euis (istri mudanya) dengan Juki (adik angkat Jumena) memang berdasar ketidak percayaan akan cinta Euis. Pada babak awal Jumena bertanya pada Euis : “Apa yang diharapkan perempuan sebenarnya?” Euis menjawab, “Seorang suami yang mencintainya.” Dan dengan tangkas Jumena menjawab pula, “Saya sangsi…”
7. Dalam naskah Kapai-Kapai, karya Arifin C Noor, Emak menyamakan tokoh Abu (anak Emak) yang pegawai rendahan itu, sebagai Pangeran yang rupawan dan hidup bahagia. Kemiskinan memang selalu menggiring orang pada mimpi-mimpi. Karena mimpi-mimpi inilah terkadang manusia berbuat nekat. Termasuk korupsi. Manusia berkorupsi bisa jadi akibat dari rasa takut akan kemiskinan dan keinginan realisasi mimpi-mimpinya akan kemewahan.
8. Kerna jengah menghadapi Korep yang merasa sudah bahagia meski hidup sederhana (miskin), Turah (istri Korep) merasa perlu meyakinkan, bahwa kekayaan akan merubah segalanya.
9. Namun sayang, ajakan istrinya itu, tak pernah membuat surut Korep untuk tetap memilih hidup sederhana dan Korep menyatakan dalam kemiskinannya itu ia merasa tidak pernah lapar.
10. Baca sajak WS. Rendra, Kelaparan. Saya menulisnya diluar kepala.
11. Perihal nasib, Bandar (salah satu tokoh dalam naskah Tengul, karya Arifin C Noor) percaya, bahwa nasib tidak pernah berpihak pada kebanyakan orang. Tetapi pada segelintir orang, karena nasib adalah kekuatan yang tak terkendalikan dia tak pernah memihak atas golongan, suku, ras, bahkan agama. Nasib tidak ada hubungannya dengan kesalehan seseorang. Maka Bandar berujar, “Inilah kekeliruan terbesar. Nasib tidak pernah tahu, apa itu agama.”
12. Kesederhanaan Korep sebenarnya didasari oleh rasa putus asa. Karena pada dasarnya secara manusiawi manusia punya angan-angan tentang kekayaan harta benda dan hidup tenang.
13, 14. Periksa dialog Korep dengan tokoh Si Tuli.