Memasuki dekade 70-an hingga 80-an dengan kehadiran komik-komik impor dan terjemahan Barat (Eropa dan Amerika) komik lokal melahirkan tokoh superhero adaptasi Barat (Gundala, Maza, dan Godam) walau di masa itu ada komik wayang R.A Kosasih. Kosasih sendiri bahkan pernah terpengaruh superhero dengan menciptakan superhero wanita Sri Asih. Disusul dekade 90-an hingga saat ini serbuan dari komik terjemahan asal Jepang membentuk pengaruh visual pada komikus. Periodisasi ini bukan dimaksudkan sebagai gambaran mutlak. Batasan tahun hanya untuk memperlihatkan adanya perubahan gradual pecinta komik di Indonesia seiring hadirnya komik-komik impor.
Keterpengaruhan komik impor dapat disebut sebagai indikasi postif dengan munculnya kegairahan komikus mengeksplorasi karyanya sekaligus negatif lantaran komik yang terbit saat itu rata-rata memiliki ciri serupa: superhero (70-an dan 80-an) dan manga (90-an sampai sekarang). Mungkin jika tak terjadi missing link komikus masa kini dapat melakukan ”pemberontakan” seperti Hasmi dan Wid N.S yang membuat komik fiksi ilmiah-superhero ketika di masa itu sedang tren komik silat karya Ganes Th.
Duet Benny Rachmadi dan Mice (dimulai tahun 1998 dengan seri Lagak Jakarta-nya) serta Ahmad ”Sukribo” Ismail yang berhasil ”mengisi jagad lain” dan melakukan ”pemberontakan” sebagai komikus strip muda selain bekerja sebagai illustrator. Agak lama setelah era Benny dan Mice, baru muncul komikus Beng Rahardian (Selamat Pagi Urbaz!) dan trio Ipot, Oyas, Iput (1001 Jagoan) yang karyanya berhasil melicinkan pengaruh referensi komik Amerika dan Jepang sehingga mampu melepaskan dominasi pengaruh anime dan manga sebagai mainstream pasar buku komik Indonesia. Secara acak, nama lain yang berhasil muncul menunjukkan jati diri tanpa pengaruh mainstream bisa disebut Wahyoe (Gibug), Donny (Alakazam) dan Alfi ”Sekte Komik”.
Kehidupan dan perkembangan komik di Indonesia sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Optimisme bangkitnya komik Indonesia akhir-akhir ini hendaknya disikapi dengan lebih baik oleh semua pihak sehingga suatu saat komik Indonesia dapat diperhitungkan sebagai produk bermutu sekaligus mempunyai ahli, sejarawan, dan kritikus seperti halnya sastra, seni rupa, atau film.
Angan-angan kelahiran komik Indonesia sebagai renaisans mungkin masih jauh walau tak tertutup kemungkinan kelak terbetik semangat kesadaran baru.
Scott McCloud pernah mengatakan, eksistensi komik selalu dianggap sebagai bacaan anak mutu rendahan, sekali baca lalu dibuang. Tapi, lontaran di atas bolehlah dikatakan sebagai indikasi masih kerdilnya pemahaman masyarakat terhadap komik. Tapi bagaimana dengan komikus lokal kita atau kreatornya sendiri?
Komikus Indonesia rata-rata bersembunyi dalam profesi lain misalnya animator film iklan, desainer grafis, dan ilustrator buku/majalah seperti halnya sastrawan yang bekerja sebagai wartawan, copywriter perusahaan advertising, atau editor sebuah penerbitan notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul secara visual cenderung gagal secara naratif.
Memang bukan hal mudah memunculkan semangat seorang pencipta. Para komikus umumnya bekerja sendiri lantaran komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Masa-masa R.A Kosasih, Ganes Th., Hasmi, Jan Mintaraga, dan Teguh Karya yang bisa hidup sepenuhnya dari membuat komik agak sulit untuk terulang kembali. Konsentrasi komikus kita di masa kini umumnya terpecah antara mengerjakan ilustrasi pesanan dengan membuat komik sebagai pencapaian kreativitas pribadinya. Padahal, tatkala mengerjakan komik, kita mengharapkan seperti halnya kerja seorang penyair yang mampu memisahkan latar belakang dengan karyanya.
Masalah kurang terbukanya komikus lokal (baca: underground) masa kini dengan disiplin ilmu lain seperti sastra hingga tak menghasilkan cerita yang memikat disebabkan adanya missing link sejarah komik dengan generasi sekarang. Missing link alias putusnya sejarah menjadikan perkembangan komik lokal kita bak kepala tanpa leher. Ia gagal menjadi mata rantai produksi massa namun bergeliat ditandai dengan tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground di berbagai tempat. Ia berhasil menjadi indikator kreatif tapi terlepas dari sejarah yang dulu pernah melahirkannya. Perkembangan komik Indonesia seperti ”sakit” dan ”jalan di tempat”.
Kehidupan dan perkembangan komik Indonesia sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Perkembangan komik lokal gagal memikat masyarakatnya sendiri untuk kembali mencintai komik. Senada dengan missing link tersebut, Hikmat Darmawan pengamat komik dalam sebuah diskusi bertajuk Membandingkan (Kebangkitan) Komik Jerman-Indonesia 22 Oktober 2004 di Goethe Institut Jakarta mengatakan, sumber referensi komikus umumnya kurang karena mereka sendiri toh hanya membaca komik.
Missing link lain yang boleh disebut adalah kurangnya media berbasis komik ataupun mengangkat komik-kartun lokal. Padahal pada tahun 2001 dan 2002 pernah terbit tabloid Komikku dan Komik SAP, majalah KumKom (Kumpulan Komik, terbitan Gramedia 1994), majalah HuMor (1990) yang bermetamorfosis dua kali pada tahun 1980-an setelah berganti nama dari majalah Stop, majalah Eppo (juga tahun 1980-an) dan yang tertua majalah Pop-Comics. Lembergar atawa Lembaran Bergambar suplemen dalam harian Pos Kota sejak pertengahan1970-an sampai awal 1990-an juga tak dapat dilupakan sumbangsihnya dalam sejarah komik lokal dengan menghadirkan Keliek Siswoyo (Doyok), Budi (Otoy) serta tokoh lain yang tak kalah populer seperti Kubil, komik karya Martono, Dhika Kamesywara, dan lain-lain. Ironisnya suplemen ini tiba-tiba jadi ”korban” semenjak krisis ekonomi 1998. Walau kini masih ada tapi tak seramai dulu karena hanya menyisakan dua tokoh saja, yaitu Doyok dan Otoy.
Sampai kini komik strip cenderung kurang berkembang, bahkan dalam industri pers sendiri yang sebenarnya bisa mendukung kehidupan komik strip lokal secara financial, tak mampu mendukung kehidupan komik. Kalaupun ada hanya dimiliki grup besar saja seperti Kompas meskipun sesungguhnya jika penerbit sedikit memberi kesempatan, dapat membantu perkembangan komik lokal. Selain keterputusan sejarah komi, buku telaah tentang komik atau kartun pun minim. Sampai kini yang baru terbit hanya beberapa judul, misalnya Komik Indonesia (Marcel Bonneff, 1998), Karikatur dan Politik (Augustin Sibarani, 2001), Menakar Panji Koming (Muhammad Nashir Setiawan, 2002), dan Kartun (I Dewa Putu Wijana, 2004).
Selebihnya hanya tinjauan singkat yang ”nyempil” sebagai pengantar buku komik dan kartun saja seperti Wimar Witoelar (Lagak Jakarta), Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Tebusan Dosa, Teguh Santosa), Goenawan Mohamad (Palestina, Joe Sacco edisi Indonesia terbitan Mizan 2003), dan lain-lain. Ini menunjukkan betapa miskinnya perhatian kita pada komik dalam wacana sehingga tak memunculkan kritikus dan pengamat yang serius. ***
(R Giryadi, wartawan seni budaya hr. Jatim Mandiri)
Kehidupan dan perkembangan komik di Indonesia sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Optimisme bangkitnya komik Indonesia akhir-akhir ini hendaknya disikapi dengan lebih baik oleh semua pihak sehingga suatu saat komik Indonesia dapat diperhitungkan sebagai produk bermutu sekaligus mempunyai ahli, sejarawan, dan kritikus seperti halnya sastra, seni rupa, atau film.
Angan-angan kelahiran komik Indonesia sebagai renaisans mungkin masih jauh walau tak tertutup kemungkinan kelak terbetik semangat kesadaran baru.
Scott McCloud pernah mengatakan, eksistensi komik selalu dianggap sebagai bacaan anak mutu rendahan, sekali baca lalu dibuang. Tapi, lontaran di atas bolehlah dikatakan sebagai indikasi masih kerdilnya pemahaman masyarakat terhadap komik. Tapi bagaimana dengan komikus lokal kita atau kreatornya sendiri?
Komikus Indonesia rata-rata bersembunyi dalam profesi lain misalnya animator film iklan, desainer grafis, dan ilustrator buku/majalah seperti halnya sastrawan yang bekerja sebagai wartawan, copywriter perusahaan advertising, atau editor sebuah penerbitan notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul secara visual cenderung gagal secara naratif.
Memang bukan hal mudah memunculkan semangat seorang pencipta. Para komikus umumnya bekerja sendiri lantaran komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Masa-masa R.A Kosasih, Ganes Th., Hasmi, Jan Mintaraga, dan Teguh Karya yang bisa hidup sepenuhnya dari membuat komik agak sulit untuk terulang kembali. Konsentrasi komikus kita di masa kini umumnya terpecah antara mengerjakan ilustrasi pesanan dengan membuat komik sebagai pencapaian kreativitas pribadinya. Padahal, tatkala mengerjakan komik, kita mengharapkan seperti halnya kerja seorang penyair yang mampu memisahkan latar belakang dengan karyanya.
Masalah kurang terbukanya komikus lokal (baca: underground) masa kini dengan disiplin ilmu lain seperti sastra hingga tak menghasilkan cerita yang memikat disebabkan adanya missing link sejarah komik dengan generasi sekarang. Missing link alias putusnya sejarah menjadikan perkembangan komik lokal kita bak kepala tanpa leher. Ia gagal menjadi mata rantai produksi massa namun bergeliat ditandai dengan tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground di berbagai tempat. Ia berhasil menjadi indikator kreatif tapi terlepas dari sejarah yang dulu pernah melahirkannya. Perkembangan komik Indonesia seperti ”sakit” dan ”jalan di tempat”.
Kehidupan dan perkembangan komik Indonesia sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Perkembangan komik lokal gagal memikat masyarakatnya sendiri untuk kembali mencintai komik. Senada dengan missing link tersebut, Hikmat Darmawan pengamat komik dalam sebuah diskusi bertajuk Membandingkan (Kebangkitan) Komik Jerman-Indonesia 22 Oktober 2004 di Goethe Institut Jakarta mengatakan, sumber referensi komikus umumnya kurang karena mereka sendiri toh hanya membaca komik.
Missing link lain yang boleh disebut adalah kurangnya media berbasis komik ataupun mengangkat komik-kartun lokal. Padahal pada tahun 2001 dan 2002 pernah terbit tabloid Komikku dan Komik SAP, majalah KumKom (Kumpulan Komik, terbitan Gramedia 1994), majalah HuMor (1990) yang bermetamorfosis dua kali pada tahun 1980-an setelah berganti nama dari majalah Stop, majalah Eppo (juga tahun 1980-an) dan yang tertua majalah Pop-Comics. Lembergar atawa Lembaran Bergambar suplemen dalam harian Pos Kota sejak pertengahan1970-an sampai awal 1990-an juga tak dapat dilupakan sumbangsihnya dalam sejarah komik lokal dengan menghadirkan Keliek Siswoyo (Doyok), Budi (Otoy) serta tokoh lain yang tak kalah populer seperti Kubil, komik karya Martono, Dhika Kamesywara, dan lain-lain. Ironisnya suplemen ini tiba-tiba jadi ”korban” semenjak krisis ekonomi 1998. Walau kini masih ada tapi tak seramai dulu karena hanya menyisakan dua tokoh saja, yaitu Doyok dan Otoy.
Sampai kini komik strip cenderung kurang berkembang, bahkan dalam industri pers sendiri yang sebenarnya bisa mendukung kehidupan komik strip lokal secara financial, tak mampu mendukung kehidupan komik. Kalaupun ada hanya dimiliki grup besar saja seperti Kompas meskipun sesungguhnya jika penerbit sedikit memberi kesempatan, dapat membantu perkembangan komik lokal. Selain keterputusan sejarah komi, buku telaah tentang komik atau kartun pun minim. Sampai kini yang baru terbit hanya beberapa judul, misalnya Komik Indonesia (Marcel Bonneff, 1998), Karikatur dan Politik (Augustin Sibarani, 2001), Menakar Panji Koming (Muhammad Nashir Setiawan, 2002), dan Kartun (I Dewa Putu Wijana, 2004).
Selebihnya hanya tinjauan singkat yang ”nyempil” sebagai pengantar buku komik dan kartun saja seperti Wimar Witoelar (Lagak Jakarta), Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Tebusan Dosa, Teguh Santosa), Goenawan Mohamad (Palestina, Joe Sacco edisi Indonesia terbitan Mizan 2003), dan lain-lain. Ini menunjukkan betapa miskinnya perhatian kita pada komik dalam wacana sehingga tak memunculkan kritikus dan pengamat yang serius. ***
(R Giryadi, wartawan seni budaya hr. Jatim Mandiri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar