
Oleh : R Giryadi
Disampaikan untuk pelatihan
penyutradaaraan Teater Roda
Unisda Lamongan,
12 April 2009
Disampaikan untuk pelatihan
penyutradaaraan Teater Roda
Unisda Lamongan,
12 April 2009
I. Prolog
Saya pernah mendapat ‘protes’ dari teman
seprofesi di teater saat diskusi pementasan Setan
dalam Bahaya (29/1/2005) karya Tawfiq Al-Hakim yang saya sutradarai.
Menurut teman saya, mengapa saya tidak melakukan pembongkaran naskah itu,
menjadi sebentuk nilai (lain) yang
ditawarkan pada penonton. Karena menurut teman saya itu, dia sudah berkali-kali
menonton garapan Setan Dalam Bahaya dengan
bentuk yang sama, yaitu meja, buku, dan tiga actor yang menghuni sebuah ruangan
yang mirip ruang belajar.
Sekali lagi menurut teman saya hal itu
sangat tekstual. Sementara, Setan Dalam
Bahaya bisa dieksperimen sejauh mungkin, sehingga memunculkan tawaran baru,
dari pada hanya menawarkan kesumpekan karena pemaksaan seting yang tidak
memberikan keleluasaan pandangan. Sekali lagi, teman saya meminta agar
melakukan ‘eksperimentasi’ dan tidak sekedar patuh pada naskah, karena
actor-aktornya jauh masih bisa dieksplorasi.
Saya tentu berterimakasih mendapat saran
yang cukup berharga itu. Terus terang saya menaruh hormat pada saran teman saya
yang memang dalam setiap penggarapannya selalu, mencoba hal-hal yang baru.
Menurutnya mencoba hal baru itu adalah eksperimental. Dan saya menggaris bawahi
kata eksperimental itu sebagai pernyataan yang penting.
Eksperimen adalah sesuatu proses. Dan mari
kita kembalikan teater pada prosesnya. Saya memang tidak pernah percaya eksperimen
akan berhasil, karena pada dasarnya eksperimen memang menawarkan proses, dan
dasar proses itu adalah dugaan-dugaan. Sehingga eksperimentasi pada akhirnya
belum tentu menemukan hasil, tetapi harus mencoba bereksperimentasi lagi,
dengan pola dan cara yang lain, sehingga pada puncaknya akan menemukan
dugaan-dugaan itu.
Proses semacam ini pernah saya lakukan
dalam proses penggarapan Orang-orang
Bawah Tanah (1994), Aeng (1996-2000),
dan Rashomon (2000) juga Setan dalam Bahaya (1995, 2004). Saya
melakukan eksperiman bukan dalam pencarian nilai baru, mendekuntrruksi naskah
hingga menimbulkan teks baru, tetapi saya bermula dari menduga-duga beberapa
elemen artistic, actor, naskah, dan lain sebagainya, bisa menjadi bahan
pengolahan secara bersama-sama sehingga menimbulkan berbagai manfaat bagi
kelompok penggarapan.
Orang-orang
Bawah Tanah misalnya,
barangkali ini salah satu naskah saya yang mencoba dibuat dengan cara menggali
pikiran-pikiran actor, yang sebelumnya saya pahami sebagai makluk asing. Naskah
itu saya buat sejauh saya memahami idealisasi, karakter, psikologi, dan proses
sehari-hari, sehingga naskah itu (bisa) memberikan stimulasi pada actor, dan
actor tidak terbebani oleh problem aktualisasi, karena yang diperankan adalah
dirinya sendiri.
Begitu juga dalam Aeng. Saya membaca Aeng tidak
sebagai teks yang menuntun pada gaya
teaternya Putu Wijaya, tetapi saya melihat bagaimana kemungkinan kejahatan itu
bisa terjadi. Oleh sebab itu, saya menekankan pada pemahaman eksistensi manusia
dalam ranah social. Ternyata dalam Aeng,
banyak sekali muncul paradok, antara yang moral dan kejahatan, antara yang
relegius dan anti tuhan, antara borjuasi dan proletar, dan ini tidak bisa
diungkapkan dalam bentuk yang eksperimental, tetapi melaui kekuatan actor yang
memiliki latar belakang social yang sangat paradok.
Bahkan kemudian, Aeng, memunculkan berbagai kemungkinan, tidak saja bentuk, tetapi Aeng telah menjadi teks drama yang tidak
lagi monolog, tetapi segugusan kontak social antar actor, yang melatar
belakangi munculnya ungkapan hati, Alimin yang ditembak mati oleh petugas.
Dalam hal ini akhirnya saya menemukan, Nenci dan coro atau mungkin yang lainnya, yang
menghidubkan dan mematikan Alimin, bukan saja hidup dalam pikiran Alimin tetapi
benar-benar nyata. Dan ternyata sebagaimana diungkapkan Erich Fromm, jika
kecenderungan untuk tumbuh berkembang dihalangi, energi yang terhalang itu
mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang bersifat merusak.
Sifat merusak (destruktif) merupakan akibat dari tidak dihidupinya kehidupan.
Sebagaimana Alimin dalam Aeng, kondisi individual dan sosialnya
telah terhalangi untuk memajukan hidupnya. Inilah yang menghasilkan sifat
perusakan yang pada gilirannya merupakan sumber yang daripadanya memancar
berbagai bentuk kekerasan. Dan salah seorang napi Lowokwaru Malang,
mengomentari pertunjukan itu dengan mengatakan,”Itu akibatnya kalau menjadi
penjahat kalau tidak bunuh diri ya ditembak mati.” Dari sini terkesan sekali,
bahwa dunia sebab akibat dalam Aeng telah
dipahami secara seksama oleh para narapidana Lowokwaru itu.
Setan dalam Bahaya, memang sesuatu yang
tekstual. Karena naskahnya merupakan pengaruh gaya realis Mesir dengan menekankan pada
kekuatan intelektual manusia dan kekuasaan Tuhan. Pada dasarnya naskah ini
secara tekstual sudah menawarkan eksperimentasi (moral) berupa
pertanyaan-pertanyaan mendasar, dimana hakekat manusia dan dimana hakekat
setan? Dan yang paling hakiki adalah siapakah setan dan siapakah manusia? Ini
sebuah pertanyaan yang sangat filosofi, ketika kejahatan, perang, dan berbagai
kekejaman yang lain benar-benar mengharu biru.
Pertanyaan ini seakan mempertanyakan ulang
keberadaan manusia yang mengklaim dirinya sebagai makhluk paling sempurna?
Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya seperti diajak merekontruksi ulang
tentang mitos-mitos setan (makluk paling jahat), dan manusia (makluk paling
sempurna). Pertanyaan mendasar itu memunculkan dugaan, bahwa manusia sendirilah
yang pada akhirnya yang mengakibatkan rusaknya (kiamat) dunia.
Pada garapan Setan dalam Bahaya, saya sengaja menekankan segi keaktorannya.
Mengapa, hanya dengan potensi karakterisasi aktorlah yang bisa mewadahi ide
besar yang termaktub dalam teks Setan dalam Bahaya itu, sehingga saya atau
penonton bisa menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar di
atas. Berhasilkah saya?
Selain itu saya ingin melihat, sejauh mana
para actor bisa mengadopsi dan mengkritisi pikiran-pikiran dalam teks itu,
tidak hanya dalam sebuah laku dramatic saja, tetapi mendalaminya sebagai proses
dialog dengan apa yang diedialkan selama ini. Filosof dan setan yang berlatar
santri, dan istri meski berlatar santri tetapi dalam kesehariannya dia dekat
sekali dengan pemikiran sosialisme, kesetaraan jender dan lain sebagainya.
Sekali lagi, eksperimen bukan sesuatu yang
berbentuk, karena eksperimen sendiri menawarkan proses yang bersitem dan
berencana untuk membuktikan sebuah teori maupun dugaan. Dan kita bisa melakukan
eksperimen teataer itu tanpa harus terjebak dalam sebuah gagasan besar tetapi kita sendiri tergagap mengaktualisasikan.
II. Bukan Apologi
Ini bukan sebuah apoligi atas beberapa
konsep penyutradaraan yang selama ini saya terapkan selama ini. Anggaplah ini
merupakan penjabaran dari pemikiran saya tentang proses penyutradaraan. Materi
ini sengaja saya berikan dengan jalan memaparkan proses penyutradaraan saya,
karena pada dasarnya membicarakan penyutradaraan pada akhirnya membicarakan
proses sebuah versi penggarapan.
Terus terang selama saya berteater belum
menemukan konsep yang baku
tentang penyutradaraan. Hal ini dikarena selama berkecimpung di teater saya
menganggap belum mumpuni untuk menjadi seorang sutradara yang
sebenarnya.
Kali pertama ketika saya berani
menyutradari dikarena hanya persoalan teknis belaka dan persoalan structural
organesasi. Secara teknis pada saat itu saya sudah dianggap mumpuni,
sedangkan secara struktural saya termasuk yang sudah lama berada di organesasi
saya (teater Institut Surabaya). Dari sinilah saya mencoba menyutradarai.
Saat itu saya banyak membuka-buka
literartur, apa sih artinya menyutradarai? Berbagai literatur memberikan
difinisi yang jelas dan sangat mudah dipahami. Tetapi ketika semua itu saya
terapkan dalam proses penyutradaraan saya seperti terpelanting begitu jauh.
Pasalnya, semua istilah atau difinisi dalam teks seperti tak bisa menampung
berbagai persoalan yang setiap saat muncul, ketika proses penggarapan sebuah
naskah.
Saya benar-benar dibuat pusing tujuh
keliling. Dari peristiwa itu saya menyadari bahwa proses penyutradaraan
tidaklah gampang. Kalau toh ada yang menggampangkan itu urusan lain. Karena
setiap manusia pasti mempunyai persepsi sendiri-sendiri terhadap proses,
terutama proses teater.
Saya yakin, anda akan menganggap bahwa
proses penyutradaraan itu gampang. Dan mungkin itu sah-sah saja. Tetapi ketika
hal itu kita kembalikan pada faktor internal kita, ternyata kita tidak bisa
membohongi dirikita sendiri. Lalu bagaimana sih sebenarnya sebuah proses
penyutradaraan itu?
Terus terang, menyutradarai itu tidak
gampang. Kenapa? Menurut saya. Selama ini yang kita ketahui penyutradaraan itu
hanya menggarap sebuah lakon (play). Sutradara hanya bertanggung jawab terhadap
perwujudan sebuah pentas belaka. Diluar itu ia tidak tahu apa-apa.
Memang penyutradaraan kata asingnya memang director atau istilah harfiahnya memimpin. Istilah ini
berasal dari kata asing maka yang dimaksud memimpin tidaksama dengan memimpin
di Indonesia.
Perbedaan ini dikarenakan faktor budaya yang berbeda pula.
Di Indonesia tradisi yang berkembang,
seorang pemimpin itu juga seorang guru (empu) yang mendidik anak didiknya
menjadi manusia, ingat konsep pemimpin kita adalah ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa. Dan memang latar belakang budaya kita tidak
memungkinkan seorang guru hanya mligi memberikan ilmu pengetahuan.
Tetapi lebih jauh bisa menberi pengalaman batin bagi siswanya agar berkembang
menjadi manusia yang seutuhnya (lihat beberapa konsep pendidikan taman siswa
dan beberapa pondok pesantren). Artinya disini bahwa konsep pendidikan kita
adalah sistem padepokan, dimana seorang guru adalah empu yang secara lahir
batin mempunyai kewaskithaan tentang ilmu apa saja.
III. Pengalaman
Anda semua pasti pernah mengalami sebuah
penggarapan naskah. Pertanyaan saya, apakah yang anda peroleh, ketika anda
mulai membaca sebuah naskah yang disodorkan kepada anda? Apakah yang terjadi
sesaat setelah anda membaca dari keserulurahan naskah yang anda baca?
Adakah sesuatu yang membuat bergetar,
gelisah, tidak bisa tidur, anda melayang kedunia lain, bahkan sama sekali lain,
sebuah dunia yang akan anda ciptakan? Apakah anda sudah mulai mereka-reka dunia
yang akan anda buat. Ibaratnya anda sedang mencari nama, membayangkan wajah
anak pertama anda yang akan lahir, bagaimanakah nanti wataknya, dsb, dsb?
Pertanyaan itu pasti terjadi. Bakan saya
yakin, anda akan seperti menjadi orang gila, karena setiap detik dalam alam
bawah sadar, tiba-tiba anda berdialog seperti dialog tokoh yang ingin anda
ciptakan, atau tiba-tiba bergerak, menari, menyanyi, atau bahkan sambil
‘nyabun’ anda berteriak seperti tokoh yang anda ciptakan.
Pengalaman aneh itu setidaknya pernah anda
lalui sebelum proses produksi jadi seratus persen. Ibaratnya juga, anda akan
seperti menimang-nimang anak, padahal anak itu masih dalam kandungan sang
istri. Tetapi kalau daya imajinasi seorang sutradara itu tumpul, apalah gunanya
peristiwa tadi?
Lo, kenapa? Itu tadi proses awal sebelum
lahirnya sebuah karya. Ibaratnya itu tadi proses persetubuhan, proses onani,
proses percumbuan. Nah, tanpa proses ini akankah lahir seorang bayi? (tidak
tahu lagi kalau impotent)
Proses pencarian ini sangat penting,
sebelum proses yang sebenarnya terlampoi. Karena seorang sutradara pengembaraan
imajinasinya harus terus diolah, sehingga kekentalan sebuah karya itu bisa
dirasakan. Oleh sebab itu, kita harus tetap memperhatikan terjadinya
letupan-letupan emosi awal ketika kita sedang mumet memikirkan naskah. Semua
peristiwa yang terjadi kita saring, kemudian diaplikasikan dalam bentuk
latihan.
Tetapi terkadang kita terhambat dalam
aplikasi itu sendiri. Ketika kita mendapat subuah gambaran gerak seorang tokoh,
dan itu harus diaplikasikan, kenyataannya kita tidak mampu bergerak, atau
bahkan mungkin juga aktornya tidak bisa bergerak, terus bagai manana ini?
Bagi sutradara yang sedikit pengalamannya
pasti akan menemui jalan buntu. Akhibatnya mereka akan berimpromisasi
sekedarnya, yang penting terlampoi. Ketika itulah anda membuat kesalahan yang
selanjutnya anda akan mengulangi kesalahan-kesalahan lain.
IV. Sebuah versi
Lalu apa hubungannya dengan pembicaraan
kita kali ini? Begini, saya ingin berbicara menelikung terlebih dahulu, agar
anda sekalian tahu secara esensi sebuah proses penyutradaraan. Jalan menelikung
ini sengaja saya tempuh karena saya yakin anda sekalian secara teknik telah
mampu dan mungkin sebagian telah selesai. Saya tidak ingin menyinggung yang
terlalu harfiah. Karena toh hakekat penyutradaraan sebenarnya persoalan yang
sangat esensial bagi sebuah kelompok teater.
Karena sangat esensial bagi sebuah kelompok
teater, maka seorang sutradara adalah roh dari pada teater itu sendiri, walupun
sebenarnya ia dibangunatas roh-roh yang lain. Maka kita tak perlu heran bila
Bengkel Teater Rendra bermain begitu bagus. Rendra telah menghidupkan Bengkel
Teater dengan roh kesenimannya yang begitu kuat, dengan dilateri kekuatan pemahaman
tradisi.
Rendra adalah salah satu contoh dari sekian
contoh teater indonesia
yang mampu meberikan pendidikan para anggotanya dengan sistem padepokan. Hal
ini sangat kental sekali dengan latar belakang Rendra yang masih segaris
keturunan dengan keraton Sala. Ia tidak sekedar memberikan teknik-teknik
keatoran, tetapi anggota benar-benar ditempa secar alamiah untuk menjadi
manusia (bukan aktor). Rendra yakin bahwa akting seorang aktor akan hidup
karena digerakan oleh sukma. Maka latihan yang sangat mendasar bagi seorang
aktor adalah melatih sukma. Ajaran Stanilavsky ia adopsi menjadi materi yang
benar-benar menukik ke aspek mitos-mitos tradisi yang sangat kental di
lingkungan Rendra.
Berbeda Rendra berbeda pula Gandrik. Teater
Gandrik berkembang sangat cerdik, dalam mengantisipasi zaman. Teater yang lahir
dari acara kecamatan ini, muncul bukan atas desakan karekater sebuah kelompok
teaer yang berwibawa seperti BTR, Kecil, Populer, Sendiri, Koma, Saja dllnya,
melainkan oleh keterdesakan zaman, bahwa teater Gandrik harus lahir sebagai
teater sampakan, yang mengedepakan aktualitas zaman.
Maka ketika kali pertama muncul, Gandrik
langsung digandrungi, karena keunikannya, keanehannya, dan sikapnya yang
merakyat, ceplas-ceplos, bahkan yang lebur dengan penonton.
Sikap ini sengaja dipilih Grandrik, karena
memang aura zaman sedang mendesakan materi yang demikian, maka munculah,
kelompok-kelompok kesenian plesetan ala Gandrik.
Aura zaman Gandrik dengan BTR jelas
berbeda, maka ketika kita membedakan , Gandrik lebih mengedepankan
demokratisasi dalam proses. Di dalam tidak ada kasta, walaupun ada sutradara,
penulis naskah dllnya. Mereka mengembangkan proses secara bersama-sama. Hal ini
dikarena diantera anggotanya mempunyai kopentesi yang rata-rata. Dan tampaknya
mereka mendekatkan diri dengan gaya
prosesnya teater tradisional, dimana karakter tokoh, permainan, dsbnya
diberikan sebebasnya berkembang secara wajar, dan sesuai kemampuan para pemain.
Oleh sebab itu, impromisasi menjadi sangat penting bagi Gandrik.
Tetapi bagi BTR aktor harus berkembang
sesuai dengan karakter yang dibawakan, dimana perkembangan psikologis aktor
sangat diperhatikan. Aktor tidak bertindak semaunya sendiri. Semua dihitung
atas dasar takaran, adegan, atau perkembangan dramatic linenya.
Berbeda sekali dengan kasus Gandrik.
Dramatik line bisa berubah-ubah tanpa garafik yang jelas. Bahkan munhgkin dalam
satu pertunjukan grafik itu datar, segar, gergeran, dan nggandriki.
Jadi perbedaan keduannya adalah pada,
pertama Gandrik menciptakan tokoh-tokoh tipologis, sementra BTR psikologis.
Kedua, perwujudan pementasannya gandrik lebih cair, familier, sangat dekat
dengan penonton. BTR kental, dan berjarak. Hasilnya, baik Gandrik maupun BTR
menghadirkan sebuah versi penyutradaraan.
V. Versi lain
Apakah dengan demikian teater Indonesia
adalah teater yang tumbuh sebagai teater sutradara? Kalau jawabnya ya, hal itu
dikarenakan teater Indonesia
tumbuh dari dua sebab, seperti budaya kita yang dibentuk oleh semacam wacana
kepemimpinan. Seperti yang terjadi di BTR, Rendra cukup punya peran untuk
mengarahkan kelompok teaternya. Begitu juga kelompok-kelompok teater
seangkatannya.
Dalam otak kita ada semacam
pola kepemimpinan yang terus-terusan bekerja dalam menilai sesuatu. Maka ketika
berhadapan dengan teater sebagai sebuah tim, wacana kepemimpinan itu bekerja,
kita selalu mencari siapa yang menjadi komandan di teater ini. Siapa yang
menjadi pemimpinnya. Itu yang membuat sutradara dikukuhkan sebagai
segala-galanya dalam teater?
Kedua, kebanyakan kritik
teater, atau ulasan-ulasan mengenai teater, laporan mengenai teater, aktor
hampir selalu dinomor sekiankan. Penulis-penulis teater lebih banyak
membecarakan sutradara, dan setelah itu gagasan. Aktor tidak. Artinya, hampir
seluruh kritik teater kita, ulasan-ulasan teater kita, sebenarnya adalah sebuah
laporan tanpa teater. Maka pada periode berikutnya, diawali dengan tumbuhnya
teater tubuh, muncul tentang pemahaman ‘baru’ tentang sutradara.
Sekarang marilah kita mencoba
mengidentifikasi lewat fenomena tubuh dalam dunia teater kita dewasa ini. Apa
yang terjadi dalam fenomena tubuh aktor dalam dunia teater. Apakah fenomena
tubuh itu bisa untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan? Dalam dunia teater
aktor berdiri tegak berhadapan dengan penonton, tetapi apa sebenarnya yang diubah
oleh teater. Inilah terutama yang menarik pada teater. Teater telah mengubah
dua hal secara institusional.
Pertama, teater telah mengubah
teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang
dinyatakan. Kedua, teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini
radikal. Lebih lagi tubuh bisa dilihat sebagai kebudayaan, dengan relasi sosial
politik, dan ekonomi yang berlangsung di sekitarnya. Akting dalam fenomena
ketubuhan seperti ini, berada dalam tantangan di dalam kisi mata sebagai suatu
personifikasi untuk menjalankan pemeranan.
Tetapi lebih dari itu,
menemukan dalam tubuh teks dengan cara baru. Lewat gambaran itu pula, aktor
sebenarnya menurunkan aktingnya dalam ketegangan antara tubuh nature dengan
tubuh budaya yang dihadapinya. Yang satu berada pada dirinya sendiri, yang lain
di luarnya dan ikut juga membentuknya. Keduanya kadang-kadang berhubungan
sebagai rejim kekuasaan wacana, yang melakukan personifikasi dengan cara keras.
Pertunjukkan-pertunjukkan itu jaya, yang banyak menggunakan aksi-aksi manusia
bergerombol misalnya, memperlihatkan kekerasan personifikasi seperti itu.
Kemampuan individu telah dicurigai sedemikian rupa sebagaimana naskah Aduh,
Putu Wijaya yang mempresentasikan manusia gerombolan yang telah mempermainkan
dunia individu yang sedang sakit.
Dalam pertunjukkan-pertunjukkan
Putu dengan Teater Mandiri-nya, manusia memang telah menjadi gerombolan.
Menggunakan kostum berlapis-lapis, dan warna-warni mengeluarkan suara keras dan
bloking-bloking yang bergulir di atas bidang pentas pertunjukkannya.
Representasi seperti ini memperlihatkan, bagaimana manusia telah kehilangan
kepercayaannya untuk didengar dan dilihat.
Dalam hal ini teater tubuh
memang patut dilepaskan dari keluarganya, dari negara dan tanah airnya. Lalu dimasukkan
dalam gudang sumpek yang menjadi manifestasi dari kebanyakan pentas teater,
menjadi teater yang murni. Aktor bukan lagi manusia-manusia tampan dan cantik.
Seperti pada teater-teater opera bangsawan. Manusia juga bukan lagi aktor yang
memerankan tokoh-tokoh besar dari sejarah besar, yang memiliki kerajaan atau
partai-partai. Sebagian besar manusia di Indonesia adalah petani dan buruh
tanpa partai. Akting seakan-akan memang diturunkan dari masyarakat tanpa
kerajaan dan tanpa partai.
Akting di sini seakan-akan
telah menjadi pernyataan, bahwa manusia telah cacat. Dalam kebanyakan
pertunjukkan-pertunjukkan teater Kecil yang disutradai oleh Arifin C Noer
sendiri, prosedur akting seperti ini cenderung diturunkan dalam dua pola.
Membara atau menghanyutkan, yang diturunkan dalam irama-irama kontras, penuh
konflik sakartis. Amak Barjun adalah aktor Teater Kecil yang banyak memberikan
warna pada acting yang membara dan menghanyutkan itu. Yang sering sangat
eksotis pada warna vokalnya yang bergetar.
Personikasi baru berlangsung
dalam tubuh aktor dalam pemeranan teater menjadi tubuh budaya yang melampaui
tubuh naturalnya sendiri, dalam melakukan personifikasi. Maka personifikasi
untuk akting yang berlangsung pada pertunjukkan, yang menuntaskan naskah dengan
kandungan besar. Terutama pada drama-drama epik, politik atau mistik.
Narasi-narasi besar itu biasanya didistribusi oleh sejarah maupun legenda yang
melampaui penglaman empiris aktor maupun penonton.
“Apapun pilihanku, toh aku akan
ditembak,” kata Monserat dalam
dramaEmanuel Robert. Atau seperti yang diucapkan tokoh Jumena Martawangsa
(Sumur Tanpa Dasar, Arifin C Noor), “Kalau saya bunuh diri, maka drama itu
tidak akan pernah berlangsung!”
Tubuh dalam gambaran itu
seperti naskah Bui-nya Akhudiat atau Aeng-nya Putu Wijaya. Yang setiap saat
berusaha menghadirkan tubuh-tubuh bebas ada di luar penjara untuk tetap bisa
menghayati kebebasan. Sementara tubuh empirisnya sendiri berada dalam sel
tahanan dipaksa menyesuaikan diri mengikuti dunia pemikiran. Yang lebih mampu
melakukan transedensi keluar bilik penjara. Sementara dia tertahan sebagai
tubuhnya sendiri dalam penjara. Tubuh dalam gambaran terpenjara ini, adalah
tubuh yang tidak mampu memasuki pengalaman orang lain. Sumber eksistensinya,
seakan-akan tidak berada melalui transedensi yang abstrak. Tetapi melalui
imanensi yang kongkrit dan memesis.
Kenyataan ini, tergambar dalam
serangkaian sejarah Teater Indonesia. Teater Indonesia adalah teater yang perkembangannya banyak
dilampui narasi besar itu. Tubuh orang Barat, sejarah orang Barat, kebudayaan
orang Barat, pikiran orang Barat, adalah satu bentangan neraka personifikasi
bagi kebanyakan aktor yang memerankannya. Akibatnya dalam rentang sejarah kita
berkelebatan berbagai versi penyutradaraan baik itu yang bersifat padepokan,
maupun yang lebih egaliter. Dan berbagai versi itu menurut hemat saya sebuah
kekuatan. Lalu bagaimana dengan kita? Mengapa Anda masih melipat tangan? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar