Oleh : R Giryadi
Sebuah kursi tua tergantung.
Pucat. Tapi angkuh! Seseorang dengan nada sekenanya menyanyi-nyanyi tanpa
beban. Ia seorang pemuda. Dengan pakaian sekenanya. Tanpa menenteng apa-apa,
selain megaphone. Tiba-tiba ia ngomong seperti orang meracu.
1. SESEORANG
Saudara-saudara, saya disini tidak akan melakukan
orasi. Saya juga tidak melakukan provokasi. Ini tidak ada kaitannya dengan
demo-demo, meski saya membawa megaphone. Ini alat untuk saya berbicara agar
saudara-saudara mendengar. Karena sekarang sudah banyak orang yang telinganya
pada budge! Bukan karena apa, tetapi sok mbudeg, alias ‘emang gue pikirin!’
Saya sengaja membawa alat ini agar suara saya
didengar. Sebagai generasi masa depan suara saya harus didengar. Harus! Tidak
bisa ditawar-tawar. Kalau mau nawar, asal harganya cocok ndak papa. Eh, jangan
salah sangka lagi. Masalah harga tidak meski berhubungan dengan uang, tetapi
harga diri juga bisa kan?
Ya, memang saya datang ke ruangan ini atau tepatnya di
rumah bapak saya ini karena masalah harga diri. Harga diri saya dilemahkan.
Suara anak tak pernah digubris oleh bapak yang sudah keenakan ongkang-ongkang
di kursi goyang. Semakin dibiarkan, semakin mengakar. Ia tak pernah
menghiraukan suara saya, sebagai anaknya. Sebagai manusia, harga diri saya
merasa dilecehkan.
Berbagai cara sudah saya lakukan. Tetapi buntu. Karena
telinga bapak sudah terlalu bebal untuk mendengar kritik, saran, apalagi
permintaan. Ini penyakit orang sudah keenakan berkuasa. Tidak mau diusik.
Tetapi terus terang saudara, kehadiran saya di sini
hanya ingin menggugat. Menggugat bapak yang semakin hari polahnya semakin
menjengkelkan. Saya ingin ada perubahan pada diri saya, dan juga bapak saya
yang selama ini hanya duduk ongkang-ongkan, memarahi saya dan ibu saya.
Sementara ibu hanya diam. Tak pernah bersuara. Sekali bersura hanya tangisnya
yang terdengar. Begitupun, bapak tak pernah merasa iba.
Karena ini ijinkan saya hari ini memulai perubahan
itu. Dan ini kisah perjuangan saya, menggugat bapak!
Lighting Fade out-Fade in.
Musik break in. Seseorang berdiri. Sebuah siluet besar tergambar di layar.
2. SESEORANG
Cerita ini aku
awali dari cermin. Terus terang, sejak kecil aku muak sekali melihat cermin.
Setiap kali berdandan, aku selalu pergi ke tengah pintu, menghadap halaman
rumah. Di situlah tempat paling nyaman untuk berdandan. Tetapi kelakuanku itu
sangat dibenci oleh ibu.
Ia selalu melarangku dan selalu aku jawab, “Aku bukan
perempuan!” Ia tak pernah memperdulikanku. Diseretlah aku ke kamarnya lalu
membenamkan wajahku ke cermin. “Sedari kecil belajarlah bercermin!”
3. SESEORANG
Dengan terpaksa aku mulai belajar bercermin, walaupun
aku muak dengan benda aneh itu. Ketika melihat wajahku di cermin seakan ia
bukan diriku yang kubayangkan selama ini. Aneh. Beratus-ratus cermin pemberian
ibu akhirnya aku banting hingga kata-kata kasar ibu meruntuhkan isi rumah. “Anak
durhaka!”
Seseorang duduk di kursi
dengan angkuhnya.
4. SESEORANG
Aku gemetar di tengah pecahan cermin. Suara ibu
menyambar-nyambar tubuhku yang sengsara. Suara itu bagai badai,
memporak-porandakan seisi rumah, merontokkan seluruh keinginannku. Hanya bapak
yang tetap tegar, duduk di kursi goyangnya. Ia hanya mengernyitkan kening.
Menekuk lehernya 10 derajat, ke kiri. Matanya memicing. Kopi pahit kesukaannya
diseruput, seperti menyeruput seluruh kemarahan ibu. Bagi ibu, itu sikap
pengecut. Sementara, diam-diam aku tertarik dengan sikap bapak.
Persekutuanku dengan bapak, membuat ibu bosan
menyeretku ke kamarnya lalu membenamkan wajahku ke cermin. Semakin lama aku
telah melupakan ibu. Sementara, Ibu hanya mengawasiku dari jauh, dengan sorot
mata yang turun naik. Ia memang sangat tunduk dengan bapak.
Suara gamelan jawa
berkeleneng.
5. SESEORANG
“Bapak memang lelaki gagah!” Ia seperti raja Jawa
dengan berpuluh-puluh garwa selir dan prajurit yang mengawalnya.
Ia duduk dengan sikap yang agung. Anjing-anjing kesayangannya selalu setia
menunggui di samping kursi.
Persekutuanku dengan bapak membuatku berpikir
sederhana, bahwa kesukaan bapak adalah kesukaanku juga. Walaupun sementara ini
aku hanya bisa membayangkan kenikmatan duduk di kursi goyang, nyruput
kopi pahit, nyedot rokok kretek, dan berlagak seperti raja Jawa. Aku
sudah merasa puas.
Meloncat dari kursi. Kursi
naik ke atas.
6. SESEORANG
Tetapi ketika aku semakin dewasa, keinginanku untuk
menikmati duduk di kursi bapak semakin tak terbendung. Tak sedetik pun si daun
kering itu, lepas dari pandanganku. Aku begitu menikmatinya. Tetapi bapak tak
pernah meng-gubrisku walaupun setiap hari aku menungguinya, persis
seperti punggawa-nya.
Berputar mengelilingi kursi
yang tergantung.
7. SESEORANG
Hal itu membuat
akar kesabaran ibu tercerabut. Maka pada suatu siang ia menyeretku ke kamar.
Aku meronta.
Seseorang
berdiri. Sebuah siluet di layar putih.
“Aku tidak mau cermin!” Tak kusangka tangan
ibu sekuat Gatutkaca. “Kau harus menatap wajahmu di cermin. Lihat kau sudah
mulai berkumis. Kau sudah dewasa, Nak. Masa depanmu ada di kepala bukan pada
bapakmu.”
8. SESEORANG
Braaang! Cermin pemberian Ibu aku banting, pecah
berkeping-keping. “Aku anak laki-laki. Aku ingin seperti bapak!” seruku. Ibu
diam dalam senyap. Air matanya mengalir seperti ngarai. Bapak berdehem. Asap
rokok mengepul-ngepul. Anjing-anjingnya mengerang, lidahnya menjulur-julur
mengejekku.
9. SESEORANG
Kedurhakaanku pada ibu, ternyata tak membuat bapak
segera beranjak dari tempat duduknya. Membaca, minum kopi, makan, mandi,
kencing, berak, memarahi ibu, bersetubuh dengan ibu, memberi makan anjing,
semua dilakukan di tempat duduknya. Semua dilalui dengan senyumnya yang
misterius.
Ia tak pernah memperhatikan keinginanku duduk di kursi
goyangnya. Sontoloyo betul bapak itu. Kursi itu seakan sudah mendarah
daging, tumbuh menjadi bagian tubuhnya. Aku harus berani matur padanya.
Dengan gugup aku mencoba matur.
Menghadap seperti punggawa
kerajaan.
10. SESEORANG
“Pada suatu saat saya ingin duduk seperti Bapak.
Apakah hal itu berkenan?” Bapak tidak menyahut. Berarti, bapak masih tidak mau
diganggu. Ketika pertanyaan itu aku ulangi berkali-kali, ia tetap seperti batu.
“Bapak!” seruku pada suatu hari menjelang musim semi,
mengulangi permintaanku. “Kalau Bapak duduk saja berhari-hari bahkan
bertahun-tahun, apakah tidak mengerti keinginan anaknya. Apakah Bapak tidak dobol.
Saya ingin duduk bergoyang-goyang seperti, Bapak. Izinkanlah saya!” Bapak tetap
mbegegeg seperti gunung.
11. SESEORANG
Didorong oleh keinginanku, suatu malam aku mencuri
kesempatan. Aku mengendap-ngendap dalam gelap. Dengkur bapak menguasai ruangan.
Anjing-anjing tidur dengan posisi siap terkam. Aku membayangkan, betapa amarah
bapak dan anjing-anjingnya seperti lahar.
“Ya, aku marah
anak durhaka!,” serunya tiba-tiba.
“Houg! Houg! Geeeerrrr!” Aku terjengkang satu tindak.
Siluet anjing besar.
12. SESEORANG
“Anak kadal, badak, macan, anjing budugan, topeng
monyet, tak tahu diuntung. Anak cindil tahu apa. Bisanya main belakang.
Bisa tak gebug, kapok!” Aku membatu dalam gelap.
Seseorang lari
tunggang-langgang.
13. SESEORANG
Tak kusangka, tangan lembut ibu meraihku dari amukan
bapak. Aku merasakan hawa segar mengalir dalam dada. Aku tak pernah
membayangkan keindahan kamar ibu yang ditatanya seperti surga. Sesuatu yang
hilang dari ingatanku bahwa ibu menyukai keindahan dan kedamaian. Lantai
kamarnya berkilau-kilau, bagai wajah ibu, yang teduh penuh kesabaran..
Ia tidak berkata sepatahpun. Cermin yang menggantung
di dinding itu memantulkan wajahku yang coreng-moreng, penuh kebimbangan.
Sementara di luar, angin pancaroba datang membadai, menggedor-gedor pintu,
membuatku meronta-ronta dan lari dari kamar ibu.
14. SESEORANG
Kali ini niatku sudah bulat. Aku harus membuktikan
pada ibu, bahwa aku anak laki-laki yang sudah dewasa. Tetapi ketika tanganku
hampir menyentuh kursi bapak yang tidur mendengkur, anjing-anjingnya menyalak
dan menyeretku ke tempat sampah.
15. SESEORANG
Sekali lagi, ibu datang dengan tangan yang lembut. Ia
memandikanku seperti bayi. Ia mendandaniku. Aku melihat wajahku di cermin
seperti anak ingusan.
Siluet ibu menimang anaknya.
16. SESEORANG
“Kau memang masih ingusan untuk mengerti bapakmu. Ia
tak selalu seperti yang kamu kira. Kau masih harus banyak belajar, Nak.”
“Dengan cermin aku tak pernah seperti, bapak.”
“Memahami bapakmu sama sulitnya memahami dirimu.”
17. SESEORANG
Saran ibu tak pernah aku mengerti. Apakah dengan
berpangku tangan, memandangi bapak dari kejauhan, ia akan mengerti kemauan
anaknya?
Berhari-hari pertanyaan itu menggangguku. Akhirnya,
untuk kesekian kali aku beranikan diri matur dengan sopan pada bapak
yang asyik duduk ongkang-ongkang di kursi goyangnya. Dengan amat angkuh
sekali ia hanya menjawab, “Anak kecil tahu apa?”
Siluet bapak tampak besar
sekali.
18. SESEORANG
Ejekan bapak seakan menantangku. Itu gertakan yang
membuatku semakin berani menantang bapak dan ingin membuktikan bahwa aku bukan
anak ingusan, seperti yang ia duga selama ini. “Siapa bilang aku anak ingusan!
Aku akan mengusikmu dari keangkuhan!” seruku.
19. SESEORANG
Aku ringkus bapak
dan mengangkatnya dari kursi goyang. Astaga! Ternyata pantat bapak telah
mengakar pada pori-pori kursi. Melihat napasku turun naik, bapak memandangku
sinis. Tanpa dikomando, anjing-anjingnya yang setia menerkamku dan menyeretku
ke tempat sampah. Bapak tertawa terbahak, tetapi tangis ibu merintih sedih.
Siluet
bapak bertambah banyak. Banyak sekali.
20. SESEORANG
Kesedihan ibu membuatku semakin nekat. Anjing-anjing
bapak aku keluh dengan daging. Ia begitu rakus. Ia melupakan bapak. Ini
kesempatan emas. Dengan linggis, parang, gergaji, cangkul, akar bapak aku cabut
satu persatu. Wajahnya mulai layu. Tubuhnya mengering. Kulitnya mengelupas dan
berguguran di lantai. Ia pun roboh.
Siluet bapak hilang satu
persatu.
21. SESEORANG
Aku berlonjak girang. Ibu menangis sedih. Bapak
tertawa sinis, sambil mengepulkan asap rokoknya. Aku mengira itu kebiasaan
bapak, walaupun menderita ia tetap tersenyum.
22. SESEORANG
Ternyata sangkaanku meleset jauh. Senyumnya bapak,
tertawanya bapak adalah lambang keperkasaannya. Akar-akar yang tertinggal di
kursinya, tumbuh menjadi beribu-ribu bapak. Beribu-ribu wajah bapak tertawa
terbahak-bahak. Sementara wajah ibu yang pucat pasi, muncul dari pintu
kamarnya. Tak bosan-bosannya ia mengulurkan tangan dan membimbingku ke
kamarnya.
22. SESEORANG
“Benarkah aku anak durhaka, Ibu?”
Ibu tidak menjawab. Ia membuka jendela kamar. Angin di
luar begitu kencang. Di luar, hutan belantara menghampar luas. Kemudian ibu
berkata, “Dunia ksatria adalah di Amarta. Kamu harus membangun singgasanamu
sendiri seperti para Pandawa. Di hutan sana kamu akan memulainya, Nak.”
Siluet hutan belantara.
23. SESEORANG
Setelah bertahun-tahun mengembara, aku datang
menghadap ibu dan bapak yang sudah berkaki tiga. Lalu kutunjukan mereka sebuah
kursi goyang mirip milik bapak. Ibu menepuk pundakku. Bapak tersenyum kecut.
Kursi turun.
Kini aku bisa duduk seperti bapak, ketika masih
perkasa dulu. Duduk medhingkrang sambil nyruput kopi pahit, nyedhot
rokok kretek, dan bergoyang-goyang, begitu nikmat.
“Ya, sekarang kamu bisa, Nak,” kata ibu bangga.
Tetapi bagi bapak, kelakuanku itu dianggap penghinaan.
Ia tak mau duduk berdampingan denganku. Akhirnya bersama anjing-anjingnya yang
setia ia meninggalkan kami tanpa permisi. Sementara beribu bayangan bapak
menutupi wajahnya dengan topeng. Aku tertawa terbahak-bahak, persis tertawanya
bapak yang kini pergi entah kemana.
Kepergian bapak tanpa permisi adalah sikap yang tidak
ksatria. Itulah yang membuatku kecewa dan tidak bangga mempunyai bapak seperti
itu.
Kini kursi goyang yang ditinggalkannya
begitu saja, tak karuan jluntrungannya. Konon, kursi itu dicuri maling.
Tetapi berita yang santer aku dengar, kursi itu dibawa lari bayangan bapak yang
masih hidup bergentayangan seperti setan.
Manusia-manusia
bertopeng memanggul mengendap-endap penuh curiga.
Sementara kursi
tiruan yang aku buat waktu itu, kini semakin banyak tiruannya. Masing-masing
orang berhak memiliki kursi dan duduk medingkrang seperti bapak,
tersenyum sinis seperti bapak, dan berlagak seperti raja Jawa. (Dengan
megaphone) Jadi sudah jelas sekarang, sayalah Raja!
Surabaya, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar