Halaman

Kamis, 21 Juni 2012

PENYUTRADARAAN

(Sebuah Pemberontakan Tiada Akhir) 
Oleh : R Giryadi 
Disampaikan untuk pelatihan
penyutradaaraan Teater Roda
Unisda Lamongan, 
12 April 2009


I. Prolog
Saya pernah mendapat ‘protes’ dari teman seprofesi di teater saat diskusi pementasan Setan dalam Bahaya (29/1/2005) karya Tawfiq Al-Hakim yang saya sutradarai. Menurut teman saya, mengapa saya tidak melakukan pembongkaran naskah itu, menjadi sebentuk nilai (lain) yang  ditawarkan pada penonton. Karena menurut teman saya itu, dia sudah berkali-kali menonton garapan Setan Dalam Bahaya dengan bentuk yang sama, yaitu meja, buku, dan tiga actor yang menghuni sebuah ruangan yang mirip ruang belajar.
Sekali lagi menurut teman saya hal itu sangat tekstual. Sementara, Setan Dalam Bahaya bisa dieksperimen sejauh mungkin, sehingga memunculkan tawaran baru, dari pada hanya menawarkan kesumpekan karena pemaksaan seting yang tidak memberikan keleluasaan pandangan. Sekali lagi, teman saya meminta agar melakukan ‘eksperimentasi’ dan tidak sekedar patuh pada naskah, karena actor-aktornya jauh masih bisa dieksplorasi.
Saya tentu berterimakasih mendapat saran yang cukup berharga itu. Terus terang saya menaruh hormat pada saran teman saya yang memang dalam setiap penggarapannya selalu, mencoba hal-hal yang baru. Menurutnya mencoba hal baru itu adalah eksperimental. Dan saya menggaris bawahi kata eksperimental itu sebagai pernyataan yang penting.
Eksperimen adalah sesuatu proses. Dan mari kita kembalikan teater pada prosesnya. Saya memang tidak pernah percaya eksperimen akan berhasil, karena pada dasarnya eksperimen memang menawarkan proses, dan dasar proses itu adalah dugaan-dugaan. Sehingga eksperimentasi pada akhirnya belum tentu menemukan hasil, tetapi harus mencoba bereksperimentasi lagi, dengan pola dan cara yang lain, sehingga pada puncaknya akan menemukan dugaan-dugaan itu.
Proses semacam ini pernah saya lakukan dalam proses penggarapan Orang-orang Bawah Tanah (1994), Aeng (1996-2000), dan Rashomon (2000) juga Setan dalam Bahaya (1995, 2004). Saya melakukan eksperiman bukan dalam pencarian nilai baru, mendekuntrruksi naskah hingga menimbulkan teks baru, tetapi saya bermula dari menduga-duga beberapa elemen artistic, actor, naskah, dan lain sebagainya, bisa menjadi bahan pengolahan secara bersama-sama sehingga menimbulkan berbagai manfaat bagi kelompok penggarapan.
Orang-orang Bawah Tanah misalnya, barangkali ini salah satu naskah saya yang mencoba dibuat dengan cara menggali pikiran-pikiran actor, yang sebelumnya saya pahami sebagai makluk asing. Naskah itu saya buat sejauh saya memahami idealisasi, karakter, psikologi, dan proses sehari-hari, sehingga naskah itu (bisa) memberikan stimulasi pada actor, dan actor tidak terbebani oleh problem aktualisasi, karena yang diperankan adalah dirinya sendiri.
Begitu juga dalam Aeng. Saya membaca Aeng tidak sebagai teks yang menuntun pada gaya teaternya Putu Wijaya, tetapi saya melihat bagaimana kemungkinan kejahatan itu bisa terjadi. Oleh sebab itu, saya menekankan pada pemahaman eksistensi manusia dalam ranah social. Ternyata dalam Aeng, banyak sekali muncul paradok, antara yang moral dan kejahatan, antara yang relegius dan anti tuhan, antara borjuasi dan proletar, dan ini tidak bisa diungkapkan dalam bentuk yang eksperimental, tetapi melaui kekuatan actor yang memiliki latar belakang social yang sangat paradok.
Bahkan kemudian, Aeng, memunculkan berbagai kemungkinan, tidak saja bentuk, tetapi Aeng telah menjadi teks drama yang tidak lagi monolog, tetapi segugusan kontak social antar actor, yang melatar belakangi munculnya ungkapan hati, Alimin yang ditembak mati oleh petugas. Dalam hal ini akhirnya saya menemukan, Nenci dan coro atau mungkin yang lainnya, yang menghidubkan dan mematikan Alimin, bukan saja hidup dalam pikiran Alimin tetapi benar-benar nyata. Dan ternyata sebagaimana diungkapkan Erich Fromm, jika kecenderungan untuk tumbuh berkembang dihalangi, energi yang terhalang itu mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang bersifat merusak. Sifat merusak (destruktif) merupakan akibat dari tidak dihidupinya kehidupan.
Sebagaimana Alimin dalam Aeng, kondisi individual dan sosialnya telah terhalangi untuk memajukan hidupnya. Inilah yang menghasilkan sifat perusakan yang pada gilirannya merupakan sumber yang daripadanya memancar berbagai bentuk kekerasan. Dan salah seorang napi Lowokwaru Malang, mengomentari pertunjukan itu dengan mengatakan,”Itu akibatnya kalau menjadi penjahat kalau tidak bunuh diri ya ditembak mati.” Dari sini terkesan sekali, bahwa dunia sebab akibat dalam Aeng telah dipahami secara seksama oleh para narapidana Lowokwaru itu.
Setan dalam Bahaya, memang sesuatu yang tekstual. Karena naskahnya merupakan pengaruh gaya realis Mesir dengan menekankan pada kekuatan intelektual manusia dan kekuasaan Tuhan. Pada dasarnya naskah ini secara tekstual sudah menawarkan eksperimentasi (moral) berupa pertanyaan-pertanyaan mendasar, dimana hakekat manusia dan dimana hakekat setan? Dan yang paling hakiki adalah siapakah setan dan siapakah manusia? Ini sebuah pertanyaan yang sangat filosofi, ketika kejahatan, perang, dan berbagai kekejaman yang lain benar-benar mengharu biru.
Pertanyaan ini seakan mempertanyakan ulang keberadaan manusia yang mengklaim dirinya sebagai makhluk paling sempurna? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya seperti diajak merekontruksi ulang tentang mitos-mitos setan (makluk paling jahat), dan manusia (makluk paling sempurna). Pertanyaan mendasar itu memunculkan dugaan, bahwa manusia sendirilah yang pada akhirnya yang mengakibatkan rusaknya (kiamat) dunia.
Pada garapan Setan dalam Bahaya, saya sengaja menekankan segi keaktorannya. Mengapa, hanya dengan potensi karakterisasi aktorlah yang bisa mewadahi ide besar yang termaktub dalam teks Setan dalam Bahaya itu, sehingga saya atau penonton bisa menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas. Berhasilkah saya?
Selain itu saya ingin melihat, sejauh mana para actor bisa mengadopsi dan mengkritisi pikiran-pikiran dalam teks itu, tidak hanya dalam sebuah laku dramatic saja, tetapi mendalaminya sebagai proses dialog dengan apa yang diedialkan selama ini. Filosof dan setan yang berlatar santri, dan istri meski berlatar santri tetapi dalam kesehariannya dia dekat sekali dengan pemikiran sosialisme, kesetaraan jender dan lain sebagainya.
Sekali lagi, eksperimen bukan sesuatu yang berbentuk, karena eksperimen sendiri menawarkan proses yang bersitem dan berencana untuk membuktikan sebuah teori maupun dugaan. Dan kita bisa melakukan eksperimen teataer itu tanpa harus terjebak dalam sebuah gagasan besar tetapi  kita sendiri tergagap mengaktualisasikan.
           
II. Bukan Apologi
Ini bukan sebuah apoligi atas beberapa konsep penyutradaraan yang selama ini saya terapkan selama ini. Anggaplah ini merupakan penjabaran dari pemikiran saya tentang proses penyutradaraan. Materi ini sengaja saya berikan dengan jalan memaparkan proses penyutradaraan saya, karena pada dasarnya membicarakan penyutradaraan pada akhirnya membicarakan proses sebuah versi penggarapan.
Terus terang selama saya berteater belum menemukan konsep yang baku tentang penyutradaraan. Hal ini dikarena selama berkecimpung di teater saya menganggap belum mumpuni untuk menjadi seorang sutradara yang sebenarnya.
Kali pertama ketika saya berani menyutradari dikarena hanya persoalan teknis belaka dan persoalan structural organesasi. Secara teknis pada saat itu saya sudah dianggap mumpuni, sedangkan secara struktural saya termasuk yang sudah lama berada di organesasi saya (teater Institut Surabaya). Dari sinilah saya mencoba menyutradarai.
Saat itu saya banyak membuka-buka literartur, apa sih artinya menyutradarai? Berbagai literatur memberikan difinisi yang jelas dan sangat mudah dipahami. Tetapi ketika semua itu saya terapkan dalam proses penyutradaraan saya seperti terpelanting begitu jauh. Pasalnya, semua istilah atau difinisi dalam teks seperti tak bisa menampung berbagai persoalan yang setiap saat muncul, ketika proses penggarapan sebuah naskah.
Saya benar-benar dibuat pusing tujuh keliling. Dari peristiwa itu saya menyadari bahwa proses penyutradaraan tidaklah gampang. Kalau toh ada yang menggampangkan itu urusan lain. Karena setiap manusia pasti mempunyai persepsi sendiri-sendiri terhadap proses, terutama proses teater.
Saya yakin, anda akan menganggap bahwa proses penyutradaraan itu gampang. Dan mungkin itu sah-sah saja. Tetapi ketika hal itu kita kembalikan pada faktor internal kita, ternyata kita tidak bisa membohongi dirikita sendiri. Lalu bagaimana sih sebenarnya sebuah proses penyutradaraan itu?
Terus terang, menyutradarai itu tidak gampang. Kenapa? Menurut saya. Selama ini yang kita ketahui penyutradaraan itu hanya menggarap sebuah lakon (play). Sutradara hanya bertanggung jawab terhadap perwujudan sebuah pentas belaka. Diluar itu ia tidak tahu apa-apa.
Memang penyutradaraan kata asingnya memang director  atau istilah harfiahnya memimpin. Istilah ini berasal dari kata asing maka yang dimaksud memimpin tidaksama dengan memimpin di Indonesia. Perbedaan ini dikarenakan faktor budaya yang berbeda pula.
Di Indonesia tradisi yang berkembang, seorang pemimpin itu juga seorang guru (empu) yang mendidik anak didiknya menjadi manusia, ingat konsep pemimpin kita adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa. Dan memang latar belakang budaya kita tidak memungkinkan seorang guru hanya mligi memberikan ilmu pengetahuan. Tetapi lebih jauh bisa menberi pengalaman batin bagi siswanya agar berkembang menjadi manusia yang seutuhnya (lihat beberapa konsep pendidikan taman siswa dan beberapa pondok pesantren). Artinya disini bahwa konsep pendidikan kita adalah sistem padepokan, dimana seorang guru adalah empu yang secara lahir batin mempunyai kewaskithaan tentang ilmu apa saja.

III. Pengalaman
Anda semua pasti pernah mengalami sebuah penggarapan naskah. Pertanyaan saya, apakah yang anda peroleh, ketika anda mulai membaca sebuah naskah yang disodorkan kepada anda? Apakah yang terjadi sesaat setelah anda membaca dari keserulurahan naskah yang anda baca?
Adakah sesuatu yang membuat bergetar, gelisah, tidak bisa tidur, anda melayang kedunia lain, bahkan sama sekali lain, sebuah dunia yang akan anda ciptakan? Apakah anda sudah mulai mereka-reka dunia yang akan anda buat. Ibaratnya anda sedang mencari nama, membayangkan wajah anak pertama anda yang akan lahir, bagaimanakah nanti wataknya, dsb, dsb?
Pertanyaan itu pasti terjadi. Bakan saya yakin, anda akan seperti menjadi orang gila, karena setiap detik dalam alam bawah sadar, tiba-tiba anda berdialog seperti dialog tokoh yang ingin anda ciptakan, atau tiba-tiba bergerak, menari, menyanyi, atau bahkan sambil ‘nyabun’ anda berteriak seperti tokoh yang anda ciptakan.
Pengalaman aneh itu setidaknya pernah anda lalui sebelum proses produksi jadi seratus persen. Ibaratnya juga, anda akan seperti menimang-nimang anak, padahal anak itu masih dalam kandungan sang istri. Tetapi kalau daya imajinasi seorang sutradara itu tumpul, apalah gunanya peristiwa tadi?
Lo, kenapa? Itu tadi proses awal sebelum lahirnya sebuah karya. Ibaratnya itu tadi proses persetubuhan, proses onani, proses percumbuan. Nah, tanpa proses ini akankah lahir seorang bayi? (tidak tahu lagi kalau impotent)
Proses pencarian ini sangat penting, sebelum proses yang sebenarnya terlampoi. Karena seorang sutradara pengembaraan imajinasinya harus terus diolah, sehingga kekentalan sebuah karya itu bisa dirasakan. Oleh sebab itu, kita harus tetap memperhatikan terjadinya letupan-letupan emosi awal ketika kita sedang mumet memikirkan naskah. Semua peristiwa yang terjadi kita saring, kemudian diaplikasikan dalam bentuk latihan.
Tetapi terkadang kita terhambat dalam aplikasi itu sendiri. Ketika kita mendapat subuah gambaran gerak seorang tokoh, dan itu harus diaplikasikan, kenyataannya kita tidak mampu bergerak, atau bahkan mungkin juga aktornya tidak bisa bergerak, terus bagai manana ini?
Bagi sutradara yang sedikit pengalamannya pasti akan menemui jalan buntu. Akhibatnya mereka akan berimpromisasi sekedarnya, yang penting terlampoi. Ketika itulah anda membuat kesalahan yang selanjutnya anda akan mengulangi kesalahan-kesalahan lain.
           
IV. Sebuah versi
Lalu apa hubungannya dengan pembicaraan kita kali ini? Begini, saya ingin berbicara menelikung terlebih dahulu, agar anda sekalian tahu secara esensi sebuah proses penyutradaraan. Jalan menelikung ini sengaja saya tempuh karena saya yakin anda sekalian secara teknik telah mampu dan mungkin sebagian telah selesai. Saya tidak ingin menyinggung yang terlalu harfiah. Karena toh hakekat penyutradaraan sebenarnya persoalan yang sangat esensial bagi sebuah kelompok teater.
Karena sangat esensial bagi sebuah kelompok teater, maka seorang sutradara adalah roh dari pada teater itu sendiri, walupun sebenarnya ia dibangunatas roh-roh yang lain. Maka kita tak perlu heran bila Bengkel Teater Rendra bermain begitu bagus. Rendra telah menghidupkan Bengkel Teater dengan roh kesenimannya yang begitu kuat, dengan dilateri kekuatan pemahaman tradisi.
Rendra adalah salah satu contoh dari sekian contoh teater indonesia yang mampu meberikan pendidikan para anggotanya dengan sistem padepokan. Hal ini sangat kental sekali dengan latar belakang Rendra yang masih segaris keturunan dengan keraton Sala. Ia tidak sekedar memberikan teknik-teknik keatoran, tetapi anggota benar-benar ditempa secar alamiah untuk menjadi manusia (bukan aktor). Rendra yakin bahwa akting seorang aktor akan hidup karena digerakan oleh sukma. Maka latihan yang sangat mendasar bagi seorang aktor adalah melatih sukma. Ajaran Stanilavsky ia adopsi menjadi materi yang benar-benar menukik ke aspek mitos-mitos tradisi yang sangat kental di lingkungan Rendra.
Berbeda Rendra berbeda pula Gandrik. Teater Gandrik berkembang sangat cerdik, dalam mengantisipasi zaman. Teater yang lahir dari acara kecamatan ini, muncul bukan atas desakan karekater sebuah kelompok teaer yang berwibawa seperti BTR, Kecil, Populer, Sendiri, Koma, Saja dllnya, melainkan oleh keterdesakan zaman, bahwa teater Gandrik harus lahir sebagai teater sampakan, yang mengedepakan aktualitas zaman.
Maka ketika kali pertama muncul, Gandrik langsung digandrungi, karena keunikannya, keanehannya, dan sikapnya yang merakyat, ceplas-ceplos, bahkan yang lebur dengan penonton.
Sikap ini sengaja dipilih Grandrik, karena memang aura zaman sedang mendesakan materi yang demikian, maka munculah, kelompok-kelompok kesenian plesetan ala Gandrik.
Aura zaman Gandrik dengan BTR jelas berbeda, maka ketika kita membedakan , Gandrik lebih mengedepankan demokratisasi dalam proses. Di dalam tidak ada kasta, walaupun ada sutradara, penulis naskah dllnya. Mereka mengembangkan proses secara bersama-sama. Hal ini dikarena diantera anggotanya mempunyai kopentesi yang rata-rata. Dan tampaknya mereka mendekatkan diri dengan gaya prosesnya teater tradisional, dimana karakter tokoh, permainan, dsbnya diberikan sebebasnya berkembang secara wajar, dan sesuai kemampuan para pemain. Oleh sebab itu, impromisasi menjadi sangat penting bagi Gandrik.
Tetapi bagi BTR aktor harus berkembang sesuai dengan karakter yang dibawakan, dimana perkembangan psikologis aktor sangat diperhatikan. Aktor tidak bertindak semaunya sendiri. Semua dihitung atas dasar takaran, adegan, atau perkembangan dramatic linenya.
Berbeda sekali dengan kasus Gandrik. Dramatik line bisa berubah-ubah tanpa garafik yang jelas. Bahkan munhgkin dalam satu pertunjukan grafik itu datar, segar, gergeran, dan  nggandriki.
Jadi perbedaan keduannya adalah pada, pertama Gandrik menciptakan tokoh-tokoh tipologis, sementra BTR psikologis. Kedua, perwujudan pementasannya gandrik lebih cair, familier, sangat dekat dengan penonton. BTR kental, dan berjarak. Hasilnya, baik Gandrik maupun BTR menghadirkan sebuah versi penyutradaraan.

V. Versi lain
Apakah dengan demikian teater Indonesia adalah teater yang tumbuh sebagai teater sutradara? Kalau jawabnya ya, hal itu dikarenakan teater Indonesia tumbuh dari dua sebab, seperti budaya kita yang dibentuk oleh semacam wacana kepemimpinan. Seperti yang terjadi di BTR, Rendra cukup punya peran untuk mengarahkan kelompok teaternya. Begitu juga kelompok-kelompok teater seangkatannya.
Dalam otak kita ada semacam pola kepemimpinan yang terus-terusan bekerja dalam menilai sesuatu. Maka ketika berhadapan dengan teater sebagai sebuah tim, wacana kepemimpinan itu bekerja, kita selalu mencari siapa yang menjadi komandan di teater ini. Siapa yang menjadi pemimpinnya. Itu yang membuat sutradara dikukuhkan sebagai segala-galanya dalam teater?
Kedua, kebanyakan kritik teater, atau ulasan-ulasan mengenai teater, laporan mengenai teater, aktor hampir selalu dinomor sekiankan. Penulis-penulis teater lebih banyak membecarakan sutradara, dan setelah itu gagasan. Aktor tidak. Artinya, hampir seluruh kritik teater kita, ulasan-ulasan teater kita, sebenarnya adalah sebuah laporan tanpa teater. Maka pada periode berikutnya, diawali dengan tumbuhnya teater tubuh, muncul tentang pemahaman ‘baru’ tentang sutradara.
Sekarang marilah kita mencoba mengidentifikasi lewat fenomena tubuh dalam dunia teater kita dewasa ini. Apa yang terjadi dalam fenomena tubuh aktor dalam dunia teater. Apakah fenomena tubuh itu bisa untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan? Dalam dunia teater aktor berdiri tegak berhadapan dengan penonton, tetapi apa sebenarnya yang diubah oleh teater. Inilah terutama yang menarik pada teater. Teater telah mengubah dua hal secara institusional.
Pertama, teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang dinyatakan. Kedua, teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini radikal. Lebih lagi tubuh bisa dilihat sebagai kebudayaan, dengan relasi sosial politik, dan ekonomi yang berlangsung di sekitarnya. Akting dalam fenomena ketubuhan seperti ini, berada dalam tantangan di dalam kisi mata sebagai suatu personifikasi untuk menjalankan pemeranan.
Tetapi lebih dari itu, menemukan dalam tubuh teks dengan cara baru. Lewat gambaran itu pula, aktor sebenarnya menurunkan aktingnya dalam ketegangan antara tubuh nature dengan tubuh budaya yang dihadapinya. Yang satu berada pada dirinya sendiri, yang lain di luarnya dan ikut juga membentuknya. Keduanya kadang-kadang berhubungan sebagai rejim kekuasaan wacana, yang melakukan personifikasi dengan cara keras. Pertunjukkan-pertunjukkan itu jaya, yang banyak menggunakan aksi-aksi manusia bergerombol misalnya, memperlihatkan kekerasan personifikasi seperti itu. Kemampuan individu telah dicurigai sedemikian rupa sebagaimana naskah Aduh, Putu Wijaya yang mempresentasikan manusia gerombolan yang telah mempermainkan dunia individu yang sedang sakit.
Dalam pertunjukkan-pertunjukkan Putu dengan Teater Mandiri-nya, manusia memang telah menjadi gerombolan. Menggunakan kostum berlapis-lapis, dan warna-warni mengeluarkan suara keras dan bloking-bloking yang bergulir di atas bidang pentas pertunjukkannya. Representasi seperti ini memperlihatkan, bagaimana manusia telah kehilangan kepercayaannya untuk didengar dan dilihat.
Dalam hal ini teater tubuh memang patut dilepaskan dari keluarganya, dari negara dan tanah airnya. Lalu dimasukkan dalam gudang sumpek yang menjadi manifestasi dari kebanyakan pentas teater, menjadi teater yang murni. Aktor bukan lagi manusia-manusia tampan dan cantik. Seperti pada teater-teater opera bangsawan. Manusia juga bukan lagi aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar dari sejarah besar, yang memiliki kerajaan atau partai-partai. Sebagian besar manusia di Indonesia adalah petani dan buruh tanpa partai. Akting seakan-akan memang diturunkan dari masyarakat tanpa kerajaan dan tanpa partai.
Akting di sini seakan-akan telah menjadi pernyataan, bahwa manusia telah cacat. Dalam kebanyakan pertunjukkan-pertunjukkan teater Kecil yang disutradai oleh Arifin C Noer sendiri, prosedur akting seperti ini cenderung diturunkan dalam dua pola. Membara atau menghanyutkan, yang diturunkan dalam irama-irama kontras, penuh konflik sakartis. Amak Barjun adalah aktor Teater Kecil yang banyak memberikan warna pada acting yang membara dan menghanyutkan itu. Yang sering sangat eksotis pada warna vokalnya yang bergetar.
Personikasi baru berlangsung dalam tubuh aktor dalam pemeranan teater menjadi tubuh budaya yang melampaui tubuh naturalnya sendiri, dalam melakukan personifikasi. Maka personifikasi untuk akting yang berlangsung pada pertunjukkan, yang menuntaskan naskah dengan kandungan besar. Terutama pada drama-drama epik, politik atau mistik. Narasi-narasi besar itu biasanya didistribusi oleh sejarah maupun legenda yang melampaui penglaman empiris aktor maupun penonton.
“Apapun pilihanku, toh aku akan ditembak,”  kata Monserat dalam dramaEmanuel Robert. Atau seperti yang diucapkan tokoh Jumena Martawangsa (Sumur Tanpa Dasar, Arifin C Noor), “Kalau saya bunuh diri, maka drama itu tidak akan pernah berlangsung!” 
Tubuh dalam gambaran itu seperti naskah Bui-nya Akhudiat atau Aeng-nya Putu Wijaya. Yang setiap saat berusaha menghadirkan tubuh-tubuh bebas ada di luar penjara untuk tetap bisa menghayati kebebasan. Sementara tubuh empirisnya sendiri berada dalam sel tahanan dipaksa menyesuaikan diri mengikuti dunia pemikiran. Yang lebih mampu melakukan transedensi keluar bilik penjara. Sementara dia tertahan sebagai tubuhnya sendiri dalam penjara. Tubuh dalam gambaran terpenjara ini, adalah tubuh yang tidak mampu memasuki pengalaman orang lain. Sumber eksistensinya, seakan-akan tidak berada melalui transedensi yang abstrak. Tetapi melalui imanensi yang kongkrit dan memesis.
Kenyataan ini, tergambar dalam serangkaian sejarah Teater Indonesia. Teater Indonesia  adalah teater yang perkembangannya banyak dilampui narasi besar itu. Tubuh orang Barat, sejarah orang Barat, kebudayaan orang Barat, pikiran orang Barat, adalah satu bentangan neraka personifikasi bagi kebanyakan aktor yang memerankannya. Akibatnya dalam rentang sejarah kita berkelebatan berbagai versi penyutradaraan baik itu yang bersifat padepokan, maupun yang lebih egaliter. Dan berbagai versi itu menurut hemat saya sebuah kekuatan. Lalu bagaimana dengan kita? Mengapa Anda masih melipat tangan? ***

Tidak ada komentar: