Esai ini saya teruntukan mbak Ratna Sarumpaet dan mas Radar Panca Dahana yang sedang berpolemik, di koran Kompas, medio Desember 2005. Tetapi esai ini tidak pernah dipublikasikan oleh Kompas.
Oleh : R Giryadi
Sudah menjadi tabiat pejabat di negeri ini, ketika mendapat kritik
dari pihak lain (meski kritik itu konstruktif), serta merta akan melakukan
penolakan, dengan tanpa memberikan argument yang lebih menarik dari para
pengkritik. Hal ini sungguh menjadi fenomena yang cukup menarik, ketika Indonesia
sedang belajar demokrasi.
Fenomena itu tidak hanya terjadi dalam ranah kekuasaan politik saja,
tetapi (ternyata) juga telah menghinggapi pejabat kesenian kita. Ini sungguh
ironi yang terus patut dipertanyakan. Sudah siapkah pejabat kesenian bersikap
lebih arif dari para pejabat pemerintah yang anti kritik itu?
Apa yang dipaparkan Radhar Panca Dahana dalam Kompas, Senin, 12 Desember
2005 (Zombi dan Involusi Teater Festival),
merupakan sesuatu yang wajar. Sebagai kritikus, (meski Ratna Sarumpaet secara implisit
tidak mengakuinya), dia berhak mengartikulasikan pemikirannya, terhadap kondisi
perteateran di Indonesia.
Kritik dengan bahasa esai khas Radhar, semestinya justru menjadi bahan kajian
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) -kalau itu yang dituju DKJ- atau lembaga kesenian
terkait. Bukan justru untuk menjadi alat penyerangan, terhadap diri Radhar,
yang selama ini, menurut saya, justru banyak menyumbangkan pikirannya terhadap
dunia teater. Bagaimana dengan Sarumpaet?
Kalau kita mau melihat realita teater Indonesia, mari kita bersama-sama
menghitung dengan jari. Sejak era tahun berapa kita punya teater yang sehat
walafiat (bukan professional)? Kita akan menemukan, tidak terlalu banyak,
teater yang benar-benar sehat walafiat dan bisa menjadi tempat yang layak untuk
menitih karier, apalagi, tempat mencari nafkah. Sungguh kalaupun ada, teater
tersebut sudah berusia puluhan tahun, atau mendapat rejeki nomplok dari founding, dan lembaga kebudayaan asing.
Menurut hemat saya, ini realita kehidupan teater kita.
Kehidupan teater di luar hitungan jari yang digambarkan Radhar,
sungguh kenyataan yang tak terelakan. Fenomena ini muncul ketika kran demokratisasi
semakin terbuka, dan di teaterlah -sejak masa reformasi- menjadi wahana yang
cukup efektif untuk mengartikulasikan ketimpangan di masyarakat. Maka munculah
teater jalanan, yang terjadi setiap hari, sembari meneriakan yel-yel.
Tidak hanya itu, teater juga hidup di kota-kota kecil. Mereka tidak
bermain di gedung-gedung representatif, tetapi cukup memakai gudang beras atau
aula desa. Mereka mendapatkan dana dari para orang tua yang perduli pada nasib
anaknya. Mereka hidup setiap bulan Agustus, atau kalau ada perayaan hari-hari
besar.
Fenomena itu mendorong, dari seniman tradisional, mahasiswa teater,
seniman yang tahu teater, atau bekas pemain teater, buruh, psk, anak-anak
jalanan, membuat kelompok-kelompok teater. Begitu mudahnya sebuah kelompok teater
dibuat dan begitu mudahnya sebuah kelompok teater dibubarkan. Akibatnya,
fenomena ini juga mendorong, munculnya ‘gerombolan’ para penganggur yang
hidupnya lama tergencet, baik secara politis maupun ekonomis untuk bergabung di
teater. Maka munculah teater dadakan.
Mereka tidak memperdulikan mutu teaternya. Mereka masuk teater hanya untuk
menyalurkan keprihatinan hidupnya, persis seperti yang digambarkan Radhar.
Sebagai mantan aktivis teater kampus, keadaan yang digambarkan Radhar sungguh kenyataan
yang tidak perlu ditutup-tutupi.
Tampaknya, teater di luar hitungan jari, benar-benar menjadi alat
yang mudah, murah, dan meriah, untuk menyatakan pendapat. Hal ini terjadi dari
kompensasi hidup yang selama ini, terus menerus dikuasai oleh retorika pejabat
semasa orde baru. Bahkan kini berlanjut lebih kronis. Tindak hanya retorika
tetapi juga sudah tudingan dan ancaman. Baca kutipan esai Ratna Sarumpaet : ‘…Tetapi
mengatakan kondisi teater kita berada di titik nadir adalah berlebihan, lancang,
dan ceroboh…’
Begitu juga simak kalimat berikut : ‘…Radhar yang menyebut diri
ketua Federasi Teater Indonesia (FTI) berjanji dengan FTI dia akan
menyelamatkan FTJ. Saya tahu cita-cita FTI adalah mengangkat kehidupan teater
di Indonesia.
Saya juga percaya organesasi manapun –termasuk FTI- bisa menolong FTJ. Tetapi
FTI di bawah pimpinan Radhar?’
Sungguh pernyataan itu tak jauh berbeda dengan pernyataan Jusuf
Kalla, ketika mendapat kritikan mengenai kondisi kehidupan guru, beberapa waktu
lalu. Atau pernyataan para pejabat kita tentang kelaparan di Yokuhimo. Kenyataan
yang diutarakan Radhar, justru menjadi alat untuk menyatakan kepentingan
pejabat kesenian yang masif, anti kritik, dan menghandalkan kekuatan
kekuasaannya.
Menurut hemat saya, kehidupan teater kita, perlu kritik. Munculnya
kritik di media massa
seharusnya menjadi kajian bersama, karena hanya di media massalah kritik itu
bisa terwadahi (kecuali dewan kesenian mampu membuat jurnal teater misalnya).
Sanggahan, Ratna Sarumpaet Kompas Sabtu 24 Desember 2005 (Teater di Indonesia Zombi?) sungguh merupakan gambaran wajah
birokrasi kesenian kita. Anti kritik! Dengan menyajikan data kuantitatif (jumlah)
teater, dengan pongah Sarumpaet sudah berani menuding Radhar : ‘lancang!’
Menurut hemat saya, apa yang disajikan Sarumpaet (tak lebih) data
teater era 80-an hingga-90-an yang kini napasnya kembang kempis. Sementara
hanya beberapa saja yang bisa dikatakan sebagai fenomena teater era 2000-an
dengan pencapaian artistic yang khas dan penggarapan manageman yang mapan.
Sebut saja, teater Payung Hitam (Bandung),
Ruang (Solo), Garasi (Yogjakarta), dan Gardanala (Yogjakarta). Sementara yang
lain adalah kelompok-kelompok yang sudah uzur dan belum mampu membenahi kembali
organesasinya, meski mereka tetap berusaha hidup. Sebut saja dalam hal ini,
teater Studiclub Teater Bandung (Bandung), Teater Republik (Bandung), Teater
Api Indonesia (Surabaya), Bengkel Muda Surabaya (Surabaya), dan beberapa teater
yang disebutkan Sarumpaet.
Sungguh, pikiran Sarumpaet tak jauh berbeda dengan proses berpikir para
pejabat kita. Sarumpaet terjebak oleh data-data sekunder dan menjadikan data
itu sebagai kesimpulan, bahwa teater Indonesia sehat, tanpa melakukan refleksi
terhadap sejarah, kontekstual, dan pencapaiannya. Ini sungguh ironi yang harus
diperhatikan oleh seluruh pejabat kesenian kita, yang selalu berpikir
pragmatis. Seolah-olah yang dilihatnya sesuatu kebenaran. Padahal itu merupakan
pola kerja APS (Asal Pejabat Senang).
Asumsi saya, kenyataan teater hingga kini, seperti yang dipaparkan
Radhar, merupakan buah ketidak harmonisan antara, pekerja teater, kritikus, media
massa, pejabat kesenian, pejabat
pemerintah, dalam mengartikulasikan
pikirannya. Ketika saya bertanya pada seorang pendekar teater Indonesia
ketika berkunjung ke Surabaya,
mengenai kritikan tajam oleh sebuah media massa
nasional tentang pementasannya, dengan lantang dia mengatakan, “Apakah media
tersebut tidak bisa mencari wartawan yang lebih baik?”. Kenyataan ini
menegaskan asumsi saya hingga kini masih terjadi terik menarik kepentingan yang
cukup kuat, antara masing-masing pihak. Tetapi, jangan-jangan kita adalah
pribadi yang masokis? Mari bercermin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar