Oleh: R Giryadi
(materi workshop teater untuk guru SD/MI Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, 24-26 Februari 2011)
Riwayat teater bermula dari upacara-upacara pemujaan
keagamaan di Yunani sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Dari upacara-upacara
keagamaan inilah pertumbuhan drama/teater mulai muncul. Upacara-upacara keagamaan
pada saat itu menggunakan topeng-topeng yang menggambarkan roh nenek moyang.
Dan masing-masing orang memerankan atau merasuki roh nenek moyang yang
dimaksud. Dari situlah, pola-pola seni
pertunjukan terbentuk.
Nah, seiring perkembangan pemikiran manusia, cerita-cerita
tentang mythos roh nenek moyang terus hidup. Namun lambat laun mythos pun juga
tergusur seiring dengan munculnya nilai-nilai baru. Agama atau upacara-upacara
lambat laun juga terpisah. Demikian juga fungsi aktor dan pendeta juga terpisah.
Inilah yang kemudian oleh Oscar G. Brockett
disebut ‘the material for drama’.
Namun kunci untuk memahami asal-usul teater terdapat pada
tulisan-tulisan Aristoteles. Menurut Aristoteles, manusia mempunyai naluri
untuk meniru, dan manusia juga senang meniru orang lain, dan juga senang
melihat hasil tiruannya. Aristoteles menekankan: peniruan merupakan metode ajar
manusia dalam memahami duniannya.
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetics mengatakan, plot (jalan cerita) adalah peniruan terhadap
lakon (action). Waktu seseorang menulis naskah drama atau membacanya, menonton
naskah tersebut dipentaskan, pada dasarnya orang tersebut melakukan peniruan, baik
secara khayali ataupun secara jasmani terhadap lakon.
Adanya plot atau jalinan peristiwa-peristiwa kalau ditelaah
lebih jauh ternyata merupakan akibat dari adanya kegiatan yang terarah dari
salah satu atau beberapa tokoh cerita
(tokoh utama). Dari awal sampai akhir cerita tersebut terjalin peristiwa
dan bahkan dari berbagai anak kisah. Naskah drama sebagai cerita memiliki hal-hal
yang sama, yaitu awal dan akhir cerita.
Pertunjukan teater/drama disebut pula sebagai tontonan yang
ephemeral, artinya bermula suatu malam dan berakhir pada malam yang sama.
Karena peristiwa yang ditampilkan di pentas itu bisa menggambarkan kejadian
yang berlangsung dalam jangka waktu lama, maka harus jelas karakteristik mana
bagian awal, bagian tengah dan bagian akhirnya.
Dalam pementasan suatu drama, unsur utama yang dapat
menghidupkan naskah lakon di atas pentas adalah laku (action), atau sering
disebut gerak laku. Nilai dramatik yang
terkandung di dalamnnya diperoleh oleh laku tersebut, sedangkan laku dapat
muncul karena adanya konflik dalam lakon.
Dalam seni drama, suasana akan lebih hidup, lebih bergerak,
dan lebih dinamis apabila didalamnya terdapat konflik dan benturan-benturan.
Dalam setiap drama yang baik pasti di dalamnnya ada masalah yang dengan
sendirinya akan melahirkan konflik.
Karena itulah hakekat seni drama adalah pengungkapan dalam
bentuk laku (action) segala gejala psikis (kemampuan kejiwaan) yang terkandung
dalam diri manusia setelah mendapat rangsangan dari konflik-konflik.
Lakon sebagi suatu karya teater/drama belumlah lengkap
sebagai suatu karya seni teater, sebelum lakon tersebut dipentaskan di atas
panggung atau divisualkan, yaitu diperagakan secara visual di atas panggung.
Sementara itu untuk bisa mengungkapkan bentuk visual
pertunjukan, seseoarang perlu mengenal dramaturgi. Dramaturgi, merupakan ilmu
yang mengumkapkan seluk beluk lakon untuk dapat dipertunjukan atau divisualkan
dalam ujud peragaan di atas panggung.
Naskah Teater
Dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan, naskah lakon salah
satu materi utama yang berperan sebelum sampai ke tangan para sutradara dan
para aktor. Naskah dapat berdiri sendiri sebagai karya sastra (bahan bacaan) ia
berdiri sebagai teks yang bebas ditafsir oleh pembacanya. Namun ketika naskah
akan dipentaskan ia akan melalui proses interpretasi dalam format yang khusus.
Naskah drama/teater berasal dari penulis naskah (playwright). Ia disebut sebagai seniman
(sastrawan), sedang para pemeran, sutradara, produser, penata pentas dan
lainnya disebut sebagai interpretative artists.
Lakon adalah hasil karya sastra yang berupa cerita dan
disusun untuk keperluan pementasan dan pertunjukan. Sebuah lakon yang bagus
adalah apabila lakon tersebut baik dari
segi tema, isi cerita maupun daya panggung (daya untuk dipentaskan).
Naskah yang akan dipentaskan biasanya melalui dua intansi,
penulis naskah dan sutradara baru kemudian pemeran (aktor), dan pekerja
artistik lainnya. Dari penulis, naskah menawarkan ide. Malaui sutradara, naskah
ditafsirkan dan diberikan kepada pemeran dan pekerja artistik lainnya untuk
ditafsirkan lagi. Namun, biasanya, sutradara memiliki peran utama untuk
memberikan arahan dalam menafsirkan naskah.
Bagi seorang sutradara,pemilihan lakon juga bukan sekedar
memilih isi cerita dan temanya saja. Tetapi juga apa yang merangsang dirinya, jika
lakon tersebut, harus tergambar adanya kemungkinan diperagakan secara visual.
Dalam menyusun naskah, pengarang harus memperhatikan nilai
dramatik naskah tersebut. Karena itu, seorang penulis naskah lakon setidaknya
mengerti tentang seni pertunjukan. Karena, seorang penulis naskah perlu bisa
membayangkan/ menggambarkan secara visual naskah yang dibuatnya.
Sebuah naskah lakon secara teknis harus sudah disusun dengan
mempertimbangkan masalah yang diperlukan untuk dapat dipertunjukan. Disamping
itu, harus disusun pula bentuk dialog (pecakapan), yang bukan sekedar mejalankan
cerita, tetapi harus dapat menggambarkan watak para pendukung cerita. Dialog
yang diucapkan pemain harus dapat memberi gambaran tentang watak pemain
tersebut.
Dalam suatu pementasan naskah lakon masalah utama yang didapati
sutradara dengan awak pentas ialah bagaimana medium verbal sastrawan dapat
diterjemahkan dan bahkan diperkuat daya ungkapnya dengan media audio visual,
kinetik, dan verbal dalam menyampaikan nilai-nilai pengalaman itu dalanm wujud
secara visual.
Naskah yang baik, dapat dikatakan bila naskah itu kaya dengan
ide-ide, baik dilihat dari sudut filsafat, sosial, kultural, puitis dan asli
bukan tiruan. Dari ide-ide yang ditawarkan penulis naskah, ada perjalanan
penafsiran, ada perjalan kreatif yang harus ditempuh untuk mewujudkan
(mevisualisasikan) teks-teks dalam naskah (lakon).
Seorang penulis naskah akan menuangkan ide-ide ceritanya menurut dorongan dalam visi
artistiknya, dengan berbagai kecenderungan bentuk dan gayanya. Mungkin mereka akan melahirkan naskah-naskah
konvensional, dengan segala tertib teknisnya, tetapi mungkin pula ia melahirkan
naskah-naskah eksperimental dengan sosok bentuk yang lebih bebas.
Memilih Naskah
Sebelum pentas, seorang sutradara atau produser pementasan
akan melakukan pemilihan naskah yang akan dipentaskan. Pemilihan naskah ini
bisa merupakan jawaban dari obsesi artistik tertentu atau bisa juga obsesi dari
tema tertentu yang kontekstual dengan zaman.
Bagi kelompok teater yang tidak mempunyai penulis naskah
sendiri, mereka akan melakukan observasi beberapa naskah yang dirasakan cocok
untuk dipentaskan. Begitupun, naskah yang akan dipentaskan masih harus
disesuaikan dengan kondisi SDM. Karena itu bagi kelompok teater yang tidak
memiliki penulis naskah, perlu melakukan pengkajian secara seksama tentang
naskah yang akan dipentaskan.
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah tersedia
memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah yang
akan dipentaskan. Naskah tersebut harus memenuhi kreteria yang diinginkan serta
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Ada beberapa pertimbangan yang
dapat dilakukan oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di bawah
ini.
- Sutradara menyukai naskah yang dipilih
- Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih.
- Sutradara wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara khusus.
- Sutradara mampu menemukan pemain yang tepat. Sutradara harus mampu mengukur kualitas sumber daya pemain yang dimiliki dalam menentukan naskah yang akan dipentaskan.
- Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih. Sutradara dengan segenap kemampuannya harus mampu meyakinkan pemain dan mengusahakan pertunjukan agar tetap digelar sehingga proses yang telah dilakukan tidak menjadi sia-sia.
Membuat naskah lakon sendiri tidak menguntungkan
karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi berkenaan dengan
sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan yang
tepat.
Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang
sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada. Naskah semacam ini bersifat
situasional, tetapi semua orang yang terlibat menjadi senang karena dapat
mengerjakannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Langkah Menulis Naskah Lakon.
- Menentukan tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir.
- Menentukan persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti dari cerita teater. Tidak ada cerita teater tanpa konflik. Oleh karena itu pangkal persoalan atau titik awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki.
- Membuat sinopsis (ringkasan cerita). Sinopsis digunakan pemandu proses penulisan naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar.
- Menentukan kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan, konflik, klimaks sampai penyelesaian.
- Menentukan protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka tokoh lainnya mudah ditemukan. Menulis lawan dari sifat protagonis maka karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak protagonis atau antagonis akan mudah diciptakan.
- Menentukan cara penyelesaian. Akhir cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak tergesa-gesa.
Struktur Naskah
Dalam menyusun naskah lakon, seorang pengarang secara teknis
perlu memperhatikan masalah-masalah berikut:
- Watak-watak pendukung cerita lengkap dengan karakteristik dari tokoh yang dicipta.
- Adegan cerita yangh disusun.
- Benturan-benturan konflik yang menyebabkan jalan cetia mempunyai nilai dramatik, baik konflik di antara tokoh-tokohnya maupun konflik antara persoalannya.
- Tempo, irama, harmoni, keseimbangan di dalam alur cetria secara keseluruhan.
Semua unsur di atas diolah sehingga menghasilkan suatu bentuk
cerita yang dapat dengan mudah diperagakan secara visual dan dipertunjukan.
Secara teknis lakon tersebut memenuhi persyaratan untuk dapat dipertunjukan.
Sementara itu dalam menulis naskah lakon juga perlu
memperhatikan struktur naskah. Dr. Boen S. Oemarjati, menyebutnya sebagai
struktur lakon. Menurutnya struktur lakon itu terdiri dari: (a). Pemaparan,
(b). Penggawatan, (c). Klimaks, (d). Peleraian/anti klimaks, (e).
Penyelesaian/konklusi.
- Pemaparan
Yang menggambarkan tentang tempat,
kejadian dab wataj, mood dan kemungkinan-kemungkinan tentang kadar kenyataan.
Pada bagian ini menuntun plot ke sutau titik di mana konflik atau isu awal
menjadi jelas.
- Penggawatan
terdiri atas serangkaian komplikasi.
Komplikasi adalah unsur yang dimaksukkan ke dalam drama yang akan mengyubah
arah gerak drama itu. Pada bab ini ditemukan informasi baru, oposisi pemeran
lainhyang tak terduga-duga, dan lain-lain.
Komplikasi ini berfungsi untuk mempersempit kemungkinan-kemungkinan
gerakan dan untuk menciutkan suspence.
- Klimaks
Sumber utama penggawatan atau
komplikasi adalah penemuan (discovery). Dalam bab ini muncul suatu masalah yang
sebelumnya tidak diketahui. Penemuan ini akan memberikan jawaban terhadap
‘major dramatic question’ atau dengan istilah lain disebut ‘plot sacra’ atau
klimak. Disinilah krisis nilai dipertaruhkan.
Klimak menggambarkan bentrikan atau
konflik puncak, antara tokoh cerita dan persialan yang dihadapi yang merupakan
puncak persoalan dengan konflik yang ada.
- Peleraian/anti klimaks
Pada bab ini menguraikan pemecahan
persoalan (di sini cerita mulai menurun) dan memperlihatkan dengan jelas
pemecahan masalah.
- Penyelesaian/konklusi
Simpulan dari akhir cerita. Biasanya
diakhir cerita penulis naskah memberikan jawaban, apa yang akan dan harus
terjadi setelah semua fakta dibeberkan. Di dalam jawabannya harus terpenuhi
pengertian-pengertian lengkap dan kepuasan.
Naskah drama bentuk dan usunannya berbeda dengan naskah
cerita pendek atau novel. Naskah cerita pendek atau novel berisi cerita lengkap
dan langsung tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, naskah drama
tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penentuan ceritanya diganti dengan
dialog para tokoh. Jadi, naskah drama itu mengutamakan ucapan-ucapan atau
pembicaraan para tokoh. Dari pemhicaraan para tokoh itu penonton dapat
menangkap dan mengerti seluruh ceritanya.
Pemain drama dibagi dalam babak demi babak. Setiap babak
mengisahkan peristiwa tertentu. Peristiwa itu terjadi di tempat tertentu, dalam
waktu tertentu, dan suasana tertentu pula. Misalnya drama itu terdiri dan tiga
babak, berarti babak I, babak II dan babak III. Tiap-tiap babak menggambarkan
peristiwa yang berbeda. Begitu pula tempat, waktu dan suasananyapun berbeda.
Dengan pembagian seperti itu, penonton memperoleh gambaran yang jelas bahwa
setiap peristiwa berlangsung di tempau. waktu, dan suasana yang berbeda.
Untuk memudahkan para pemain drama, naska drama ditulis
selengkap-lengkapnya, bukan saja berisi percakapan, melainkan juga disertai
keterangan atau petunjuk. Petunjuk itu misalnya gerakan-gerakan yang dilakukan
pemain, tempat terjadinya peristiwa, benda-benda peralatan yang diperlukan
setia bahak, dan keadaan panggung setiap babak. Juga tentang bagaimana dialog
diucapkan, apakah dengan suara lantang, lemah atau dengan berteriak. Pendek
kata, naskah drama itu benar-benar sudah lengkap dan sudah siap dimainkan
dipanggung.
Menganalisis Naskah
Menghadapi sebuah naskah, mula-mula secara kasarnya kita
mencoba mencari apa yang disebut ‘dramatic material’, yaitu segala sesuatu yang
ada di dalammnya atau disarankan naskah, seperti; ucapan-ucapan, watak, tata
pentas, ide-ide dan lain-lain. Bahan-bahan dramatik ini lalau kita golongkan
pada apa yang disebut ‘nilai-nilai’ untuk para penonton.
Menurut Henning Nilms (Max Arifin, 1980), nilai-nilai itu
dibagi dalam tiga macam
- Nilai-nilai intelektual; yang mengemukankan ide-ide baru atau mempertahankan yang lama dalam bentuk yang lebih impressif. Ide yang ada di belakang drama adalah nilai-nilai falsafi, umpamanya suatu pandangan moral; bahwa setiap kejahatan mesti ada balasannya.
- Nilai-nilai emosional. Nilai-nilai ini bisa menggerakan penonton untuk bisa tertawa atau menangis. Nilai-nilai ini tidak membutuhkan pemahaman tapi dirasakan dan mungkin memerlukan expresi yang mendetail dan halus.
Dalam banyak drama penonton ikut
terlibat dalam imajinasinya dengan pengalaman-pengalaman para pemain/pemeran.
Keterlibatan ini menghasilkan emosi-emosi dan ini adalah salah satu daripada
daya tarik utama dari teater.
- Nilai abstrak. Nilai ini mememberikan rasa senang memalui keindahan, kehalusan atau hal-hal estetik lainnya. Pentas yang indah yang menarik pandangan, sajak, suara yang halus yang menarik pendengaran, dan lain-lain.
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas utama
sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga
gambaran 100% lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara
akan lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.
Analisis dasar adalah telaah unsur-unsur pokok yang
membentuk lakon. Dalam proses analisis ini, sutradara memepelajari seluruh isi
lakon dan menangkap gambaran lengkap lakon seperti apa yang tertulis. Jadi,
dalam tahap ini sutradara hanya membaca kehendak pengarang melalui lakonnya.
Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah senagai berikut.
- Pesan Lakon
sutradara wajib menemukan pesan utama dari
lakon yang telah ditentukan. Apa yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui
naskah lakon disebut pesan. Romeo and Juliet karya Shakespeare mengandung pesan
bahwa seseorang yang telah menemukan cinta sejati tidak takut terhadap risiko
apapun termasuk mati.
- Konflik dan Penyelesaian
Penting mengetahui dasar persoalan (konflik)
dalam sebuah lakon karena hal tersebut akan membawa laku aksi para tokohnya. Ini
akan memberi sudut pandang bagi sutradara dalam melihat, menilai, dan memahami
konflik lakon.
- Karakter Tokoh
Analisis karakter tokoh sangat penting dan
harus dilakukan secara mendetil agar sutradara mendapatkan gambaran watak
sejelas-jelasnya. Analisis karakter ini harus dilakukan dengan teliti dan
hati-hati sehingga setiap perubahan karakter yang dialami oleh tokoh tidak
lepas dari pengamatan sutradara.
- Latar Cerita
Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu
kejadian harus diungkapkan dengan jelas karena hal ini berkaitan dengan tata
artistik.
Menjadi Sutradara
Pada mulanya pementasan teater tidak mengenal sutradara.
Pementasan teater muncul dari sekumpulan pemain yang memiliki gagasan untuk
mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka berlatih dan memainkkannya di
hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan akan pementasan teater yang semakin
meningkat, maka para aktor memerlukan peremajaan pemain.
Para aktor yang telah memiliki banyak pengalaman mengajarkan
pengetahuannya kepada aktor muda. Proses mengajar dijadikan tonggak awal
lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut
didaskalos yang berarti guru dan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah
yang digunakan untuk seorang sutradara dapat diartikan sebagai master.
Sutradara mempunyai tugas sentral yang berat dalam sebuah
pementasan tidak hanya akting para pemain yang diurusnya, tetapi juga kebutuhan
yang berhubungan dengan artistik dan teknis. Musik yang bagaimana yang
dibutuhkan, pentas seperti apa yang harus diatur, penyinaran, tata rias,
kostum, dan sebagainya, semuanya diatur atas persetujuan sutradara. Oleh karena
itu sutradara harus menguasai semuanya.
Penyutradaraan berhubungan dengan kerja sejak perencanaan
pementasan, sampai pementasan berakhir. Dalam drama tradisional dan wayang
sutradara “dalang”. Tugas sutradara drama modern melatih, mengkoordinasikan
aktor/aktris, juga memimpin urusan unsur pentas seperti penata lampu, penata
pentas, penata musik, penata rias, penata pakaian, dekorator, dan petugas
lainnya.
Sejarah Timbulnya
Sutradara
Dalam drama tradisional, kurang lebih dua abad yang lalu,
belum ada sutradara. Dalam drama tradisional di Indonesia, masing-masing aktor
bermain improvisasi. Yang ada hanyalah manajer dan produser. Dalam perkembangan
kedudukan sutradara, beberapa kejadian penting dapat dicatat, yaitu sebagai
berikut.
a. Pada saat Saxe Meiningen mendirikan rombongan teater di
Berlin, pada tahun 1874-1890. Saat itu dipentaskan 2591 drama di wilayah
Jerman. Kemudian mengadakan tour ke seluruh Eropa. Dengan peristiwa itu, dirasa
kebutuhan akan adanya sutradara yang mengkoordinasikan pementasan-pementasan.
b. Gurdon Craig (1872), putra Ellen Terry mempelopori
penyutradaraan sehingga namanya sangat terkenal. Sampai kini, nam Craig dipuja
sebagai sutradara genius. Dia dinyatakan sebagai sutradara yang memaksakan
gagasannya kepada aktor/aktris. Melalui dirinya diperkenalkan seniman teater
baru yang disebut sutradara.
c. Constantin Stanilavsky (1863-1938) merupakan sutradara
Rusia yang terbesar. Ia mendirikan “Moscow Art Theater”. Dengan
penyutradaraannya, dihilangkan sistem bintang, dan ia merupakan pelopor
penyutradaraan yang mementingkan sukma.
Tugas Sutradara
Sebelum membahas lebih jauh tentang tugas-tugasnya, maka
sutradara harus mengerti hal-hal yang berhubungan dengan pementasannya,
misalnya:
1. Arti pementasan dan
mengapa kontruksi pementassan harus disusun rapi.
2. Mengerti sikap
karakter dan juga peranannya di dalam pementasan.
3. Mengerti bagaimana
scene yang dibutuhkan, kostum, dan peralatan lampu yang sesuai.
4. Mengerti latar
belakang pengarang naskah, periode pementasan, gambaran lingkungan
danjuga gambarab audience
yang akan menyaksikan.
5. Mampu menyadar kata
dan ungkapan yang usang, sehingga dipahami penonton.
6. Mampu menghadirkan
lakon sesuai dengan waktu dan tempat pementasan, sehingga
suasana hakiki dapat
dihayati.
7. Mampu menghadirkan
image visual atau image kunci dengan dekorasi yang
menggambarkan suasana
yang sesuai.
Menurut Fran K. Whitting ada tiga macam tugas utama dari
seorang sutradara, yaitu: merencanakan produksi pementasan, memimpin latihan
aktor, dan aktris, dan mengorganisasi produksi. Dalam hal in, sutradara
bertindak sebagai artis, guru dan eksekutif.
- Merencanakan Produksi
Sutradara haruslah mampu menangkap
pesan dan tema naskah tersebut, nada dan suasana drama secara menyeluruh juga
harus dipahami. Untuk menjadi seorang sutradara, seorang harus mempersiapkan
diri melalui latihan yang cukup serius, memahami akting dan memahami cara
melatih akting dan memahami seluk beluk perwatakan sebagai dimensi dalam diri
seorang peran.
Untuk memimpin pementasan drama besar,
sebaiknya seorang calon sutradara mulai dengan berlatih memimpin drama yang
sederhana, dengan latar belakang waktu masa kini yang tidak membutuhkan berbagai
persiapan rumit.
Mempersiapkan calon aktor secara
seksama dapat dilakukan sebelum casting ditentukan, sutradara harus
mempertimbangkan secara masak dan dewasa, dari berbagai segi tentang
penunjukkan aktor atau aktris. Di samping menyesuaikan dengan karakternya, baik
secara psikologis, sosiologis maupun fisiologis, maka faktor kecerdasan,
kemudian latihan dan faktor kepribadian calon pemimpin harus mendapat
perhatian.
Untuk suatu naskah tertentu,
sutradara dengan kondisi pemain yang dipilih, dapat memperkirakan beberapa kali
latihan yang dibutuhkan. Dengan demikian,dapat dibuat time-schedule yang terperinci.
Jika waktu pementasan sudah ditentukan, maka time-schedule ini dapat lebih
bersifat pasti.
- Memimpin Latihan
Periode latihan dapat dibagi menjadi
empat periode besar, yaitu:
1. Latihan pembacaan teks drama
(reading)
2. Latihan blocking (pengelompokkan)
3. latihan action atau latihan kerja
teater.
4. Pengulangan dan pelancaran terhadap
semua yang telah dilatih
Latihan untuk aktor ini, berhubungan
dengan pembinaan akting, blocking, crossing pemain, penyesuaian dengan teknis
pentas, pemyesuaian dengan teknis pentas, dengan musik, sound system. Pembinaan
aktor juga menyangkut teknik muncul, teknik menekankan isi. Teknik progresi dan
teknik membina puncak.
WS Rendra mengemukakan, ada sebelas langkah dalam menciptakan peran,
yaitu
1. Mengumpulkan tindakan-tindakan
pokok yang harus dilakukan oleh sang peran dalam drama itu.
2. Mengumpulkan sifat-sifat watak
sang peran, kemudian dicoba dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang
harus dikerjakannya, kemudian ditinjau, manakah yang harus ditonjolkan sebagai alasan
untuk tindakan tersebut.
3. Mencari dalam naskah, pada bagian
mana sifat-sifat pemeran itu harus ditonjolkan.
4. Mencari dalam naskah,
ucapan-ucapan yang hanya memiliki makna tersirat untuk diberi tekanan lebih
jelas, hingga maknanya lebih tersembul keluar.
5. Menciptakan gerakan-gerakan air
muka, sikap, dan langkah yang dapat mengekspresikan watak tersebut di atas.
6. Menciptakan timing atau aturan
ketepatan waktu yang sempurna, agar gerakan-gerakan dan air muka sesuai dengan
ucapan yang dinyatakan.
7. Memperhitungkan teknik, yaitu
penonjolan terhadap ucapan serta penekanannya, pada watak-watak sanga peran itu
8. Merancang garis permainan yang
sedemikian rupa, sehingga gambaran tiap perincian watak-watak itu, diasjikan
dalam tangga menuju puncak, dan tindakan yang terkuat dihubungkan dengan watak
yang terkuat pula.
9. Mengusahakanagar perencanaan
tersebut tidak berbenturan dengan rencana (konsep) penyutradaraan.
10. Menetapkan bussiness dan blocking
yang sudah ditetapkan bagi sang peran dan diusahakan dihapaagar menjadi
kebiasaan oleh sang peran.
11. Menghayati dan menghidupkan peran
dengan imajnasi dengan jalan pemusatan perhatian pada pikiran dan perasaan
peran yang dibawakan.
@@@
*Disampaikan pada
workshop teater guru SD/MI Se-Jawa Timur, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Timur, Surabaya, 24-26 Februari 2011.
Bahan Bacaan
- A. Kasim Ahmad, Pendidikan Seni Teater (Buku Guru Sekolah Menengah Atas), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990
- Bakdi Sumanto, Majalah Dinding (kumpulan drama), Gama Media, Bandung, 2006
- Max Arifin, Teater Sebuah Perkenalan Dasar, Nusa Indah, 1980
- Rendra, Seni Drama untuk Remaja, Burung Merak Press, Jakarta, 2007
- Suyatna Anirun, Menjadi Sutradara, STSI Press Bandung, Bandung, 2002
- Suyatna Anirun, Menjadi Aktor, STB-Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, 1998
- http://minalove.com/artikel/
- http://www.jendelasastra.com/artikel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar