Halaman

Rabu, 27 Februari 2008

Kondisi teater di Jawa Timur


Tengoklah teater SMA dan teater kampus
Oleh : R.Giryadi
Ada yang sering mempertanyakan eksistensi teater di Jawa Timur. Pertanyaan itu selalu dikaitkan dengan tidak munculnya teater Jawa Timur di forum-forum baik local maupun nasional. Bahkan ada yang berasumsi, setelah generasi Akhudiat berlalu, maka berlalu pula masa kejayaan teater di Jawa Timur.

Asumsi yang -tentu bisa salah juga bisa benar- ini sebenarnya bisa diantisipasi sejak sepuluh tahun terakhir ini. Sebenarnya sejak masa-masa paceklik generasi teater yang dimulai pertengahan tahun 1990-an itu dan mulai banyak munculnya teater-teater kampus, orientasi pembinaan terhadap teater segera bergeser. Kalau pada masa 1980-1990 banyak diwarnai dengan kekuatan teater amatir semacam teater Ragil, Sanggar Suroboyo, teater Dua Lima, teater Rajawali, teater Patria, teater Pavita, teater Jaguar, teater Nol, teater Bengkel Muda Surabaya, dan masih banyak lagi, maka sejak pertengahan dasawarsa 90-an, kekuatan itu bergeser pada aktivitas teater kampus. Diliputi gegap-gempitanya musim reformasi, banyak teater amatir yang ‘mengundurkan diri’ dari dunia sosial politik yang hiruk pikuk. Sementara dikampus-kampus yang menggejala dengan teater performance art-nya, sedikit demi sedikit mencoba memperkuat barisan teaternya.
Dalam masa tahun 1997, bermunculan teater-teater kampus yang memiliki spirit kuat dan bisa diprediksi memiliki napas panjang. Mereka tidak saja mendesakan wacana ‘kontemporer’ tetapi juga etos kerja yang tinggi. Hal ini bisa terlihat dari komunitas-komunitas yang ada dan andilnya cukup besar terhadap perkembangan teater di Surabaya maupun di Jatim. Boleh dicatat dalam hal ini, teater Kusuma (Universitas 17 Agustus Surabaya), teater Chrystal (UPN Veteran Surabaya), teater Puska (FISIP Unair), teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), teater Hampa (Universitas Malang), teater Tiang (Universitas Jember), dan lain sebagainya. Kelompok teater ini sampai sekarang masih menunjukan eksistensinya. Bahkan saat seleksi daerah Pekan Seni Mahasiswa Regional Jawa Timur tangkai teater, beberapa perguruan tinggi swasta di Jatim banyak yang mendaftarkan teaternya. Salah satunya teater dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Secara kualitas cukup menarik dan bahkan berhasil menjadi juara III.
Tak kalah menariknya, perkembangan teater SMA di Jatim pada tahun-tahun menjelang 2000-an bermunculan begitu banyak. Setiap diadakan festival teater untuk SMA atau whorkshop teater, bermunculan puluhan teater SMA yang sampai sekarang menunjukan eksisttensinya. Dalam catatan terakhir yang diperoleh oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dalam Festival Teater Remaja (2004) lalu, terdapat lebih 40 teater yang ada di Jawa Timur. Begitu juga dalam Festival Teater SMA di IAIN beberapa waktu lalu, juga mendapatkan data sama dari jumlah yang didapat TBJT.
Kalau kita berbicara teater amatir baik itu yang berada di Jawa Timur maupun di Surabaya, bisa dihitung dengan jari. Beberapa teater amatir yang pernah ada di Surabaya kini tak tahu rimbanya. Meski beberapa kali mereka mengadakan pementasan tetapi sebentar kemudian menghilang baik itu secara kelompok maupun personal. Kalau kita hitung di Surabaya hanya ada teater Tobong, teater BMS, Teater Api Indonesia, dan teater Ragil. Sedangkan di Jawa Timur, kita harus gigit jari. Sementaran teater profesional baik di Surabaya maupun di Jawa Timur pada umumnya tak ada satu grupun yang eksis.
Keadaan seperti ini semestinya tidak perlu terjadi bila ada semacam ‘regenerasi’ untuk pencapaian puncak sebuah generasi teater. Katakanlah, ada pilar-pilar yang kuat seperti teater SMA dan teater kampus. Mereka adalah generasi yang butuh muara di teater amatir maupun teater profesional. Karena kedua kekuatan ada pada teater SMA dan kampus, maka proses pembinaan harus diutamakan pada kedua pilar ini. Karena mau tidak mau kedua pilar inilah yang pada kemudian hari akan meneruskan ke muaranya yang terakhir yaitu teater amatir maupun teater profesional.
Persoalannya sekarang, apakah dalam hal ini intansi terkait, kelompok teater amatir dan profesional (kalau ada), menyadari hal ini? Mau tidak mau Surabaya dan Jawa Timur harus menyadari keadaan ini. Jawa Timur butuh peremajaan teater. Sekarang telah terjadi pergeseran, teater Jawa Timur telah banyak tumbuh di SMA-SMA dan kampus-kampus. Mau tidak mau, keberadaan ini harus dimanageman dengan baik, agar generasi teater di Jawa Timur tidak hanya mengandalkan segelintir teater yang ada.
Akhir Februari 2006 gallery Surabaya Dewan Kesenian Surabaya, mengadakan Festival Teater Pelajar dan Pertemuan Teater Kampus pada akhir April 2006 mendatang. Peristiwa ini perlu direspon secara positif agar keberlangsungan teater di Jawa Timur, tidak hanya menggantungkan pada nasib saja. Proses regenerasi secepatnya mulai dipikirkan strateginya sedini mungkin.
Kalau kita lihat Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mampu memunculkan tokoh-tokoh yang lahir dari Festival Teater Remaja (sekarang berubah, Festival Teater Jakarta) dan bisa mentasbihkan sebuah kelompok teater remaja menjadi kelompok teater amatir, mengapa di Surabaya tidak bisa? Dengan kegetolan DKJ mengadakan festival terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh yang pada akhirnya menjadi ‘pendekar’ teater Indonesia. Semestinya, festival yang diadakan di Surabaya juga mampu memunculkan generasi-generasi baru, kalau festival itu memang bertujuan begitu.
Sekali lagi, persoalan teater di Jatim masih seputar regenerasi, proses pembinaan, dan tradisi kritik teater yang sampai hari ini di Surabaya belum ada kritikus teater. Memang pada dasarnya persoalan munculnya generasi adalah persoalan jaman. Tetapi kini jamannya sudah berubah. Mengapa sikap kita belum juga berubah?**

Teater Kampus (Belum) Kehabisan Napas

Oleh : R. Giryadi
Di Surabaya –Jawa Timur- teater kampus memiliki potensi yang tidak kalah dengan teater amatir (luar kampus, red). Ambil contoh Teater Institut Unesa (IKIP Surabaya) yang sampai sekarang sudah berusia 27 tahun, hamper tanpa menemui kevakuman. Begitu juga, di kampus-kampus Surabaya, IAIN, Untag, UPN, Ubaya, Unitomo, Unair, UWP, ITS, UK Petra, aktivitas teaternya juga tak pernah berhenti.

Bahkan di Malang satu kampus bisa memiliki puluhan teater, seperti Unmuh, Unisma, UNM, dan Uniga. Namun memang teater tidak hanya berhenti pada kwantitas saja. Tetapi sepanjang amatan saya, produksi teman-teman teater kampus, tak pernah ada yang mengecewakan.
Hal ini bisa kita lihat dalam event dua tahunan yang diselenggarakan Badan Seni Mahasiswa Indonesia-Regional Jawa Timur, terlihat sekali keseriusan mereka dalam penggarapan. Tentu saja, orientasi mereka tadak saja kalah menang dalam event itu, tetapi kesadaran mereka benar-benar didasari oleh kesadaran kreatif.
Sepanjang tahun 1997 sampai 2002 misalnya, dari teater kampus, justru memunculkan, Dialog Kamar Mandi, Tanah Mati, Caligula, (teater Kusuma Untag), yang tidak saja mewujudkan keinginan pentas, tetapi benar-benar menunjukan totalitas proses kreatif yang melelahkan.
Begitu juga Teater Institut Unesa, juga melahirkan Jalan Pencuri, Ode untuk Ibu, Pohon dalam Piring Tanah, Rashomon. Teater Cengkir UWP melahirkan, Kurcaci-Kurcaci, dan Blak Kotang. Bahkan Blak Kotang, pernah dipentaskan di acara teatronik TVRI Jakarta.
Ketika diadakan seleksi regional bidang teater oleh BSMI dengan merujuk pada lomba teater realis, kekuatan kreatif teater kampus begitu tampak. masing-masing kelompok teater tetap menunjukan kekhasannya masing-masing yang telah digeluti selama ini.
Sebut saja, teater Hampa, Universitas Negeri Malang, tetap saja mengusung realis gaya teater Melaratnya (alm) Hasim Amir. Teater Kusuma, Universitas 17 Agustus, juga tetap mengandalkan ekplorasi pendalaman karakter dan keliaran tubuh aktor. Teater Institut tetap mengedepankan kekuatan suasana pertunjukan dengan didukung visualisasi artistik yang simbolik.
Selain itu masih banyak kelompok teater kampus yang tak pernah kehabisan napas. Komunitas teater IAIN Sunan Ampel, hampir setiap bulan mengadakan kegiatan, baik diskusi, workshop, dan juga pentas teater. Bahkan saat ini teater kampus di Surabaya memiliki ‘Jendela’ wadah untuk menjalin komunikasi antar teater. Untuk mewadahi apresiasi, Jendela menerbitkan buletin Jitaks, yang dikomandoi teman-teman teater Kusuma.
Diakui memang sepanjang tahun 2002-2007 kegiatan teater kampus hamper-hampir ‘kehabisan’ napas. Selain tidak adanya kegiatan secara personal, dalam ajang dua tahunan BSMI teater kampus kurang meresponya dengan serius. Sepanjang tahun itu, di Surabaya hanya beberapa pertunjukan teatr kampus. Bahkan saat diadakan Parade Teater Kampus 2005 lalu, tampak sekali greget keseriusan mereka berkurang.
Meski demikian kalau kita tengok ke luar Surabaya misalnya, masih ada geliat yang cukup berarti bagi perkembangan teater kampus. Sebut saja teater Tiang Unej, sejumlah komunitas teater di Malang, dan juga teater Lentera STKIP Sumenep, masih memasang kuda-kuda untuk tetap unjuk gigi.
Hal ini terlihat dalam keseriusan penyelenggaraan Temu Teman Teater se Indonesia di Universitas Islam Negeri Malang pertengahan bulan Mei ini oleh komunitas Teater K2 (Komedi Kontemporer, red) UIN Malang. Keseriusan mereka dalam membangkitkan teater di kampus perlu mendapatkan nilai. Dan teater kampus memang akan tetap hidup salama penggiat-penggiatnya mampu dan mau bekerja keras. **

Rabu, 20 Februari 2008

Membangun Pusat Kesenian dengan Daya Sentripetal



Oleh : Rakhmat Giryadi

Ketika masyarakat menolak dominasi pusat, dalam berbagai segi kehidupan, di Surabaya muncul ide, membangun pusat kesenian. Agar tidak menjadi kontraproduktif, perlu segera diperjelas, apa yang dinginkan oleh sebagian ‘pekerja seni’ Surabaya, tentang pusat kesenian itu? Meski ini ide yang sangat bertentangan dengan semangat jaman, pusat kesenian di Surabaya, harus tetap dipikirkan sebagai alat bertelornya tata nilai modern. Jadi pusat kesenian yang dimaksudkan sebagian seniman, saya harapkan bukan tempat yang representatif teknis saja, tetapi bisa menjadi semacam, pusaran yang dibangun atas daya sentripetal (bergerak menuju pusat)), dari ‘pusat-pusat’ kesenian yang berada di Jawa Timur.

Sebenarnya pusat kesenian di Jawa Timur (baca : Surabaya), sudah harus ada sejak Taman Budaya Jawa Timur dan lembaga (kesenian) terkait itu ada. Bila lembaga kesenian ini sejak awal bekerja dengan baik (lebih mengedepankan sintem nilai dari pada juklak dan juknis), maka meributkan fungsi Balai Pemuda, sebagai pusat kesenian tidak lagi mencuat. Kenyataan ini telah menjadi perjalanan sejarah di Jawa Timur, dimana lembaga-lembaga terkait tidak bisa menjadi bagian terpenting bagi perkembangan kesenian di Jawa Timur.
Hal ini penting. Karena bila pusat (baca : gedung) kesenian itu hanya untuk mengatasi kendala teknis, pada akhirnya nanti, pusat itu hanya untuk menampung kemalasan-kemalasan bekerja secara menyeluruh, terhadap berbagai hal yang harus dihadapi oleh pekerja seni pertunjukan. Bila pusat kesenian hanya untuk kepentingan itu, bisa jadi, gerakan itu akan mengadirkan ketergantungan pekerja seni untuk berorientasi pada pusat (sentrifugal). Akibatnya, pusat malah menjadi kendala bagi penyebaran, nilai-nilai kesenian itu sendiri. Bahkan bisa jadi daerah akan tetap menjadi subordinasi pusat.
Pusat kesenian modern, bila salah menafsirkan makna pusat itu sendiri, bisa menjadi bumerang bagi kesenian modern itu sendiri. Pusat kesenian itu tidak bisa hanya menjadi jembatan antara masyarakat (apresian) dengan seniman. Tetapi, pusat kesenian itu, setidaknya berorientasi kepada lembaga riset bagi perkembangan seni modern. Dalam pusat itu, kesenian bukan lagi sebagai sekedar tontonan, tetapi sebagai wacana.
Ingat, ketika ketoprak dilembagakan (dipusatkan/ditobongkan) ketoprak bukan lagi alat komunikasi dialogis atara masyarakat tradisionil dengan ‘seniman’. Tetapi menjadi semacam legitimasi kekuasaan atas raja-raja. Ketoprak bukan lagi ideomatik kesenian rakyat, tetapi menjadi kental kedudukannya sebagai kesenian keraton. Ini contoh yang menarik untuk dikaji. Apakah benar, dengan hadirnya pusat kesenian, seni (apapun) akan menjadi bagian dari ekspresi masyarakatnya?
Saya lebih cenderung berharap, pusat kesenian itu dibangun oleh berbagai komunitas masyarakat. Biarkan pusat kenian itu, dibangun oleh daya pusar berbagai komunitas sehingga menimbulkan daya sentripetal (memusat). Dari sini akibat ketergantungan dari pusat bisa dikurangi, sehingga suara masyarakat bawah, akan terdengar ke pusat oleh usaha kreatifnya, bukan karena daya pusaran dari pusat.
Oleh sebab itu, yang perlu dibangun (sebelum menjadi pusat kesenian itu) adalah, sumberdaya manusia, infrasutruktur yang memadai, manajeman yang tangguh, dan kepercayaan pemerintah terhadap kemandirian seniman. Sumber daya manusia itu, bisa diambil dari para stakeholder-stakeholder dari berbagai komunitas.
Stakeholder inilah yang akan menjadi energi daya sentripetal. Merekalah orang-orang yang memiliki spirit dan tahu akar-akar persoalan dari pada orang-orang (penentu kebijakan) yang hanya tahu angka-angka saja. Memberdayakan stakeholder menjadi sesuatu yang penting, bila keinginan pusat kesenian itu, bukan sebagai orientasi teknis, tetapi untuk meningkatkan nilai kultural yang benar-benar dibangun dari lapisan masyarakat.
Pusat kesenian Jawa Timur (dimanapun tempatnya), memang sesuatu yang penting. Tetapi bagaimana kepentingan itu, bukan hanya menjanjikan kemudahan-kemudahan teknis ( berkreatif tanpa susah payah memasang, sewa, pinjam, berbagai perlengkapan pentas), melainkan menjadi bertemunya sebuah sitem nilai kebudayaan, yang bisa diwacanakan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan pembangunan kebudayaan. Sistem nilai itulah yang harus diperjuangkan oleh seniman dan tidak hanya memberikan kemudahan teknis saja ke pada seniman. ***

Minggu, 10 Februari 2008

TEATER SURABAYA DI TENGAH KRISIS PENGAMATAN



oleh : R Girydi
Kalau kita hitung, berapa jumlah teater nonkampus –untuk tidak menyebut profesional- di Surabaya? Kalau kita hitung-hitung tak melebihi jumlah jari tangan. Sementara yang masih eksis ‘berproses’ barangkali cuma berjumlah separuhnya. Beberapa bisa kita sebut, Teater Tobong, Teater Api Indonesia (TAI), Teater Jaguar, dan –mungkin- Bengkel Muda Surabaya, Teater Ragil. Untuk sementara kelompok-kelompok inilah yang masih memiliki greget menggairahkan perteateran di Surabaya. Bahkan mereka bisa diklaim sebagai rujukan eksistensi teater Surabaya di tingkat nasional.
Namun beberapa kelompok yang saya sebut di atas, menurut pengamatan saya, dalam periode awal tahun 2000-an hanya TAI dan teater Tobong yang memiliki vitalitas yang tinggi untuk berproses. Bahkan mereka juga menciptakan pengaruh -wacana teater- yang berorientasi pada eksperimen dan ekplorasi tubuh aktor.

Dua kelompok teater tersebut di atas terdiri dari anak-anak muda yang tidak berorientasi pada formaliseme teater yang hanya berkutat pada tontonan. Mereka lebih mengedepankan proses yang berkesinambungan sambil menebarkan ‘virus’ kepada sesama generasi. Barangkali kalau boleh saya simpulkan, ideologi mereka adalah ideologi proses. Jadi, untuk sementara proses bagi generasi teater paska generasi Akhudiat adalah persoalan yang mengedepan. Meski demikian demi pencapaian ideologi artistik, kelompok teater ini juga menawarakan berbagai gagasan yang diwujudkan dalam beberapa pagelarannya.

Ruang Dialog
Bila dibandingkan dengan generasi Akhudiat, pencapaian-pencapaian artistik dan unsur pertunjukan lainnya, oleh generasi saat ini bisa dinomer duakan. Artinya perwujudan gagasan mereka tidak hanya berhenti saat pertunjukan itu digelar, tetapi pada tahapan pencapaian berikutanya yang semua itu berada di luar pertunjukan.
Inilah yang harus dicermati. Sebenarnya sebuah gagasan teater tidak berhenti pada saat pertunjukan itu digelar atau bagaimana sebuah kelompok teater mengorganesasi sebuah ivent. Tetapi seberapa jauh gagasan itu membuat ruang dialog teater menjadi terbuka sehingga memungkinkan gagasan-gagasan lain tumbuh.
Inilah yang bisa membuat peluang teater –di Surabaya- tumbuh dengan sehat. Jadi tidak hanya sekedar membuat dikotomi, siapa yang bodoh dan siapa yang pintar, seperti dicontohkan Akhudiat dalam Kompas (29/12/03), untuk menggambarkan betapa sulitnya memahami teater modern.
Kalau ruang dialog terbuka, barangkali dikotomi siapa bodoh dan siapa pintar menjadi bisa dinetralisir dan menjadikan batas antara penonton dan pelaku semakin nisbi (baca : tidak terbatas). Namun demikian keterbukaan ini tidak longgar, tentu dalam hal ini ada etika-etika atau bentuk pertanggungjawaban oleh sebuah kelompok atas gagasan yang telah ditawarkan.
Kebingungan penonton untuk menangkap –makna- teater modern tidak sepenuhnya salah di antara ke duanya (penonton dan pelaku). Tetapi bisa jadi unsur lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya pengamat yang bisa menjembatani kerentanan ini. Saya membayangkan, bila seandainya pra pentas sebuah kelompok teater ada semacam pra wacana yang diaktualisasikan oleh pengamat dalam bentuk diskusi atau tulisan-tulisan di media massa, barangkali pertunjukan akan lebih menarik dan merangsang untuk tidak sekedar menjadi penonton yang dibutakan matanya tetapi penonton yang dihidupkan otaknya –multi tafsir-, oleh berbagai unsur yang telah menjembataninya. Sehingga dikotomi (yang kadaluwarsa) seperti dicontohkan Akhudiat tidak terjadi.

Profesionalisme
Kalau kita berbicara profesioanalisme atau amatiran, seperti yang terungkap dalam wawancara Kompas (29/12/03 ) dengan Akhudiat –salah seorang yang telah menjadi bagian dari sejarah teater di Surabaya- ketika mengomentari pertunjukan Laboratorium Gila oleh Teater Api Indonesia (27-28/12/03), tidak sesederhana yang diungkapkan Akhudiat dengan mencontohkan profesional ala Bengkel Muda Surabaya yang telah –berhasil- mengeksplorasi besutan, pontomim, ataupun penggabungan bentuk drama-musik.
Saya kira Akhudiat hanya menyederhanakan persoalan. Bahwa memaknai profesional hanya sebatas pencapaian artistik sebuah kelompok saja. Ada berbagai sebab kalau teater di Surabaya disebut tidak profesional dan masih bersifat amatiran. Ada ruang lain yang tidak tergarap, ketika teater membutuhkan ruang profesional. Berbagai ruang itu masih nampak kosong melompong dan tidak merangsang orang-orang yang berkecimpung di teater menjadikan teater sebagai ruang profesi, tetapi bisa jadi hanya sekedar menjadi tempat numpang lewat.
Salah satu ruang yang teramat longgar dan tampak sudah banyak dilupakan adalah ruang pengamat yang serius dan utun untuk mempresentasikan gagasan-gagasan baru di jagad teater baik itu pra pentas maupun paska pentas. Unsur ini penting ketika profesionalisme dituntut. Kehadiran seorang pengamat sekaliber Akhudiat misalnya, dibutuhkan untuk membedah secara obyektif gagasan-gagasan yang ditawarkan teater –modern- di Surabaya.
Unsur lain adalah keterlibatan media massa yang membuka ruang promosi dengan tidak sekedar mencatat tanggal dan jam pentas saja, tetapi juga mengaktualisasikan gagasan teater melalui wawancara khusus dengan pelaku teater yang bersangkutan. Ketika dua ruang ini tergarap, saya kira kesenjangan sedikit diminimalisir dan kerja teater bisa dipertanggungjawabkan secara profesional pula.
Tentu persolan di atas sangat sederhana. Yang menjadi persoalan sekarang, sudahkah kerja di luar panggung itu maksimal? Saya kira, kita –Surabaya- perlu introspeksi. Teater Surabaya sedang dalam krisis pengamatan. Tampaknya teater Surabaya membutuhkan ruang dialog –masyarakat, pengamat, media massa, pelaku- yang obyektif agar ruang profesional itu terbuka. Bagaimana, profesionalisme dituntut bila unsur yang lain tidak sejalan, bahkan cenderung menutup dan kontraproduktif?
Untuk menjadikan teater Surabaya profesional memang tidak kerja sederhana, karena butuh dukungan berbagai pihak yang bisa mewadahi teater ini bisa profesional. Bagaimana bisa profesional kalau pengamat sendiri memandang sinis –terlalu subyektif-sebuah pertunjukan ketika masyarakat –penonton- membutuhkan keterangan diluar subyektifitas pengamatan?
Pengamat yang kita butuhkan saat ini adalah pengamat yang tidak hanya sekedar mang-amini sejarah. Masyarakat teater –modern- di Surabaya membutuhkan pemikiran-pemikiran segar yang membuka jalan (avant gard).
Namun demikian pekerja-pekerja teater memang tidak bisa berpangku tangan ketika teater sedang terjadi krisis pengamatan. Teater tidak hanya sekedar melontarkan gagasan pertunjukan tetapi artikulasi gagasan dalam bentuk kerja intelektual –riset, menulis, dan yang lainnya- diperlukan. Sehingga ketika terjadi gesekan antara penonton, pengamat, media massa, dan pelaku masih terjembatani. (*)

(R. Giryadi, Sutradara Teater Institut Unesa, tinggal di Sidoarjo)

Senin, 04 Februari 2008

KOTA TANPA TEATER


Oleh : R Giryadi

Tahun 90-an, bersama karang taruna tempat tinggal saya di Blitar, mencoba membuat kelompok teater. Namanya teater Gumyek. Hampir satu tahun dua kali, Teater Gumyek melakukan pergelaran. Naskah yang digarap, ada yang ditulis sendiri, adaptasi dari cerita rakyat, dan naskah jadi seperti karya WS.Rendra dan Emil Sanosa.
Kurang lebih selama tiga tahun, teater Gumyek hadir di tengah-tengah masyarakat desa yang tradisional. Selama itu pula, masyarakat yang sudah mulai mendapat jejalan informasi modern, -karena tv swasta sudah mulai ada- sangat kagum melihat cerita Suto Mencari Bapa, karya WS.Rendra. Atau cerita tentang, pemberontakan Ken Arok yang diadaptasi dalam teater modern.
Hal yang patut dicatat adalah, kegairahan akan kehidupan sangat terasa selama kami melakukan proses teater. Masyarakat yang tadinya hanya berdiam diri di rumah sambil menikmati, -hiburan satu-satunya TVRI- seakan terhenyak. Ada semacam alternatif hiburan yang tak kalah menariknya, yaitu teater.

Kami saling berdialog. Berinteraksi secara terbuka, melalui proses itu. masyarakat yang biasanya tidur –menutup pintu rumah- jam 19.00, menjadi molor sampai tengah malam, karena menyaksikan anak-anak berlatih teater. Mereka antusias, tidak hanya ingin melihat sanak saudaranya ikut terlibat, tetapi, benar-benar ingin mendapatkan sesuatu yang baru –pencerahan- di luar cara-acara TVRI yang menjemukan dan didominasi ‘doktrin’ rezim yang masif. Dan memang mereka merasakan, betapa teater –untuk menyebut tidak berlebihan- memberikan sesuatu yang baru, dari pada keterangan Menteri Penerangan yang syarat dengan retorika, usai rapat kabinet di Bina Graha.
Namun, zaman memang terus bergerak. Satu persatu personil teater Gumyek beranjak dewasa, dan dituntut untuk mengembangkan pemikiran yang pragmatis. Maka mereka pada meninggalkan desa, menguber harta benda. Saya sendiripun akhirnya memilih bergelut dengan kehidupan pragmatis, sekolah, dan kerja di Surabaya –walaupun saya masih aktif di teater. Akhirnya seperti yang bisa ditebak, keberlangsungan teater pun berhenti total. Dan orang-orang kembali menutup pintu rapat-rapat pada pukul 19.00 WIB.
Kota yang Sepi
Surabaya, tahun 90-an yang saya kenal, pada tahun-tahun itu terasa sekali denyut kehidupan teater. Bahkan ada puluhan teater yang aktif, menghidupkan iklim perteateran Surabaya.
Boleh diingat, pada waktu itu, ada teater Jaguar, Dua Lima, Pavita, Rajawali, Nol, Ragil, Sanggar Soeroboyo, Teater Api Indonesia, Bengkel Muda Surabaya, di tambah dengan aktivitas teater di kampus-kampus dan SMU-SMU, yang aktif berpentas.
Pada masa itu, kegitan teater di Surabaya, begitu marak, apalagi di tambah dengan adanya festival-festival yang representatif. Ditambah dengan ‘kritikus’ yang memberikan iklim teater tidak hanya sekedar ramai di panggung-panggung tetapi juga pada tingkat wacana di media massa, boleh disebut pada waktu itu ada Akhudiat, Marx Arifin, H. Bambang Ginting, Autar Abddilah, Zeinuri.
Hampir semua kelompok teater dan ‘kritikus’ mendesakkan gagasan-gagasannya masing-masing. Mereka memiliki spirit yang begitu kuat, seakan kehidupan teater di Surabaya memiliki masa depan yang cerah.
Namun apa mau dikata. Jaman yang berbicara. Usai gegap gempita ‘revolusi’ pelengseran rezim Orde Baru, itu teater Surabaya justru seperti menemukan titik baliknya. Aura kebebasan, seakan menyilaukan mata hingga banyak para pekerja seni menjadi ‘buta’. Tidak tahu harus berbuat apa? Bahkan seakan-akan banyak pekerja seni di Surabaya, terbengong-bengong dengan keterbukaan yang teramat sangat.
Barangkali kalau digambarkan, mereka yang memiliki spirit teater realis, terbengong-bengong melihat realitas di depan matanya yang mengharu-biru. Sementara itu, mereka yang memiliki spirit absurd, juga tak kalah bengongnya ketika melihat, manusia tanpa kepala diseret-seret keliling kota. Dan Surabaya, tergagap-gagap menerima ‘arus deras’ pertikaian budaya (baca : politik, ekonomi, agama, dan ras) negeri ini.
Akhirnya apa yang terjadi? Sedikit demi sedikit, mereka yang tidak bisa melihat kenyataan, mengundurkan diri dari dunia teater. Intensitas pertunjukan menjadi berkurang. Bahkan, lebih ironis lagi, Surabaya lebih banyak dikunjungi oleh ‘tamu’ dari luar Surabaya dan Jawa Timur, dan tanpa bisa menyuguhi apapun, selalin rasa iri.
Dan rujukan untuk menyebut teater Surabaya, menjadi kesulitan. Karena tak ada kelompok yang benar-benar fenomenal, macam teater Koma (Riantiarno) dan teater Kubur (Dindon WS) di Jakarta, teater Payung Hitam (Rahman Sabur) dan Studiclub Teater Bandung (Suyatna Anirun), Gandrik (Heru Kesawamurti dan Butet Kertarejasa) dan Garasi (Yudi Ahmad Tajudin), Jogjakarta, Gapit (Bambang Widoyo HS) dan Gidak-Gidik (Hanindawan) Solo. Mereka yang berada di balik nama-nama teater itu, telah menjadi ‘juru bicara’ bagi kelompoknya masing-masing, untuk menciptakan sejarah dan menciptakan ideologi, bagi perkembangan teater modern Indonesia. Sementara itu, Surabaya malah seperti kehilangan sejarah. Surabaya seperti tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Kegagahan dalam Kemiskinan
Meminjam istilah WS.Rendra, kegagahan dalam kemiskinan, tampaknya itulah yang sedang dihadapi teater Surabaya. Secara ringkas, wajah teater Surabaya, memiliki kendala yang sering diartikulasikan baik lewat tulisan, diskusi, dan pembicaraan sambil lalu adalah masalah miskin gedung yang representatif, stok aktor yang sedikit, sutradara yang langka, penata artistik yang langka, regenerasi yang terputus, masyarakat penonton yang semu.
Sebagaimana telah diramaikan di media massa beberpa waktu lalu, bahwa Surabaya butuh gedung yang representatif untuk pertunjukan teater. Sementara ini, teater Surabaya tidak memiliki gedung yang jadi rujukan untuk pentas. Misal kalau di Jakarta ada Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Teater Untan Kayu, paling tidak Surabaya harus memiliki satu atau dua gedung yang memiliki arti representatif tersebut. dan memang Surabaya ‘tidak memiliki’ gedung yang representatif.
Belum lagi persoalan aktor yang konon tidak mudah menciptakan. Di Surabaya, meskipun antara tahun 70-90-an secara periodik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK), telah memilih aktor dan aktris terbaik, juga tak memunculkan aktor yang kuat bertahan berteater. Kemanakah mereka yang pernah mendapat penghargaan aktor dan aktris terbaik LDLK?
Sutradara dalam arti yang sebenarnya, tampaknya Surabaya sangat miskin. Bahkan kalau boleh ekstrim, Surabaya tidak memiliki sutradara, pasca generasi Akhudiat –hanya sekedar menyebut nama. Sejak digulirkanya LDLK-pun juga tidak memunculkan sutradara yang mewakili zamannya. Di Surabaya, sutradara hanya berlaku sebagai pemimpin arstistik dan pelatih. Merekalah yang memberikan intruksi keseluruhan artistik dan bentuk-bentuk latihan yang akan di pentaskan. Sutradara yang memiliki kemampuan liteler, boleh jadi Surabaya tidak memiliki.
Persoalan keterputusan generasi, seperti telah menjadi jamak, bahwa kelemahan negeri ini adalah keterputusan generasi. Surabaya dalam kasus perkembangan teaternya seperti a-historis. Dari generasi ke generasi seperti tidak memiliki benang merah. Apakah ini satu usaha kreatif? Memberontok dari para suhunya, untuk tidak hanya sekadar perpanjangan tangan dari semacam, Akhudiat, Bambang Sujiono, Wally Sardil, Hare Rumemper, Elysabet Luther, Bambang Ginting, Meimura, dll? Belum ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, bahwa orientasi generasi penerus teater di Surabaya merupakan bentuk usaha kreatif, atau ketergagapan generasi dalam membaca sejarahnya?
Ketergagapan ini diikuti dengan semakin banyaknya penonton yang meninggalkan teater. Mereka lebih memilih gedung teater 21 dari pada berpanas-panas ria di Gallery DKS yang pertunjukkannya belum tentu memberikan mereka ‘katarsis’ (baca:kepuasan). Barangkali sedikitnya penonton, memang tidak bisa dijadikan tolok ukur sebuah tontonan teater. Tetapi kecenderungan teater semakin ditinggalkan penonton menjadi signifikan dengan kegairahan pekerja teaternya. Bagaimana tidak trenyuh bila telah berproses berbulan-bulan hanya ditonton oleh puluhan orang yang nota bone juga teman-temannya sendiri, yang sudah tahu prosesnya terlebih dahulu? Apakah ini bukan orgasme yang ironis. Sebuah kenikmatan yang menjemput kematian.
Surabaya butuh Teater
Namun demikian, Surabaya masih diuntungkan, ada Teater Api Indonesia (TAI), Ragil, Tobong, dan beberapa teater kampus yang tidak ada lelah-lelahnya, mencoba menghidupkan teater di Surabaya. Kelompok itulah –disamping kelompok teater kampus seperti Kusuma (Untag) –Institut (Unesa), yang menurut ingatan saya (maaf saya tidak pernah mencatatnya) secara periodik –tahunan- bisa mementaskan satu naskah drama, baik karya sendiri maupun naskah babon dari penulis lain.
Paling tidak, ketiga arus itulah yang menjadi lampu kuning (baca : tanda-tanda) bahwa teater di Surabaya ‘masih ada’ namun masih membutuhkan eksistensi yang cukup kuat, dalam pengertian, teater tidak sekedar sebuah tontonan tetapi sebuah wacana yang bisa menghadirkan dialetika antar masyarakat pendukungnya –penonton, kritikus, media massa.
Jadi Surabaya masih butuh teater yang tidak sekedar teater. Tetapi sebuah teater yang membuka wacana. Yang bisa memberikan keabsahan bahwa sebuah produk seni (budaya) adalah hasil dialektika dengan masyarkat pendukungnya dan memiliki wacana yang bisa ditlesik keberadaannya.
Bila semua ini terjadi, kehendak untuk berteater memiliki peluang yang melegakan. Teater menjadi memiliki masa depan yang diciptakan atas dasar pemikiran yang terus hidup. Paling tidak kita memiliki budaya tanding untuk membendung derasnya budaya kicth, yang dihumbalangkan media massa –cetak dan elektronik- baik global maupun lokal. Kalau tidak terjadi, orang-orang akan mengunci rumah pada 19.00 WIB, menikmati dunianya sendiri, dunia maya, dan Surabaya menjadi sepi. (*)

Terompet Senjakala


undefined

oleh : R Giryadi

Babak I
Sebuah panggung dengan setting sederhana. Dua kursi tua bergantung di atap, berwarna hitam kecoklatan (atau lebih baik berwarna hitam). Latar dan floor, berfarna putih bersih, tanpa ada asesoris yang menempel. Seorang lelaki tua dan perempuan tua yang sudah berumur ratusan tahun, atau barangkali ia adalah jasad yang bergentayangan sedang risau atau gembira, atau apa saja.

1. Kakek
Sayangku…! Dimanakah engkau! Say….?Adakah engkau masih dalam desah nafas cinta, sebagaimana sering kau ucapkan padaku. Ah, Say, kau jangan memain-main, dan bersembunyai dalam kefanaan ini. Say…jawablah aku, di mana engkau. Kita sudah terlalu tua untuk saling berkejaran. Waktu kita hanya cukup untuk saling berpandangan. (berputar-putar di segala sudut) Apakah permainan kita cukup sampai di sini. Masih banyak yang bisa kita mainkan. Apakah kau sudah bosan dengan permainan ini.
Ah, barangkali Say, ingin permainan yang lain. Coba saya buatkan, Say. (Bermain-main dengan cahaya senter)…dalam cahaya ini, aku berjalan menyusuri dunia hitam, mencari belahan jiwaku. Cahaya-cahaya ini menusuk-nusuk dinding gelap, mencari dirimu, tetapi kamu tetap membisu. Kamanakah kamu. Padahal, sudah sekian ribu kilo cahaya aku susuri, tetapi tak tampak wajahmu…Ah, bahasa apa ini. Tapi mungkin kamu pingin permaian yang lain. Tan, setan gundul temokna kekasihku, dimakah kau sembunyikan. (berulang-ulang) Ah, tapi dimana kamu? Sia-sia aku membuatkan mainan untukmu, kalau aku tidak tahu bagaimana kamu bergembira. Ya, minimal melihat senyumulah. Ayolah, Say. Jangan kau bermain-main dalam ketidaktahuan ini. Ini bukan saatnya kita menyepi. Kenapa tidak kita teruskan permainan kita. Apakah engkau lelah. Bukankah aku sudah menyediakan apa yang engkau inginkan. Di sana masih tersimpan harapan. Mengapa engakau begitu merisaukan masa depan kita. Ayolah say, jangan main petak umpet begini. Di sini gelap sekali. Aku hampir tidak bisa melihatnya. Cahaya ini terlalu muram, bagi kehidupan kita yang menyala-nyala.

Say, mengapa engkau masih saja diam. Bukankah kini waktunya kita bertemu. Lihatlah kursi kita masih bergoyang-goyang, pertanda masih beberapa waktu lalu kita berada disini. Tetapi mengapa kini kau tinggalkan aku sendiri. Disini masih muram, Say. Tanpa kehadiranmu, barangkali hidupku sepi. (berjalan terus, sambil menyalakan senter ke sisi-sisi yang lain)
2. Nenek
Pandangan kita sudah kabur. (Nenek on stage. Ia berjalan tertatih-tatih, seakan jalanan begitu sulit). Kabut hitam, menghalangi mata kita yang rabun. Kita terlalu renta untuk menepisnya. Jarak pandang kita hanya tinggal beberapa jengkal dari lubang kematian. Oh, kabut itu, telah membuat kita tak berdaya. Say…jangan bermain-main seperti anak kecil. Hidup kita hanya cukup untuk saling memandang. Kenapa waktu kita begitu sedikit, untuk berbicara yang tak penah selesai. Oh, kabut. Kamu begitu mencemaskan. Kau membuat kami hidup pontang-panting, hanya untuk memaknai, kesenderian ini. Say…cepat ucapan sesuatu biar aku mendengarmu. Sejak kapan kamu berubah pikiran. Apa artinya kata-kata yang kau ucapkan, bahwa kita akan sehidup semati, aku belum mati malah kamu mati duluan. Lelaki kok tidak ada yang bisa dipegang hidungnya. Maunya dipegang apanya lagi? Ayo Say, kau jangan main-main, waktu kita hanya sesaat. Kita harus kembali di peraduan jangan sampai ketinggalan waktu.
Apakah kau berselingkuh. Ah, aku tahu kau pasti berselingkuh dengan dirimu sendiri kan. Aku tahu itu kejelekanmu sejak kamu kenal dengan aku. Tapi, tidak apa-apa daripada selingkuh dengan wanita lain, itu lebih baik. Toh, aku tetap mencintaimu. Sayang, kini kau telah pergi untuk selamanya, tanpa memberi kabar padaku. Ini kekejaman ke dua setelah kau aku biarkan kau selingkuh dengan dirimu-sendiri.


3. Kakek
Say…berbicaralah. Jangan membuat suasana bertambah sepi. Aku rindu bau mulutmu. Aku tahu, kau sudah bosan dengan permainan ini semua. Barang kali kau sudah kehabisan permaian, sehingga kau berbuat konyol semacam ini. Bicaralah, kabut ini tak akan pergi bila kita diam saja. Kenapa begitu gelap, padahal kemarin-kemarin cahaya begitu terang memenuhi ruangan ini. Kegelapan ini membuat kita berputar-putar. Jangan-jangan kita kembali ke masa lampau. Masa ketika aku masih perjaka dan kau masih perawan. Ah, kegelapan akan muncul cahaya terang. (Menyanyi lagi ) tan setan gundul temokna kekasihku, dimana kau sembunyikan. (menyalakan cahaya senter tepat di wajah nenek). Seeetttaaaannn!!!!… (Berlari). Ah, ternyata kau ada disitu. Kalaupun toh saya tahu, kamu ada di situ aku tidak akan bicara macam-macam dan berputar-putar macam tadi.
4. Nenek
Itulah kamu. Mau bicara aja berputar-putar. Selalu membuat keributan dalam rumah. Istrinya sendiri dikatai setan. Dasar dhemit.
5. Kakek
Kau jangan begitu, Say. Rumah ini harus terus kita bikin ribut, biar kita tidak merasa kesepian. Rumah kita yang telah lama hampir saja runtuh, karena tubuh kita tak mampu menyangganya. Oh, betapa sepinya bila aku tak banyak bicara.
6. Nenek
Mana ada manusia yang tak pernah merasa kesepian. Bukankah manusia harus hidup menyepi, karena kegaduhan diantaranya telah menyebakan kita berada dalam jurang kesepian. Inilah bibir terindah dari kehidupan. Bibir kesepian.
7. Kakek
Ya, barangkali kita lebih terhormat dari mereka yang telah menciptakan kegaduhan yang berisi sampah dan tikus-tikus pemamah bangkai.
8. Nenek
Hiiii, jijik.
9. Kakek
Hiiii, menggelikan….
10. Nenek
Kok menggelikan?
11. Kakek
Ya, menggelikan. Apa yang barusan kita omongkan seperti busa, tak ubahnya teror kegaduhan itu. Itulah sampah. Banyak omong. Tong kosong..
12. Nenek
Nyaring bunyinya. Apakah tidak boleh. Terkadang kita butuh omong kosong, dari pada berisi tapi membuat kita merasa terasing pada diri kita sendiri.
13. Kakek
Ha..ha..ha..kekosongan itu, karena kita merasa terasing mengurai tubuh kita sendiri. Bukankah kita tidak tahu berapa usia kita, kapan kita mati, kapan kita hidup, kapan kita lahir kembali. Atau jangan-jangan kita sudah mati dan kita tidak merasakan karena, kita sudah terlalu terasing dengan tubuh kita?
14. Nenek
Mati? Aku pernah mendengar kata-kata itu. Tapi di mana ya?
15. Kakek
Lo?
16. Nenek
Lo, di mana ya? Sayangku pernah mendengarnya?
17. Kakek
Lo? Kenapa aku juga lupa mengingatnya?
18. Nenek
Bodoh! Semestinya kita tahu. Kenapa?
19. Kakek
Ya. Barangkali kita sudah mati…?
20. Nenek
Mati rasa..maksudmu?
21. Kakek
Mati rasa? Mati beneran…!
22. Nenek
(Membahu tubuhnya) Belum? Aku tidak bau apa-apa.
23. Kakek
(Mengendus) Aku merasakan sesuatu yang menyengat. Dan ini pasti bau kematian. Ah, bukan? Baunya lain sekali. Saya pernah merasakannya…. (Menutup hidung)
24. Nenek
Itu bau kentutku…hi..hi..hi..
25. Kakek
(Menutup hidung). Hup! Sayangku, mengapa kamu mengacaukan keadaan.
26. Nenek
Angin terlalu keras. Aku masuk angin.
27. Kakek
Ah itu tandanya kita masih hidup. Kamu bisa kentut dan saya masih bisa membahu bahu kentutmu.
28. Nenek
Sembarangan. Kematian dan kehidupan tak setara dengan kentut.
29. Kakek
Saat ini setara. Kita tahu dari mana kentut itu berada, tapi kita tidak pernah tahu warna, ujud, dan kemana perginya kentut itu…
30. Nenek
Kentut lagi, kentut lagi…bosan. Apakah kehidupan tidak ada yang lebih berharga dari kentut.

Kakek tercenung sejenak. Ia membetulkan posisinya. Kemudian tarik napas dalam-dalam.

31. Kakek
Barangkali, hanya kematian yang membuat hidup lebih hidup. Wah kayak iklan saja…
32. Nenek
Kematian lagi, kematian lagi.
33. Kakek
Lagi-lagi kematian.
34. Nenek
Mati lagi, mati lagi.
35. Kakek
Lagi-lagi mati.
36. Nenek
Kapan hidupnya?
37. Kakek
Setelah mati
38. Nenek
Mati setelah hidup?

39. Kakek
Hidup setelah mati?
40. Nenek
Kok dibolak-balik?
41. Kakek
Biar tidak gosong.
42. Nenek
Bercanda!
43. Kakek
Kalau gosong kita mampus. Antara hidup dan mati tidak ada bedanya, tidak ada artinya. Terus gimana..kalau kita tidak tahu beda antara hidup dan mati?
44. Nenek
Emang ada bedanya? (Nadanya kenes sekali)
45. Kakek
Saya tidak tahu!
46. Nenek
Kenapa?
47. Kakek
Saya belum pernah mati.
48. Nenek
Kalau begitu!?
49. Kakek
Kau menyuruhku mati?!
50. Nenek
Jangan salah paham. Maksudku jangan bicara mati, melulu!
51. Kakek
Ya, sebaiknya kita tidak usah bicara. Karena kita toh tidak tahu, saat ini apakah kita sedang menjalani hidup atau mati.
52. Nenek
Bosan! Aku pergi saja.
53. Kakek
Mau kemana?
54. Nenek
Kamu bicara mati melulu…
55. Kakek
Takut..?

Nenek diam saja. Ia terpaku. Keheningan memuncak ke ubun-ubun.

56. Nenek
Aku teringat masa kecil. Kini tiba-tiba kita merasa tua sekali. Padahal seperti kemarin saja aku merusakan boneka-boneka itu. Sepertinya es krim itu baru saja meleleh dari genggamanku. Masa lalu kita seperti baru kita lampaui sedetik yang lalu. Kenapa, waktu segera melesat, padahal kita belum mengerti apa yang kita maui.
57. Kakek
Barangkali itulah kelemahan manusia. E, maksudku kelemahan kita.
58. Nenek
Manusia memang lemah.
59. Kakek
Itulah kita terus kalah.
60. Nenek
Kenapa?
61. Kakek
Karena kita manusia lemah!
62. Nenek
Kenapa?
63. Kakek
Karena kita diciptakan dari lemah.
64. Nenek
Kenapa?
65. Kekek
Kenapa! Kenapa!
66. Nenek
Maksudku kenapa kita diciptakan lemah?
67. Kakek
Biar tidak bawel seperti kamu.
68. Nenek
Maksudmu?
69. Kakek
Bodoh! Itulah manusia. Kalau kuat akan mengganggu.
70. Nenek
Siapa?
71. Kakek
Yang mencengkeram kita!
72. Nenek
Siapa?
73. Kakek
Tuhan!
74. Nenek
Hus! Kuwalat! Dosa besar
75. Kakek
Tidak. Tuhan tambah senang. Kalau mau tidak lemah, manusia harus berani bertanya. Protes. Sekali-kali juga menantangnya. Ini yang diinginkan-Nya.
76. Nenek
Say, menyebutlah. Ini dosa besar. Kamu bisa kena kutukkan.
77. Kakek
Manusia lemah. Ia, tidak suka seperti ini. Tuhan, menciptakan kita lemah, agar kita terus berusaha mencari kekuatan. Kalau kita lahir terus kuat, kita bertambah malas. Kalau sejak lahir manusia sudah tahu segalanya, ia akan sombong dan malas.
78. Nenek
Pintar bersilat lidah.
79. Kakek
Tidak percaya!
80. Nenek
Tuhan itu Maha Sempurna. Mana mungkin sengaja menciptakan kita makluk lemah. Ini kan hanya akal-akalanmu agar kita tidak merasa lemah sekali.
Itu kan hanya bahasanya orang kalah. Orang yang mau mati. Orang sekarat. Coba kalau sehat seperti waktu kita masih muda.
81. Kakek
Kita akan hidup selamanya.
82. Nenek
Mengigau?
83. Kakek
Say, ayolah. Kenapa kamu minta cepat mati?
84. Nenek
Aku tidak meminta. Kamu mulai melenceng dari pembicaraan.
85. Kakek
Melenceng bagaimana?
86. Nenek
La itu tadi. Yang dibicarakan mati melulu.
87. Kakek
Siapa yang memulai.
88. Nenek
Tidak ada yang memulai.
89. Kakek
Nah berarti?
90. Nenek
Stres!
91. Kakek
Mikir?
92. Nenek
…….?
93. Kakek
Ah, sudahlah, Say. Waktu kita habis untuk berdebat. Kenapa kita tidak memikirkan yang lain saja, dari pada bersitegang yang tidak pernah kita mengerti? Manusia kok terus diperbudak oleh ketidakmengertian. Ruangan ini telah lama kita tempati. Tetapi kita tak pernah mengerti kapan kita akan pergi dari rumah ini. Ini penjara. Penjara bagi pikiran yang terbelenggu. Kenapa kita terus bersitegang, kalau hanya untuk menengok kejendela saja kita lupa?
94. Nenek
Barangkali maut memang bukan apa-apa. Hanya kita saja yang takut, karena terlalu lama terlena duduk di singgasana kehidupan. Kita lupa, bahwa singgasana ini bukan milik kita. Kita harus beranjak. Tidak terus menerus bermain di atas kursi tua yang telah lama kita jadikan ajang pertaruhan antara hidup dan mati.
95. Kakek
Aku ingat, betapa waktu itu aku seperti hero.
96. Nenek
Kamu curang!
97. Kakek
Kenapa?
98. Nenek
Kamu hanya mengingat dirimu sendiri. Bukankah aku yang membuatmu menjadi hero. Apakah kau tidak ingat itu, Say. Kenapa laki-laki mesti egois ketika mengingat masa lalunya. Say, kau harus adil. Sejarah tidak boleh ditutup-tutupi.

99. Kakek
Tidak, aku tidak berusaha menutupi. Aku hanya terbiasa dengan diriku sendiri. Tetapi bukankah sejarahku adalah sejarahmu juga. Sudahlah, Say jangan ributkan masalah masa lalu. Lebih baik kita bergembira saja. Bukankah saat ini kita butuh bahagia. Mengingat masa lalu, hanya seperti mengkais-kais tong sampah saja, tidak ada gunananya. Kalau begitu, sekarang kau mau apa?
100. Nenek
Apa-apa mau.
101. Kakek
Kok serakah?
102. Nenek
Maksudku, terserah kamu.
103. Kakek
Bagaimana kalau kita menyanyi?
104. Nenek
Suaramu jelek…
105. Kakek
Tidak apa, yang penting terhibur…
106. Nenek
Yang lain saja..hiburan kok jelek. Ya, harus menarik dong!
107. Kakek
Ya, tetapi apa? Katakan dong..
108. Nenek
Kau sudah lupa ya dengan kesukaanku?
109. Kakek
Apa?
110. Nenek
(Malu-malu)?
111. Kakek
Apa, jangan diam begitu saja. Ayo katakan saja!
112. Nenek
(Kemayu)
113. Kakek
Alah kok centil amat..Say minta apa?
114. Nenek
Kalau malam-malam begini minta apa?
115. Kakek
Apa?
116. Nenek
Saya minta seperti Surti dan Tejo….
117. Kakek
Say membingungkanku..maksudnya nyanyi itu?
118. Nenek
Yang kayak lagunya..Jamrud itu…lo..
119. Kakek
Lagunya Jamrud..Siapa itu?
120. Nenek
Ah, itu waktu kita masih muda. Waktu itu, aku berteduh di gubuk sambil menunggui burung yang memakan padi. Tiba-tiba kau datang. Tidak tahu kau berdandan apa. Pokoknya seru banget deh. Aku tahu kamu baru pulang dari kota. Makanya dandanannya funky. Eh..terus..terus..terus…..
121. Kakek
Terus bagaimana..?
122. Nenek
Ah, kamu bego!
123. Kakek
Aku memang tidak ingat?
124. Nenek
Begitulah lelaki, kalau sudah berbuat lupa bertanggung jawab.
125. Kakek
Kalau rasanya ingat…..Ah.. aku memang benar-benar lupa. Maksudmu bagaimana?
126. Nenek
Kamu jangan bercanda. Waktu itu kamu terus kamu memegang tetekku. Kemudian terus meraba bawah pusarku. Aku menjerit. Kamu tambah meremas-remasnya. Aku melengking. Kamu tambah , menyingkap rokku. Aku terengah, kau malah…
127. Kakek
Porno ah….!
128. Nenek
Porno apanya? Memang begitu kok kejadiannya.
129. Kakek
Ah aku ingat. Ternyata kau sudah bunting!
130. Nenek
Ya, tetapi kau yang melakukannya.
131. Kakek
Suka sama suka kan?
132. Nenek
Tetapi setelah aku tua?
133. Kakek
Boleh. Kenapa tidak. Wong pekerjaan enak saja….
134. Nenek
Cihuiiiiii…. mari kita bikin video klip lagunya Jamrud!
135. Kakek
Lo, kok video klip? Katanya kita mau mainin kuda-kudaan
136. Nenek
Sama saja. Cuman beda istilah. Ayo..udah kebelet nih!

(lighting black out. Musik romantis mistis. Layar putih turun)

137. Nenek
Say, kenapa lampunya kau matikan.
138. Kakek
Saya tidak mematikan?
139. Nenek
Lalu siapa?
140. Kakek
Tidak tahu!
141. Nenek
Cari tahu dong!
142. Kakek
Pada siapa?
143. Nenek
Pada siapa saja.
144. Kakek
Di sini tidak ada orang selain kita.
145. Nenek
Lalu kenapa lampunya dimatikan?
146. Kakek
Aku malu.
147. Nenek
Malu pada siapa?
148. Kakek
Pada diriku sendiri.
149. Nenek
Kenapa emang?
150. Kakek
Aku kan sudah tua.
151. Nenek
Kenapa, takut tidak mampu?
152. Kakek
Bukan.
153. Nenek
Lalu, kenapa?
154. Kakek
Takut tidak bisa dua kali…
155. Nenek
Ah, ngaco. Ayo kita mulai, begitu saja ribut. Nyalakan lampunya, kan tidak ada orang.
156. Kakek
Aku suka lampunya padam.
157. Nenek
Say, kita ini sudah tua. Mata kita sudah rabun, masak bisa begini. Nyalakan saja. Aku lebih suka yang terang.
158. Kakek
Tidak enak. Mengganggu konsentrasi. Lebih baik begini.
159. Nenek
Say kalau begini terus kapan kita mulai. Lagian siapa tahu, keliru memasukannya.
160. Kakek
Hus, didengar tetangga.
161. Nenek
Biarin, tetanga kita lagian pasti lagi beginian. Ya, sudah kalau tidak mau menyalakan, saya nyalakan sendiri.
162. Kakek
Say, aku tidak bisa. Biar lebih adil, pakai lampu remang-remang ya. Romantis.
163. Nenek
Ah sudahlah terserah kamu.
164. Kakek
Say tidak boleh begitu. Bukankah kau tahu kebiasaannku. Ligtingman! Coba buat lampunya remang-remang. (pause) Ya, begitu. Terima kasih. He..jangan ingintip ya! Ini urusan orang tua.
165. Nenek
Ah sudah. Kamu itu bicara dengan siapa. Ayo kita mulai.
(Musik romantis. Lighting biru. Kakek nenek hanya kelihatan siluet. Kupu beterbangan. Burung-burung beterbangan. Matahari bercahaya terang saling berciuman dengan bulan yang tersenyum riang. Bintang berkedip-kedip, memberikan isyarat cinta. Kabut tipis membelai gemuai tubuh yang berpelukan. Suara nyanyian dari dewa-dewi cinta)

Kisah Cinta
Sungguh indah, kisah cinta
Yang pernah aku rasa dan alami
Indah dan menarik hati
Tak kan ku lupa sampai akhir nanti
Walau seribu tahun, tlah berlalu
Kisah cintaku tak akan beku
Andai kisah cinta sekuntum bunga
Tak akan layu ditelan masa.
Kisah cinta, kisah surga
Yang pernah aku rasa dan alami
Bergetar hati di dada
Bagaikan hidup sribu tahun lagi

(Lighting Break in)






















Babak II

(Sesosok tubuh hadir dengan berguling-guling dan berputar-putar)
166. Nenek
He, siapa kamu! Kenapa kamu menerombol, ketika kami sedang bersetubuh. Kamu tidak menghargai waktu. Semestinya kau tidak menerombol masuk seperti itu. Kamu harus tahu sopan santun. Masuklah dengan cara yang benar. Bukankah sudah kami bilang, jangan sekali-kali mengacaukan keadaan. Kenapa kamu tiba-tiba mengacaukan ketenangan ini. Tidak berbudaya!
167. Kakek
Sudah aku bilang, aku tidak suka lampu menyala. Kini kita ketahuan.
168. Nenek
Dia, memang kurang ajar.
169. Kakek
Siapa dia?
170. Nenek
Anakmu!
171. Kakek
Anakmu juga!
172. Nenek
Anakku? Anakmu? Kapan aku melahirkan?
173. Kakek
Kapan kamu melahirkan?
174. Nenek
Tidak ada tanda-tanda.
175. Kakek
Tidak hamil? Aneh
176. Nenek
Ngacau. Maksudku, kapan kita membuatnya. Bukankah kau tak pernah menghamiliku!
177. Kakek
Gila. Kau menghinaku! Dikiranya aku mandul begitu? Kalau aku tidak menghamilimu, berarti kau telah dihamili orang lain.
178. Nenek
Lancang! Menuduh seenaknya. Dikiranya aku suka berbuat begitu.
179. Kakek
La buktinya saya tidak menghamili kamu kok punya anak.
180. Nenek
Siapa punya anak. Ia bukan anakku!
181. Kakek
Bukan anakmu?
182. Nenek
Ya. Tetapi anak kita!
183. Kakek
Lalu apa bedanya?
184. Nenek
Kenapa semua ditimpakan kepadaku. Bukankah kamu yang maksa-maksa punya anak?
185. Lanang
Aaaaaaaaddddddduuuuuuhhhhhhhhhh.Luuuuukkkkkaaaaa!!!!!

186. Kakek
SSSStttt. (Mengamati tubuh Lanang) Tubuhnya penuh luka?
187. Nenek
Lelaki harus begitu!
188. Kakek
Ini anak kita?
189. Nenek
Kenapa ia tiba-tiba datang, sementara kita masih dalam separuh perjalanan.
190. Kakek
Lanang, kenapa tubuhmu luka. Sudah aku bilang jalanan, masih penuh jurang, kau pergi juga. Apakah kau sudah menemukan jalan yang lapang. Kenapa kau kembali saat kami masih bersetubuh. Ini bukan saatmu hadir.
191. Lanang
Tubuhku luka. Luka-lukaku, di tubuhku terluka-luka.
192. Nenek
Adadakah kata-kata yang bisa aku mengerti.
193. Kakek
Itu bahasa penyair.
194. Lanang
Waktuku terluka, terluka-luka waktu-waktu di tubuh.
195. Kakek
Mengerti? (pada nenek)
196. Nenek
Luka sekali kelapa….eh kepalaku
197. Kakek
Hus…ngacau
198. Lanang
(Bergerak berpusingan, seperti gangsingan) Tubuhku waktu. Luka tubuhku kehampaan waktuku berlalu. (Berputar-putar. Jatuh) Jatuh waktu hampa lalu di tubuhku. Menjadi waktu luka dalam waktu tubuhku. (Berterbangan) Seperti waktu angin luka. Awan luka. Matahari luka. Bulan luka. Bintang luka. Galaksi terluka. Planet terluka. Tuhan terluka. Lalu duka. (Melayang-layang) Mengawan waktu. Tubuhku kaku kelu lalu beku dalam waktu batu.
199. Kakek
Omong apa?
200. Nenek
Mengigau?
201. Kakek
Edan
202. Nenek
Gendeng
203. Kakek
Koclok! Tidak waras!
204. Nenek
Idem.
205. Lanang
Karena waktu. Lalu tubuhku waktukan. Jadilah batu, batu, dan batu.
206. Kakek
Say, kita dikutuk jadi batu.
207. Nenek
Kita manut saja. Ayo, kita jadi batu saja.
208. Kakek
Seenaknya. Apakah kita nanti masih bisa bertemu, kalau jadi batu. Batu kan beku. Bisa-bisa kita dibuang di kali dan dijadikan tempat orang buang tai..hi..hi.
209. Nenek
Kalau begitu kita lari saja!
210. Kakek
Kemana?
211. Nenek
Kemana saja.
212. Kakek
Kok tidak punya tujuan.
213. Nenek
Ini perjuangan. Ini kehormatan kita. Kita lari saja say, dari pada menjadi batu.
214. Lanang
Ibu. Jangan lalu. Karena luka waktu belum lalu. Aku anakmu. Ibu. Kenapa kau tidak tahu. Akulah anakmu!
215. Nenek
Dia menyebutku ibu?
216. Kakek
(mengangguk)
217. Nenek
Berarti anakmu juga!
218. Kakek
Belum tentu…
219. Nenek
Kok belum tentu. Kalau aku ibunya pasti kamu bapaknya.
220. Kakek
Tidak bisa disimpulkan begitu. Enak saja nuduh orang..
221. Nenek
Bukankah aku istrimu!
222. Kakek
Apakah seorang istri mesti mendapat anak dari suaminya?
223. Nenek
Lalu dari mana, kalau bukan dari lelakinya. Kamu mau mangkir. Dasar lelaki. Kalau begitu anak siapa dia?
224. Kakek
Lebih baik ditanya saja. Dari pada saling tuduh.
225. Lanang
Bapak! Kenapa kau berlagak, congkak. Dengan menistakan aku sebagai kuntil anak!
226. Kakek
Mateng aku! Ia menyebut aku bapak!
227. Nenek
Begitu masih mau mangkir. Dasar, otak kadal. Semakin tua, tambah kayak brandal. Untung aku masih sabar.
228. Lanang
Bapak! Kenapa kau biarkan badai merajam-rajam tubuhku.
229. Kakek
Aduh. Ia nyebut aku bapak lagi, bapak lagi. Bocah, kau sebenarnya bukan anakku. Kau lahir dari rahim ibumu. Kenapa kau terus menguntitku.
230. Nenek
Pengecut. Mana ada seorang ibu melahirkan tanpa bapak. Tanpa disentuh suaminya?
231. Kakek
Lanang coba ceritakan. Siapa dirimu sebenarnya.
232. Lanang
Aku dari sebuah harapan yang bertemu dalam dua arus. Kemudian menggumpal menjadi daging sebesar mundu. Tiba-tiba angin bertiup deras dari tempat yang gelap. Ia datang seperti kilat, meniupkan bau kasturi. Aku merasakan kehangatan wewangian itu. Aku bangun dan merasa berada dalam selimut. Selimut itu seperti sutra tetapi kuatnya, seperti baja. Aku hendak keluar. Tetapi suaraku menatap-natap dinding sutera itu. Aku terbelengu. Aku diam. Aku tidak tahu siapa ibuku. Aku hanya tahu, setiap wanita adalah ibuku dan setiap laki-laki adalah bapakku.
233. Kakek
Kalau begitu kau anaknya siapa?
234. Nenek
Pertanyaannya tidak boleh begitu. Itu, memojokkan. Beri pertanyaan yang demokratis. Bocah, kamu memang anak kami. Tetapi, kamu belum terdaftar. Apakah kamu mengakui kami orang tuamu?
235. Lanang
Kenapa semua orang tua selalu berdusta? Berilah aku jawaban yang pasti. Berilah aku hari esok yang terang benderang. Bukan yang gelap gulita. Aku hanya ingin itu. aku tidak mau berdebat siapa kamu. Tetapi akuilah aku anakmu.

(Berguling-guling lagi, kemudian mlungker seperti trenggiling)

236. Kakek
Dia tertidur.
237. Nenek
Terlalu banyak omong. Dia kepayahan.
238. Kakek
Dia datang dari jauh sepertinya. Aku merasakan ia didatangkan oleh rasa kangen kita, akan wujud kita sendiri. Barangkali benar, ia adalah separuh perjalan kita. Semestinya kita tahu, bahwa ia adalah separuh perjalan diri kita. Ia benar. Ia anak kita!
239. Nenek
Rahimku bergetar ketika ia mengenduskan rasa dukanya. Ia pernah menorehkan luka di tubuhku. Barangkali ia benar, anak kita.

(Dari sudut lain, seorang perempuan, berguling-guling dengan tubuh penuh luka)

240. Wedok
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
241. Kakek
Aku pernah mendengar lagu itu.
242. Wedok
Sayang engkau tak duduk di sampingku, sayang.
243. Kakek
Jelas aku menyukai lagu ini.
244. Wedok
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan.
245. kakek
Di tanah kering bebatuan.
246. Nenek
Hus ngacau….!
247. Wedok
Kekacauan terjadi dimana-mana. Aku berjalan seorang diri. Luka-luka ku bawa berlari. Berlari hingga hilang pedih peri.
248. Kakek
Wah dia bakat jadi penyair.
249. Wedok
Aku terluka. Jalanan penuh luka. Orang-orang terluka. Mereka terluka. Semua terluka. Aku terluka. Tiada bapa. Tiada mama. Luka-luka. Aku terluka. Terluka-luka aku.
250. Nenek
Say, apakah ia anak kita.
251. Kakek
(Geleng kepala)
252. Wedok
Ia tidak tahu. Ia membatu. Ia tidak tahu. Ia membatu. Kami terluka-luka. Ia membatu.
253. Kakek
Aku memang tidak tahu. Apakah mereka anak-anak kita. Mengapa mereka datang seperti hantu yang meneror kita. Oh, kehidupan ini….Mengapa ia terluka-luka. Aku tidak tahu…..say…
254. Wedok
Kakak. Mengapa engkau terdiam. Dimana arah mata angin. Apakah kita telah sampai pada neraka. Dimana surga?!
255. Nenek
Dia menyebut kakak.
256. Kakek
Mereka bersaudara. Bersaudara dalam suka dan duka.
257. Wedok
Kakak mengapa engkau diam seribu bahasa. Di mana surga?
258. Kakek
Di bawah telapak kaki Ibu..
259. Wedok
Ibu, mengapa surga kau sembunyikan di bawah kakimu? Mengapa kau serakah dengan kenikmatan. Kenapa penderitaan kau timpakan pada anak-anak luka?
260. Nenek
Saya tidak tahu kalau surga ada di bawah kakiku. Sampai aku menjelang ajal, aku tidak pernah merakan kenikmatan. Malah aku sering bertanya-tanya, mengapa manusia terus hidup dalam kubangan penderitaan. Aku benar-benar tidak tahu…Aku …tidak menyembunyikan apa-apa di dalam tubuhku.
261. Wedok
Kalau begitu dimana surgamu?
262. Nenek
Dibawa bapakmu. Dialah yang merebut segala kenikmatanku. Dialah yang menguasai segala kenikmatan. Dialah penghuni surga. Penguasa surga!

263. Wedok
Bapak…
264. Kakek
Mateng aku….!
265. Wedok
Dimana surga. Kami anak-anak luka. Mengapa kau sembunyikan kenikmatan itu. Kami pingin mampir dalam perjalanan yang melelahkan penuh luka ini. Kakak, bangunlah dari luka aku telah melihat surga di bawah telapak kaki bapak.

(Lanang dan Wedok, bergerak berpusingan. Berguling-guling)

266. Kakek :
Baiklah-baiklah. Akan aku tunjukan dimana surga berada. Mari kita naik perahu.
267. Nenek :
Perahu? Perahu kita sudah hancur. Aku tidak tahu, kemana perginya puing-puingnya. Dermaga itupun telah aku hapus dari peta mataku.
268. Kakek :
Barangkali begitu… Tetapi apa salahnya kita membuat perahu demi anak-anak kita…(ragu-ragu)
269. Nenek :
Kok barangkali? Yang tegas dong…
270. Kakek :
Aku tak bisa menjawab pasti. Karena kepastian belum tentu memberikan jawaban yang benar. Lanang adalah kebenaran yang tidak bisa dipastikan. Lanang adalah sejarah kita yang hidup. Ia adalah waktu kita. Ia adalah anak jarum waktu yang terus bergerak menggantikan kita berjalan menyusuri waktu.
271. Nenek :
Saya tidak tahu?
272. Kakek :
Jangan belagu, lu!
273. Nenek :
Aku memang tidak tahu!
274. Kakek :
Ya, sudah kita pergi saja! Mari kita bersama-sama berlayar mencari surga!

(Berlayar. Panggung padam. Siluet kapal-kapal. Samudra berderai-derai. Angin berhembus tajam sekali. Perahu pontang-pantingan. Sementara luka semakin luka. Duka semain duka. Tubuh mereka melayang-layang. Terhempas di tengah gelombang besar. Badai. Mereka berlayar pantang menyerah, sampai jauh sekali)

275. Nenek
Pelan-pelan kek. Di sana ada karang..Lagian nanti kamu cepat kepayahan.
276. Kakek
Cerewet kamu. Lebih cepat lebih baik. Biar cepat sampai.
277. Nenek
Sampai dimana?
278. Kakek
Kita tadi menuju kemana?

279. Koor
Surga?
280. Kakek
Betul!
281. Nenek
Emang disana ada surga?
282. Kakek
Say..kenapa pertanyaanmu begitu sulit, sementara perjalanan ini masih jauh sekali!
283. Nenek
Saya cuman butuh jawaban ada atau tidak?
284. Kakek
Itulah yang saya maksud. Saya tidak tahu..
285. Nenek
Jadi kamu sendiri tidak tahu? Lalu buat apa kita berlayar sejauh ini?
286. Kakek
Kamu jangan cerewet….! Nanti didengar anak-anak kita!
287. Nenek
Jadi kamu bohong?
288. Kakek
Saya sendiri tidak yakin di sana ada surga!
289. Nenek
Jadi kamu tidak yakin kalau surga ada?
290. Kakek
Untuk menyenangkan anak-anak, aku percaya.
291. Nenek
Jadi kamu menipu?
292. Kakek
Untuk kebaikan tidak apa-apa.
293. Nenek
Menipu kok untuk kebaikan! Menipu ya menipu. Kalau tidak ada surga, mengapa kita terus menempuh bahaya seperti ini?
294. Kakek
Sudah aku bilang dalang menyampaikan pertanyaan yang sulit di saat yang sulit. Ini menjadi blundeer…tidak akan selesai-selesai.
295. Nenek
Saya tidak mempersulit. Justru kamulah yang membuat kita sulit. Kalau tidak ada surga mengapa kita menempuh penderitaan ini begitu panjang?
296. Kakek
Saya tidak mengatakan surga tidak ada. Tetapi saya tidak tahu…
297. Nenek
laki-laki kok tidak tegas. Jelaskan ada atau tidak, biar kita tidak pontang-pantingan seperti ini.
298. Kakek
Sudah saya bilang saya tidak tahu…!!!!
299. Nenek
Harus tahu!!!
300. Kakek
Kalau saya tahu, saya tidak sudi hidup seperti ini!

(Tiba-tiba ombak membesar)

301. Nenek
Awas say, ombaknya semakin besar!

(Ombak bertubi-tubi menghajar perahu mereka yang kecil)

302. Kakek
Semua berkonsentrasi. Sampan tetap terkendali. Jaga keseimbangan!
303. Nenek
Di depan itu karang atau perahu besar!
304. Kakek
Bukan itu ombak yang bergulung. Ayo semua berpegangan erat-erat jangan sampai terlepas. Awas berpegangan yang erat. Say kamu berpegangan di tempat yang salah…aduh sakit sekali!
305. Nenek
Say, kamu berjanda. Kita sedang menentang bahaya.
306. Kakek
Iya, tapi lebih berbahaya kalau ‘burungku’ tertimpa bencana!
307. Nenek
Ah sudahlah. Ombak semakin dekat!
308. Kakek
Anak-anaku berpeganglah. Kita akan digulung ombak besar. Jalan menuju surga memang tidak gampang. Berpeganglah erat-erat!
309. Nenek
Sssstttt…emang mereka anak kita?
310. Kakek
Say, kenapa kau ajukan pertanyaan sulit. Selagi menyongsong maut, anggaplah semua ini milik kita. Sekali lagi anak-anakku…ombak semakin dekat. Berpeganglah!

(Ombak setinggi gunung menelan perahu. Mereka terpental berpencaran. Ombak semakin menggila. Angin membadai. Hujan membadai. Petir menyambar-nyambar. Teriakan mereka ditelan gelegar ombak. Badai berlalu. Sunyi. Angin tipis sekali)


Babak III

(Lampu perlahan terang. Kakek nenek berada di suatu tempat. Sementara Lanang dan Wedok di tempat lain)

311. Lanang
Kita berada dimana. Apakah ini Surga?
312. Wedok
Pasti ini disurga. Tubuh kita yang terluka sudah sembuh. Dan aku merasa bahagia.
313. Kakek
Aduh punggungku sakit sekali. Encokku kumat..Say..bangun jangan tidur terus.
314. Nenek
Aduh punggungku sakit sekali. Encokku kumat..Say..bangun jangan tidur terus.
315. Kakek
Kok sama?
316. Nenek
Disurga kan tidak ada perbedaan…semua sama bahagia.
317. Kakek
Ya..tapi kita kan sakit!
318. Nenek
Wah jangan-jangan kita keblasuk ke nereka?
319. Lanang
Aku bahagia sekali. Ini tempat yang kita tuju. Tetapi dimana orang yang tadi…?
320. Wedok
Orang siapa?
321. Lanang
Orang yang mengantar kita kesini?
322. Kakek
Saya tidak tahu. Tapi kemana anak-anak tadi?
323. Nenek
Mengigau! Anak siapa?
324. Kakek
Anak yang bersama kita tadi?
325. Nenek
Ngacau sejak bertahun-tahun kita sendiri..kok anak…!
326. Wedok
Orang yang mengaku orang tua kita itu to…?
327. Nenek
O..saya ingat. Anak yang mengaku anak kita to..?
328. Lanang
Betul!
329. Kakek
Cocok. Dia tadi bersama dalam pelayaran ini!
330. Nenek
Berlayar kemana lagi? Wong sejak tadi kita tidur disini. Ngimpi kali..ye…?
331. Lanang
Dia kan yang mengajak kita berlayar sampai jauh…?

332. Wedok
Berlayar…ah. Sejak tadi kita tiduran disini…?
333. Kakek
Betul dia anak kita!
334. Lanang
Betul mereka orang tua kita..
335. Nenek
Kamu jangan menyindir saya. Meski saya tidak bisa beranak…kamu jangan mengungkit-ngungkit masa lalu. Bukankah kamu sudah berjanji?
336. Wedok
Kamu jangan menyindir saya. Meski saya bukan anak orang tidak jelas..kamu jangan mengungkit-ngukit masa lalu. Bukankah kamu sudah berjanji?
337. Kakek
Maksud saya bukan begitu. Saya benar-benar diikuti dua anak yang mengaku anak-anak kita.
338. Lanang
Maksud saya bukan begitu. Saya benar-benar ikut dua orang tua yang mengaku orang tua kita.
339. Wedok
Dasar Laki-laki!
340. Nenek
Dasar laki-laki!
341. Kakek
Saya ngomong sebenarnya, saya tadi melihat dua anak-anak. Saya tidak bohong. Kalau bohong buat apa saya katakan. Di surga tidak ada kata-kata bohong?
342. Nenek
Kalau begitu kita di neraka. Kalau disurga mengapa tiba-tiba encok kita kumat. Kan, di surga tidak ada rasa sakit yang ada hanya bahagia. Kita malah encok dan bertengkar melulu.
343. Kakek
Itu karena tingkahmu. Coba kalu kau merasa bahagia, dan tidak merasa sakit. Pasti terasa di surga.
344. Nenek
Mulai bersilat lidah. Bukankah kita sejak tadi tidak berajak kemana-mana. Sejak tadi, sejak kemarin, sejak kemarin lusa, sejak kemarin-marin, sejak seminggu, sejak sebulan, sejak setahun, sejak sewindu, sejak seabad-abad yang lalu, kita sudah berada disini. Baru beberapa detik yang lalu kita bersetubuh. Lalu engkau mengerang-ngerang karena rasa punggungmu seperti tertusuk-tusuk jarum suntik. Apakah ini surga? Kalau ini neraka saya percaya! Dasar pikun.
345. Lanang
Saya ngomong sebenarnya, saya tadi melihat dua orang tua. Saya tidak bohong. Kalau bohong buat apa saya katakan. Di surga tidak ada kata-kata bohong?
346. Wedok
Mulai bersilat lidah. Bukankah kita sejak tadi tidak berajak kemana-mana. Sejak tadi, sejak kemarin, sejak kemarin lusa, sejak kemarin-marin, sejak seminggu, sejak sebulan, sejak setahun, sejak sewindu, sejak seabad-abad yang lalu, kita bersama-sama. Terluka-luka. Berduka-duka. Bersuka-suka. Apakah kita pernah beranjak dari semua yang telah kita rasakan bersama. Apakah kita telah benar-benar menemukan bapak ibu kita. Kalau sudah, berarti kita benar di surga? Jangan-jangan rasa sakit yang telah berabad-abad ini terasa kita menjadi kenikamatan yang ektase. Apakah kita telah lupa dengan rasa sakit?
347. Lanang
Stoop…jangan kita melupakan rasa sakit. Rasa sakit membuat kita bisa merasakan kebahagiaan. Barangkali beginilah kenikmatan yang harus kita tempuh. Barangkali inilah surga?
348. Kakek
Ini memang bukan surga. Kalau di surga, tidak ada orang secerewet kamu. Sudah aku bilang, saya telah beralayar dengan dua anak yang terluka. Dia seperti saya ketika waktu muda, atau waktu kecil, atau waktu masih bayi. Saya merasakannya. Saya menggigil ketika dia menyebut saya bapak. Jangan mereka benar-benar anak kita.
349. Nenek
Mereka anak kita? Apakah disini neraka atau surga? Saya tetap tidak mengerti. Saya tidak bisa menduga-duga. Mengapa tiba-tiba saya terasa pikun?
350. Kakek
Sudah ku bilang….bahwa sebenarnya kita di neraka. Kita sudah pikun. Kita tidak pernah merasakan kebahagiaan lahir batin. Inilah waktu senjakala. Waktu malaikat maut itu mendekati kita, membisikan kata-kata yang membuat jantung kita terputus, organ-organ kita terlepas berhamburan, melayang-layang menjadi rebutan milyaran bakteri. Dan kita mati!
351. Wedok
Apakah kita sudah mati? Kita berada di surga? Mengapa kita mengatakan sedang di surga, kalau rasa sakit masih bisa menjemput kita. Ini bukan surga dan barangkali juga bukan neraka!
352. Lanang
Lalu dimana kita?
353. Nenek
Kita di kuburan?
354. Kakek
Di jagad maha luas. Jagad yang tiada batas oleh ruang dan waktu.
355. Wedok
Di jagad maha luas. Jagad yang tiada batas oleh ruang dan waktu.
356. Koor
Wooow…luas sekali.
357. Koor
Wooow..luuuuaaaasss sekaaaaallliiii…..

(Mereka beterbangan bagai burung-burung, menggapai angkasa. Bermain-main dengan matahari. Bermain dengan bulan. Bermain petak umpet di bailik awan. Berloncat-loncatan dari bintang ke bintang. Semua dilakukannya dengan perasaan riang gembira. Mereka tertawa-tawa. Mereka bernyanyi-nyanyi. Memetik rintik-rintik hujan. Melupakan keluh kesah.)

358. Kakek
Say, aku merasakan bahagia.
359. Nenek
Saya, aku merasakan bahagia.
360. Lanang
Dinda, aku merasakan bahagia sekali.
361. Wedok
Kanda, aku juga merasakan hal yang sama.
362. Kakek
Ternyata surga tidak ada dimana-mana. Surga ada dalam diri kita sendiri-sendiri. Surga kita rasakan ketika kita merasakan kelapangan dada menerima segala yang dicobakan pada kita. Say, aku merasa bahagia. Karena kini aku tahu, senjakala itu adalah kebahagian yang menjemput. Ia bukan maut yang kita takutkan selama ini. Terompet itu, adalah musik surgawi yang dimainkan para malaikat, untuk menjemput para kafilah yang pulang setelah menempuh perjalanan maha lama dan menyakitkan. Say, aku merasa bahagia sekali. Say, apakah kau juga bahagia?
363. Nenek
Say, aku bahagia. Aku bahagia, meski aku tidak tahu, apa yang sedang aku rasakan. Apakah saya bahagia, atau saya merasa sedih. Aku telah berlapang dada. Kebahagiaan dan rasa sakit telah aku terima dengan lapang dada. Tetapi aku seperti tidak bahagia. Aku tidak mengerti. Sepertinya dalam diriku masih ada kabut. Kabut itu begitu menyesakan dada. Apakah ini yang disebut sebuah keniscayaan….?
364. Lanang
Dinda, kini aku tidak menyesal. Kita telah menuju alam untuk menuju ke alam yang lain. Penderitaan ini adalah untuk menuju kebahagiaan sejati. Meski tubuh kita telah terluka-luka, aku masih percaya bahwa kebahagian tidak bisa terluka. Aku bahagia dinda, meski perjalanan ini masih teramat panjang dan luka-luka kita masih terus menganga.
365. Wedok
Aku bahagia. Meski dalam perjalanan ini kita terluka-luka. Hatiku kini lapang menerimanya. Barangkali ini adalah titik awal untuk menuju kebahagiaan sejati. Dadaku terasa lapang sekali menerima nasib seperti ini. Itulah yang membuatku tidak merasa cemas lagi. Saya bahagia sekali kanda, meski kita adalah anak haram jadah.
366. Kakek
Say, kau jangan ragu-ragu menerima kenyataan ini. Ini bukan keniscayaan. Tapi kenyataan. Percayalah keniscayaan itu pasti akan segera menjadi realitas yang membahagiakan. Kita jangan terlalu takut dengan mimpi tua kita. Meski senjakala telah menjemput, kita harus tetap tersenyum dari rasa sakit yang tak bisa terobati selain dengan rasa bahagia itu.
367. Nenek
Ada kalanya kau berkata jujur dan pintar, sayangku. Itulah yang membuat aku semakin tak bisa meninggalkanmu dalam penderitaan ini.
368. Kakek
Ah, kau jangan merajuk lagi. Kalau ada maunya kau pasti memujiku seperti itu.
369. Nenek
Kamu mulai meledek. Begitulah kamu masih saja egois. (diam seribu kata wajahnya tampak suntrut)
370. Kakek
Waduh…ngondokan…Hei, kalau kamu marah tambah kelihatan cantikmu. Sayang cantik-cantik kumisan…ha ha..ha..ha ha….
371. Nenek
Hik..hik..s…say! (tertawa manja) ini aku serius. Kau jangan begitu….
372. Kakek
Tak ting tung-tak ting tung….hulik hulik…hulik. Gitu aja marah…eit…mbok jangan serius begitu. Hi hi hi….Ayo. aku tahu maksudmu…camon..say!
373. Nenek
(malu-malu) Tidak! Aku di sini saja. Kamu sudah loyo begitu…
374. Kakek
Lo..lo..lo, meremehkan. Saya tadi sudah minum ramuan tangkur dinosaurus dicampur kaki gajah, direndam dalam darah macan kemudian di jus dengan daging kuda…kok. Ayo…mumpung tidak ada orang!

(Musik romantis. Lampu tipis sekali. Terdengar suara tangisan)

375. Lanang
Apakah kau mendengar tangisan.
376. Wedok
Ya…saya mendengarnya.
377. Lanang
Seperti suara tangis kita ya…?
378. Wedok
Ya…saya juga merasakan begitu. Tapi dimana suara itu?
379. Lanang
Terasa dekat sekali ya?
380. Wedok
Betul..itu suara ku. Seperti menangis pilu. Tapi kok seperti nenek-nenek ya?
381. Lanang
Betul…suara itu dalam dada.. atau dalam tubuhku ini…ia menangis. Ia seperti suaraku. Tapi kok seperti kakek-kakek ya…?
382. Wedok
Jangan-jangan ia ibu yang kita cari?
383. Lanang
Jangan-jangan ia bapak yang kita cari?
384. Wedok
Kenapa mereka menangis dalam tubuh kita?
385. Lanang
Aku mengerti sekarang. Yang kita cari sudah ketemu. Kita sudah menemukan ibu dan bapak kita. Mereka ternyata mengeram dalam sanubari kita. Meski kita tidak tahu dimana mereka.
386. Wedok
Jadi, kita adalah orang tua kita sendiri? Aku ibu dan kau adalah bapak?
387. Lanang
Ya kita adalah orang tua diri kita sendiri.
388. Wedok
Aku tidak mengerti…mengapa jadi begini. Aku pingin tahu mereka ada. Mereka nyata ada di depan mataku…
389. Lanang
Percuma…kita lakoni saja, lakon hidup seperti ini. Bukankah kita telah berjanji, akan menerima semua apa yang terjadi apa yang harus terjadi dan menimpa kita. Kini anggaplah, aku bapakmu dan kau ibuku.
390. Wedok
Kau akan berjanji bersamaku sampai kita mati nanti…?
391. Lanang
Percayalah. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Ibu!
392. Wedok
Mari, Bapak!

(Mereka bergerak berpusingan seperti taupan)

393. Kakek
Say, dadaku bergemeruh, ketika menyentuh tubuhmu…
394. Nenek
begitulah kau. Belum apa-apa pasti sudah KO…
395. Kakek
Bukan begitu, maksudku, aku merasakangetaran yang aneh dalam tubuhku. Aku merasakan kau adalah anakmu…!
396. Nenek
Anakmu?
397. Kakek
Begitulah sebenarnya. Kata hatiku, kau adalah anakku dan aku adalah anakmu jua…!
398. Nenek
Jadi kita adalah anak dari diri kita sendiri?
399. Kakek
Tiba-tiba, aku merakan begitu. Barangkali ini jalan terbaik dan terindah untuk melupakan kesendirian kita. Anggaplah aku anakmu dan kau anakku.
400. Nenek
(diam terpaku, seperti belum percaya dengan kata-kata Kakek). Begitu mudahkan kita menyimpulkan arti kesunyian, arti kesepian, arti kesendirian, arti semua penderitaan yang telah kita tempu berjuta lamanya? Aku masih belum bisa menerima…
401. Kakek
Anakku, pada suatu hari nanti, kamu pasti menerimanya. Karena ksunyian ini hanya kita yang bisa mebuatnya menjadi kegaduhan. Dan anak-anak kitalah yang membuat waktu menjadi terpecah belah. Kita meski menyatu, bahwa anak-anak kita ada dalam diri kita. Bukankah kau pingin punya anak?
402. Nenek
(Mengangguk. Tak terasa air matanya meleleh)
403. Kakek
Jangan menangis. Mari bermain lagi anakku? Kita lupakan kesedihan ini dengan bermain-main. Kamu mau aku maikan apa? Burung terbang? Atau aku bernyanyi…? Boleh aku bernyanyi? Apa membaca syair? Baiklah aku akan membaca syair, untuk menghibur anakku.

(Kakek membaca syair sekenanya, sampai nenek tertawa terpingkal-pingkal melihat polah tingkah kakek yang lucu saat membaca syair. Sementara tirai putih perlahan-lahan turun. Lampu-lampu gedung kembali dinyalakan. Senja memerah, pertanda malam akan menjelang)

Surabaya, Desember 2003
(Naskah ini aku persembahkan pada istriku tercinta, sahabatku di Ngawi dan teman teman teater Institut Unesa)