Halaman

Minggu, 07 September 2008

SEBELUM DEWA-DEWI TIDUR

Oleh : R Giryadi

Catatan : naskah ini pernah diikutkan lomba naskah teater (bukan drama?) remaja Taman Budaya Jawa Timur 2008.

DEWI MASUK DENGAN WAJAH DITEKUK. IA MELEMPARKAN TUBUHNYA DI TEMPAT TIDUR. IA MENGGELEPAR SEPERTI IKAN DALAM KULKAS. DEWI MENGHIDUPKAN TV. DARI LUAR TERDENGAR SUARA IBU, MENGOMEL. ENTAH APA YANG DIOMELKAN. DEWI MENUTUP KUPING DENGAN BANTAL.

TETAPI SUARA IBU MALAH SEMAKIN KERAS. IBU BERBICARA DENGAN PENGERAS SUARA. DEWI SEMBUNYI DI KOLONG TEMPAT TIDUR. SUARA IBU MALAH SEMAKIN MENEROR.

TIBA-TIBA TERDENGAR PINTU DI KETUK. DEWI BERGEMING. KETUKAN SEMAKIN KERAS. SEIRING DENGAN SUARA KETUKAN, HP DEWI BERBUNYI.



1. DEWI

(Mengangkat HP) Dewa, kenapa kamu telpon malam-malam. Ibuku sedang marah besar! (Pause) Tidak bisa tidur? Aku juga nggak bisa tidur. Pintuku digedor-gedor Ibu!

2. IBU

(Dari speaker yang dipasang dekat pintu kamar suara ibu terdengar keras) Dewi! Apakah kamu tidak dengar ibumu berbicara. Hari ini kamu sudah membaca koran atau belum! Kalau sudah halaman berapa? Apakah halaman satu yang hanya melulu berbicara politik. Seolah-olah negeri ini hanya urusan politik yang paling penting. Atau kamu hanya membolak-baliknya, kemudian mencampakannya.

Kamu sudah baca belum! Kalau sudah halaman berapa? Apakah halaman hiburan, yang hanya menyajikan gosip, gosip, dan gosip, seakan-akan artis-artis itu tidak punya harga diri.

Halaman berapa? Apakah kamu membaca halaman olah raga, yang hanya menyajikan tawuran supporter dan pemain. Sungguh keterlaluan negeri ini. Tidak ada yang layak dikonsumsi. Jadi kamu tadi baca halaman berapa.

(Ibu menggedor pintu). Dewi, apakah kamu tidak punya telinga!

3. DEWI

Punya!

4. IBU

Kalau begitu jawab pertanyaan ibu? (Pause) Apakah kamu tidak punya mulut!

5. DEWI

Punya!

6. IBU

Jadi kenapa kamu tidak menjawabnya. Buka pintunya! (Ibu menggedor pintu)

7. DEWI

Aku tidak mengerti pertanyaan Ibu.

8. IBU

Apa? Jadi aku berbicara panjang lebar itu kamu tidak mengerti. Lalu kamu punya otak atau tidak?



9. DEWI

Punya.

10. IBU

Lalu mengapa kamu tidak mengerti!

11. DEWI

Suara Ibu terlalu keras. Kamar ini menjadi bising sekali.

12. IBU

(Dari speaker) Kalau begitu keluarlah. Ibu mau bicara.

13. DEWI

Kalau tidak penting besuk saja. Aku akan tidur.

14. IBU

(Dari speaker) Ini sangat penting.

15. DEWI

Pentingnya Ibu tidak sama dengan kepentingan aku.

16. IBU

(Mendobrak pintu) Anak durhaka! Jadi seperti ini anak muda sekarang. Tidak ada salahnya kalau koran-koran memberitakan seperti ini. Baca ini! (Melempar koran, tabloid, dan majalah ke Dewi)

DEWI MEMBACA KORAN. TIBA-TIBA SUARA SIRINE MERAUNG-RAUNG. GEROMBOLAN PETUGAS KEAMANAN SEDANG MELAKUKAN RASIA. ANAK-ANAK PEREMPUAN SEUSIA DEWI BERLARIAN. ANAK-ANAK ITU AKHIRNYA TERPERANGKAP JARING PETUGAS. KEMUDIAN DIINTROGRASI.

Lighting fade out-fade in

17. PETUGAS GENDUT

Kalian semua ditangkap karena telah melanggar jam belajar. Sudah jam segini keluyuran, apa tidak belajar kalian?

18. KOOR

Kami bekerja, Pak!

19. PETUGAS GENDUT

Bekerja kok malam-malam?. Kamu bekerja apa?

20. KOOR

Menjadi ‘ayam abu-abu.’

21. PETUGAS GENDUT

Jadi kamu jualan ayam. Mana ayamnya? Di sini dilarang jualan. Kamu tahu tidak larangan itu. (Menunjuk tanda larangan)

22. REMAJA 1

Kami tidak peduli larangan. Jangankan larangan itu, larangan agama saja sudah kami terabas!

23. PETUGAS GENDUT

Larangan agama? Apa ayamu hasil curian? (Tidak ada jawaban) Berformalin atau terkena flue burung? Kalau terkena flue burung harus dimusnahkan!

24. REMAJA 2

Tidak Pak, ayam saya sehat walafiat. Bahkan masih kinyis-kinyis. Dagangan ini yang disukai, Om-Om…Kalau tidak percaya silahkan dicoba…(Merayu petugas). Short time Rp. 500 ribu, long time Rp. 1 juta. Any time, how much? Sejuta, dua juta…tak terhingga…(Tertawa).

25. PETUGAS GENDUT

Waduh mahal amat. Ayam jenis apa yang kamu jual?

26. REMAJA 2

Asli ayam dalam negeri, anti flue burung. Karena kami sudah menyediakan ini….(Menunjukan bungkusan kondom).

27. PETUGAS GENDUT

Sontoloyo! Jadi ayamu kamu beri makan kondom.

28. REMAJA 2

Yang dikasih kondom…’burungnya’ Om… (Tertawa malu)

29. PETUGAS GENDUT

Waduh (Menutup burung) Baru mudheng saya! Jadi kamu melacur!? Usiamu berapa? Rumahmu di mana? Sekolahmu di mana? Apa kamu tidak berusia. Tidak punya rumah dan sekolah. Jadi kalian besar belum waktunya? Kalian gembel yang tidak bersekolah. Remaja macam apa kamu ini?. Seusia kamu semestinya belajar. Kok malah kalayapan. Jadi kamu memang melacur?

Alasan! Alasan, kalau faktor ekonomi itu tidak masuk akal. Kamu yang masih muda dan punya keahlian, seharusnya bisa bekerja. Ya, bekerja apa saja. Pokoknya jangan menjual diri. Ini sungguh keterlaluan. Apakah sekolahmu tidak mengajari tentang ketrampilan?

Aku tahu, sekolah memang tidak mengajarkan ketrampilan. Tetapi sekolah memberikan ilmu. Dengan ilmu diharap kalian ini semua bisa memanfaatkan ilmu sehingga terampil.

Tetapi kalian kan punya keluarga. Apakah keluargamu tidak mendidik. Tidak memperhatikan kalian yang terlahir sebagai anak?

(ANAK-ANAK MENUNDUK. KEMUDIAN MENANGIS PERSAMA-SAMA)

Apa? Kalian memang sengaja dibuang oleh orang tua. Sungguh teganya orang tua kalian. Ini tidak benar. Tidak ada orang tua yang tega mentelantarkan anak-anaknya. Kalian saja yang bandel dan keras kepala.

30. KOOR

Ya! Kami memang bandel dan keras kepala. Tetapi orang orang tua lebih buuuuuaaannnndeeeellllll dan kuuuuuueraaaasssss keeeeepppppaaaalllaa!

31. PETUGAS GENDUT

Dasar anak nakal! Petugas, seret mereka!

PETUGAS MENYERET JARING. BEBERAPA WARTAWAN TV MENGABADIKAN PERISTIWA ITU.

32. WARTAWAN TV

Pemirsa TV Sensasi, dilaporkan dari jalan raya, telah terjadi penangkapan besar-besaran beberapa pelajar yang sedang berjualan. Menurut petugas, para pelajar tersebut sedang menjajakan ayam. Kata petugas pula, karena melanggar aturan larangan berjualan di tempat ini, para remaja yang masih duduk di bangku SMA ini dijaring. Pengamatan di lapangan, para pelajar memang terjaring dengan jaring.

PEDAGANG AYAM KELILING ON STAGE

Pemirsa, di samping saya ada seorang pedagang ayam keliling yang akan menjajakan dagangannya. Saya akan mewawancarai ibu yang setiap jelang subuh menjual ayam keliling. Ibu, tadi anak-anak yang jualan ayam ditangkap, tetapi ibu kok tidak?

33. PENJUAL AYAM

Tidak tahu, mungkin ayamnya lain. Atau mungkin karena saya sudah terlalu tua…. (Berlalu sambil diikuti cameramen. Out stage)

34. WARTAWAN TV

Pemirsa, kata ibu tadi, dia tidak ditangkap karena sudah terlalu tua. Kami berharap, kalian yang masih muda tidak menjual ayam agar tidak ditangkap petugas. Demikian dilaporkan dari TKP, saya….. lo, mana cameramen saya…! (Ngacir. Out stage)

Lighting break out—break in

DI KAMAR DEWI

35. DEWI

Memuakan! Berita TV dan koran tidak ada bedanya….(Melempar koran)

36. IBU

Kamu memang anak keras kepala. Disuruh baca malah mencampakan koran. Apa kamu tidak peduli dengan Ibumu yang sudah melahirkanmu.

37. DEWI

Tidak berguna. Lagian, itu kan hanya berita. Kenapa harus dipusingi. Teman-teman aku semua baik. Mereka anak-anak yang pintar. Mereka anak-anak orang kaya. Ngapain harus dirisaukan dengan berita-berita itu. Berita kan hanya cari sensasi agar dibaca orang. Coba kalau yang dimuat anak-anak ‘ibu’ seperti aku yang setiap hari kerjaannya hanya di rumah seperti putri raja yang dipingit, menunggu sang pangeran datang. Ndak akan terjadi. Ini kan normal-normal saja. Tidak ada sensasinya.

38. IBU

O….jadi kamu mengira Ibu, telah memingitmu. Telah merampas hak-hakmu sebagai anak. Apa kamu tidak melihat di halaman berikutnya. Apa kamu tidak membaca di halaman tiga koran itu. Coba baca! Baca…..! (Mengambil koran dan melemparkan ke Dewi)

39. DEWI

Aku sudah tahu. Itu kan gara-gara orang tua salah didik. Seharusnya itu Ibu yang membacanya. Mereka menjadi geng, karena di rumah tidak ada yang mau diajak bicara. Di rumah hanya dijadikan obyek. Mereka di sana bebas. Mereka memang anak orang-orang kaya. Tetapi hanya kaya materi. Tidak kaya cinta. Seperti Ibu dan Bapak yang egois.

40. IBU

O..ooo..jadi kamu kira, Ibu marah-marah ini karena tidak cinta kamu. Ibu dan Bapakmu kerja siang malam itu bukan cinta kamu.

TERDENGAR PINTU DIKETUK KERAS. SUARA BAPAK MEMANGGIL-MANGGIL. SUARANYA SANGAT KERAS. LEBIH KERAS DARI SUARA IBU.

41. BAPAK

Ibu! Aku datang! Kenapa sudah jam sembilan lebih pintu rumah belum dikunci. Lampu tidak dimatikan. Rumah berantakan tidak karuan. Apa dikira, negeri ini aman. Apa dikira tidak ada penjahat yang mengincar.

Ibuuuuuu……! Apa kamu tidak mendengar suaraku. Siapkan handuk dan air hangat. Bapak mau mandi. Jangan lupa teh hangatnya sekalian di letakan di dekat meja baca. Bapak belum baca koran hari ini.

IBU KELUAR DARI KAMAR DEWI. DEWI MENGHEMPASKAN TUBUHNYA KE TEMPAT TIDUR. IA MEMENCET CENEL TELEVISI MENCARI ACARA KESAYANGAN, SINETRON.

DI TEMPAT LAIN BAPAK BERKACAK PINGGANG DENGAN ANGKUH. IBU MENUNDUK. BAPAK TERLIHAT MEMARAHI IBU.

42. BAPAK

Kemana saja, jam segini rumah tidak terkunci? Listrik depan tidak dihidupkan. Rumah berantakan. Apa dikira aku diluaran hanya main-main? Kemana Dewi? Apakah dia tadi sekolah atau malah keluyuran di mal?

Sekarang dia sedang apa? Belajar atau malah nonton sinetron cengeng, tidak mendidik, dan hanya menumbuhkan sikap manja pada anak-anak? Suruh dia mematikan TV, kalau TV tidak mendidiknya.

DEWI MENANGIS MELIHAT SINETRON YANG MENGHARUKAN. TIBA-TIBA, TERDENGAR SUARA BAPAK MENGGELEGAR DARI SPEAKER. DEWI MENGERASKAN SUARA TV.

43. BAPAK

Dewi, Bapak tau, kalau jarang sekali bertemu denganmu. Tetapi Ibumu telah menjagamu, agar kamu tidak terpengaruh dunia luar. Sebagai remaja kamu harus tahu mana yang baik dan yang buruk.

Sekarang kamu sedang ngapain. (Pause) Apa nonton sinetron? Apa tidak ada acara yang lebih baik. Coba cari cenel yang lain? Cari yang agak bermutu. Cari, terus cari….masak tidak ada. Carilah, mungkin kamu belum menemukan. Ada berapa cenel TV di negeri ini kok tidak ada yang menyajikan acara yang mendidik anak remaja?

Semua hanya sinetron, infotainment, berita-berita politik, bincang-bincang politik, parodi politik. Iklan politik. Politikus malah mirip bintang sinetron. Iklan, iklan, dan iklan. Hanya janji-janji dan pamer gaya hidup.

Kalau tidak ada matikan saja. Cari hiburan yang lain saja. Atau lebih baik kamu belajar. Belajar. Belajarlah dengan baik, Bapak payah sekali, seharian bekerja. Huaaaah…! (Ia menguap. Kemudian terlelap. Ibu menutupnya dengan selimut, kemudian meninggalkannya)

DI KAMAR DEWI

44. DEWI

(Berjingkrak). Yes! Akhirnya KO sendiri. ‘Aku melangkah lagi, lewat jalan yang sunyi. Mengikuti alun melodi…hasrat kini terungkap lewat kata-kata yang terucap. Aku.. melangkah lagi dengan pasti.’ (1) Waduh jadul (jaman dulu) sekali.

Yes! Merdeka, merdeka! ‘Aku, kalau sampai waktuku, kumau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Aku ini binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang…’ (2).

Lighting fade out-fade in biru



DI TEMPAT LAIN DEWA BERLATAR CAHAYA BULAN SEDANG MEMAINKAN GITAR, MENYANYIKAN LAGU CINTA. DEWI MEMBUKA JENDELA, MEMANDANGI DEWA SEPERTI PANGERAN.

45. DEWA

‘Kau begitu sempurna…di mataku kau ada cinta….’ (3) Hai permaisuriku, kenapa engkau tampak gundah gulana. Apakah laguku tidak menghiburmu?

46. DEWI

Hai…pangeranku, kamu datang pada saat yang tepat. Emang, permaisuri sedang be-te. Habis, Bapa Raja dan Bunda Ratu marah terus. Permaisuri, dipingit di kamar ini. Apakah sang Pangeran bisa menolongnya?

47. DEWA

Tentu Permaisuri. Sang Pangeran akan menolong belahan jiwanya. Ulurkan tanganmu, Permaisuri. Kamu akan aku bawa ke bulan. Di sana kita akan bermain-main dengan bintang. ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti api….’ (4)

BACKSOUND ‘Kau Tercipta Untukku’ (Ungu) (5). KEDUA REMAJA YANG SEDANG JATUH CINTA ITU MENARI-NARI DI ANTARA BULAN DAN BINTANG-BINTANG.

48. DEWI

Dewa, apakah kamu benar-benar mencintaiku. Apakah ini bukan mimpi. Cubitlah pipiku biar aku percaya ini bukan mimpi.

49. DEWA

Malu ah, dilihat orang. Semoga ini bukan mimpi Dewi. Aku lari dari rumah, karena orang tuaku, begitu jahat. Mereka melarang aku ini-itu. Jadinya aku juga be-te. Temani aku Permaisuri. Malam ini kita adalah pasangan Permaisuri dan Pangeran dengan seribu kurcaci yang menjaganya…!



50. DEWI

Kamu begitu sempurna Pangeranku. Akupun ingin bersamu sepanjang waktu, meski cobaan datang menjelang. Dekaplah aku pangeran…..!

BULAN MEREDUP. KARENA AWAN TENGAH MENUTUPINYA. TAK LAMA KEMUDIAN TERDENGAR SUARA GADUH. BEBERAPA WARTAWAN TV MENGHAMPIRI DEWA-DEWI. SUASANA TERANG BENDERANG.

51. WARTAWAN TV

Dewi, kabarnya cinta anda tidak direstui, ortu. Katanya Dewi masih belum cukup umur untuk berpacaran. Apa komentar, Dewi?

52. DEWI

Kita sih, jalan terus. Sementara ini kita enjoi aja. Nggak ada masalah dengan ortu aku. Hanya masalah komunikasi.

53. DEWA

Kita komitmen untuk tidak terburu-buru. Lagian kita masih remaja. Perjalanan masih panjang. Nanti pasti dapat ijin ortu, kalau kita mau bicara baik-baik.

54. WARTAWAN TV

Kabarnya kalian akan dijodohkan oleh ortu masing-masing?

55. DEWI

Kata siapa? Itu gosip. Ndak bener.

56. DEWA

Itu belum pasti. Pokoknya sampai saat ini kita happy aja. Ngak mikirin yang nggak-nggak.

TIBA-TIBA SPEAKER MENYALAK. TERDENGAR SUARA MEMANGGIL

57. SUARA BAPAK/IBU

Dewiiiii! Apakah kamu sudah tidur! Sudah larut malam. Matikan TV. Besuk terlambat bangun. Apa kamu tidak belajar!

GEROMBOLAN WARTAWAN TV MEMBUBARKAN DIRI.

58. SUARA BAPAK/IBU DEWA

Dewaaaa! Apakah kamu sudah tidur! Sudah larut malam. Matikan TV mu. Besuk terlambat bangun.

59. DEWI

Apakah kamu tidak mendengar suara ortumu memanggil Dewa?

60. DEWA

Ya aku mendengarnya. Tetapi sering aku menutupi telingaku. Terkadang suara ortu kita bagai suara dari dalam gelap. Aku terkadang takut mendengarnya. Mereka melihat kita seperti bayang-bayang masa lalunya yang penuh trauma. Suara itu begitu menakutkan. Aku terkadang tak sanggup mendengarnya. Aku takut. Semakin banyak mendengar suara-suara itu, aku semakin takut melangkah. Aku takut Dewi.

61. DEWI

Apa yang kamu rasakan juga aku rasakan Dewa. Tetapi bukankah kita punya hati nurani. Penerang jalan yang paling terang? Dewa kamu harus berani. Tuntunlah aku, kita pasti akan menemukan jalan.

DEWA-DEWI BERJALAN JALAN. MEREKA SEPERTI MENYUSURI LABIRIN. SOSOK-SOSOK BESAR SEPERTI BAYANGAN ORANG TUA MEREKA MEMBUNTUTI SEPANJANG PERJALANAN. SUARANYA MENGGEMA.

62. SUARA BAPAK/IBU

Dewi, Dewa, terkadang kata-kata orang tua adalah benar. Suaranya menggema dari lubuk hati paling dalam.

Tidak, mereka tidak akan menjerumaskanmu. Ucapanya keluar dari lorong masa lalunya. Ia memang seperti suara-suara gelap. Menakutkan!

Tetapi jalan di depanmu akan lebih menakutkan dari yang disuarakan orang tuamu. Kamu jangan salah melangkah, Dewa-Dewi. Kehidupan di depanmu tidak mudah diramalkan.

63. DEWI

Aku masih seperti diikuti suara Ibu dan Bapak.

64. DEWA

Aku juga. Suara itu semakin keras, memanggil-manggilku. Tetapi kemudian menghilang begitu saja.

HENING.

65. DEWI

Dewa, kata guru kita, pengalaman adalah harta yang paling berharga. Apakah kita akan terus lakoni perjalanan ini.

66. DEWA

Dewi, kita ibaratnya burung yang sedang mencoba menaklukan awan. Kita akan terbang jauh. Tetapi kata-kata bijak berbicara ‘sejauh-jauh burung terbang, pasti akan kembali ke sarangnya.’

SILUET BURUNG-BURUNG BERTERBANGAN DI AWAN JINGGA.



67. DEWI

Ya, tapi kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di tengah perjalanan. Kita tidak tahu, di bawah sana, seorang pemburu sedang mengincar sayap kita. Kita tidak akan kembali, ketika peluru sang pemburu menembus sayap kita. Dewa, apakah kamu sudah siap? (Dewi merajuk)

68. DEWA

Masa depan tidak bisa hanya diperdebatkan. Tetapi harus kita songsong dengan percaya diri. Burung diberi naluri dan insting. Kita dibekali akal dan budi. Dengan insting burung-burung tahu akan mara bahaya. Dengan akal budi, kita bisa mempersiapkan masa depan kita. Dengan akal budinya manusia mempertahankan hidup.

69. DEWI

Kalau kita punya akal budi sendiri, kenapa ortu kita meski takut, ya?

SILUET BURUNG-BURUNG MENGHILANG. SUASANA KEMBALI TEMARAM.

70. DEWA

Biasalah, ketika burung itu belum bisa mengepakan sayap, sang induk akan mengajarinya sampai sang anak bisa mengepakan sayapnya. Mengajari berburu, mempertahankan diri, dan membuat sarang. Tapi, kita bukan burung kan?

DI SISI YANG LAIN, IBU DAN BAPAK SEDANG MENGINTIP DEWA-DEWI

71. BAPAK

(Berbisik kepada Ibu). Apakah mereka menyindir kita?



72. IBU

Mereka belum merasakan jadi orang tua. Kalau tahu, rasain! Sekarang mereka masih bersenang-senang. Entar tahu rasa!

MENGENDAP-NGENDAP PERGI.

73. DEWI

Lalu gimana lanjutnya?

74. DEWA

Selanjutnya? Ya kita lakoni saja perjalanan ini. Ayo kita jalan! Semakin kita jauh berjalan, semakin banyak kita mendapat pengalaman. Ini seperti kata pepatah. Carilah ilmu sampai ke negeri China!

75. DEWI

Ya, tapi tidak banyak orang-orang pandai yang sekolah ke China. Mereka malah memilih ke Belanda, Inggris, Amerika, dan Mesir.

76. DEWA

Ini hanya kata kiasan, Dewi.

77. DEWI

Ya, ya. Kok aku bego.

78. DEWA

Lemot. Alias ‘lemah otak.’

79. DEWI

Uh, dasar kamu. Ngatain saya, lemot! (Mencubit Dewa)

DEWA CEPAT MENGHINDAR. DEWA BERLARI. DEWI MENGEJAR.



80. DEWI

Kamu curang!

81. DEWA

Betul, di depan tidak ada jurang! He he he he…!

82. DEWI

Awas kamu! (Dewi mengejar)

83. DEWA

Yap, aku memang pintar seperti, Abu Nawas.

DEWI TERUS MENGEJAR DEWA. DI BELAKANG MEREKA KEDUA ORANG TUANYA MENGUNTIT. DEWA-DEWI BERKEJAR-KEJARAN SAMBIL BERCENGKERAMA (out stage). ORANG TUA MEREKA YANG SEJAK TADI MENGUNTIT KEWALAHAN.

84. BAPAK

(Napasnya ngos-ngosan) Saya kuwalahan Bu. Anak-anak jaman sekarang larinya kencang sekali. Maklum susunya sudah berformula. Dulu kita kan hanya tajin. (air limpahan menanak nasi).

85. IBU

Salah siapa! Tadi kan sudah saya bilang, waktunya istirahat.

86. BAPAK

Ibu kan yang minta memperhatikan Dewi. Tadi dimarah-marahi ngak perhatikan anak. Sekarang diperhatikan juga dimarahi. Repot…!

87. IBU

Iya maksud saya, memperhatikan itu tidak mengikuti segala gerak-geriknya.

Ini berlebihan namanya. Sekarang kalau sudah encok kumat begini siapa yang salah.

MEMIJIT PUNGUNG BAPAK

88. BAPAK

Terus gimana lagi?

89. IBU

Suruh mereka pulang!

90. BAPAK

(Teriak) Dewi….pulang! Jangan kau ikuti anak nakal itu!

91. BAPAKNYA DEWA

(Dari sisi yang lain. On stage) Enak saja ngatain anak orang! Dewa, kamu pulang, jangan ikut-ikutan anak orang lain. Perempuan itu penggoda. Ingat masa depanmu Dewa!

92. IBUNYA DEWI

Kurang ajar mereka, Pak. Anak kita dikira perempuan penggoda. He, peot! Anakmu yang ganjen kejar-kejar anak saya. Bukan anak saya yang kejar! Masak ada babon kejar jago…

93. BAPAKNYA DEWA

Jaman sekarang tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada beda laki-laki sama perempuan. Semua berhak mencintai dan dicintai!

94. IBUNYA DEWI

Lalu apa salah anak saya!

95. BAPAKNYA DEWA

Eihh..sok tidak tahu. Sebagai perempuan, Ibu harus punya perasaan.

Gimana kalau anaknya sering kelayapan malam hari?!

96. IBUNYA DEWI

Anak Anda yang mengajak Dewi kelayapan malam hari.

97. BAPAKNYA DEWA

Buktinya apa?

98. IBUNYA DEWI

Gampang sekali, lihat lari mereka. Dewa berada di depan. Itu artinya Dewa yang mengajak. Tidak mungkin orang yang mengajak berada di belakang.

99. BAPAKNYA DEWA

Sebagai laki-laki memang harus di depan. Harus! Tidak boleh kalah dengan perempuan!

100. IBUNYA DEWI

Kalau begitu Dewi tidak mungkin mendahului Dewa. Pasti Dewa akan malu, kalau Dewi menyatakan cintanya lebih dulu. Pasti itu!

101. BAPAKNYA DEWA

Kali ini persoalannya lain.

102. IBUNYA DEWI

Memang anak Bapak lain dari pada yang lain.

103. BAPAKNYA DEWA

(Hendak memukul)

104. BAPAKNYA DEWI

Eit..kalau ini urusan laki-laki dengan laki-laki. (Ambil posisi kuda-kuda) E…tetapi jangan ada kekerasan di atas panggung. Nanti dimarahi ‘Komisi Perteateran Indonesia’ atau KPI. Anak kita sudah dididik kekerasan di mana-mana kita malah memberi contoh lagi. Anarkis! (Kepada Ibu) Ayo Bu, kita cari Dewi!

105. IBUNYA DEWI

Dewi……pulang nak! Hari sudah larut malam!

106. BAPAKNYA DEWA

Dewa….pulang nak! Hari sudah larut malam!

107. IBUNYA DEWI

Bisanya mencontoh. Tidak kreatif. Cari kata yang lain!

108. BAPAKNYA DEWA

Camon baby, go home! Camon..camon…camon….baby. Go…go…go home. Yeah….

MUSIK RAP. BAPAKNYA DEWA MELAFALKAN KALIMAT ITU SEPERTI SEDANG ‘NGERAP’.

Out stage. Di sudut lain, Dewa-Dewi on stage.

109. DEWA

(Membaca sajak Chairil Anwar dengan gaya ngerap) Aku. Kalau sampai waktuku. 'Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu.

110. DEWI

Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang.

111. DEWA

Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang pedih peri. Dan aku akan lebih tidak perduli.



112. KOOR

Aku mau hidup 1000 tahun lagi! Yeah!

SUARA SIRINE BERBUNYI KERAS. PULUHAN PETUGAS BERGERAK SEPERTI ROBOT. MUSIK RAP BERDERAP-DERAP. MEREKA MENJARING DEWA-DEWI DI DEKAT BULAN.

113. PETUGAS GENDUT

(Ngerap) O, o…Ini lagi, malam-malam kelayapan. Apa kalian juga jualan ayam. Yaa.. ya?

114. DEWI

Kami bukan anak jalang! Dari pada tidur malam-malam, Om! Om..om..om yeah..!

115. PETUGAS GENDUT

(Terkejut) Kalian panggil saya Om. Itu tandanya kamu anak nakal! Ayo petugas, gelandang mereka!

BELUM SEMPAT MENYERET MEREKA, BEBERAPA WARTAWAN TV MENGERUBUT PETUGAS.

116. WARTAWAN TV

Gimana Pak, dapat mangsa lagi? Tampaknya kali ini pasangan mesum?

117. PETUGAS GENDUT

Benar sekali, berkat kesigapkan anakbuah saya. Kami menjaring pasangan mesum. ABG-ABG nakal. Mereka harus dikasih pelajaran biar nyahok!

118. WARTAWAN TV

(Kepada Dewa Dewi) Kenapa kalian berbuat demikian?



119. DEWA

Kami tidak punya orang tua.

120. WARTAWAN TV

Orang tua sudah meninggal?

121. DEWI

Mereka sibuk dengan dirinya sendiri.

122. WARTAWAN TV

Tetapi berbuat mesum di tempat umum kan dilarang!

123. DEWA

Itu opini Petugas dan Anda amini. Kami tidak berbuat apa-apa!

124. PETUGAS GENDUT

Bohong! Pepatah mengatakan, jika ada pasangan yang satu laki-laki dan satunya perempuan di tempat gelap yang ketiganya pasti setan!

125. DEWI

Jadi kalian semua setannya….he…he…he…

126. PETUGAS GENDUT

Setan gundhulmu amoh! Petugas seret mereka!

127. WARTAWAN TV

E…sebentar, Pak! Biar saya dapat momen penangkapan, bagaimana kalau adegan tadi di ulang?

128. PETUGAS GENDUT

Kalau harganya cocok, boleh!



129. WARTAWAN TV

Baik! Akan kami siarkan langsung, biar TV kami dapat berita yang paling bagus! (Wartawan TV mengatur adegan) Oke, kita mulai dari Bapak dan anak buah berlari, kami nanti akan membuntut di belakang. Jadi biar lebih tampak nyata dan dramatis. Oke, siap Pak! Kamera siap! Action!

ADEGAN PENANGKAPAN DIMULAI

Permirsa TV Sensasi! Kami siarkan secara langsung, penangkapan pasangan mesum di taman kota yang marak terjadi diseluruh taman yang ada di kota ini. Saat ini kami bersama petugas ketertiban menggrebeg pasangan yang sedang berbuat mesum di tempat umum…

PETUGAS BERLARI, MENGEJAR DEWA DAN DEWI. WARTAWAN TV MEMBUNTUT. MEREKA BERKEJAR-KEJARAN ENTAH SAMPAI KEMANA. NYATANYA MEREKA TIDAK PERNAH SALING BERTEMU. MEREKA HILANG SENDIRI-SENDIRI. (Out stage)

DI RUANG LAIN BAPAK TERTIDUR DENGAN DENGKUR YANG MENGGEMA. SUARA HP DEWI BERDERING. HAMPIR PAGI, TV DEWI MASIH MENYALA. DEWI TERJAGA.

130. DEWI

(Mengangkat HP) Aku terlelap sebentar. Besuk ada ujian. Tugas-tugas juga belum aku kerjakan. Pusing aku, Dewa!

DI KAMAR DEWA.

131. DEWA

Aku juga nggak bisa tidur. Tadi sempat sedetik terlelap.

Tetapi mimpi buruk membayangi tidur. Apakah ortumu ada di rumah?

132. DEWI

Baru selesai bertengkar dengan Ibu. Tapi sekarang sudah mendengkur. Kamu sedang ngapain?

133. DEWA

Ngelamun.

134. DEWI

Ngelamun? Kayak nggak punya kerjaan.

135. DEWA

Emang nggak ada kerjaan. Daripada nggak ada kerjaan ayo kita lari dari rumah?

136. DEWI

Dewa, apakah kamu serius?

137. DEWA

Sangat serius. Apakah kamu tidak percaya dengan aku. Ini pasti seru! Aku jemput ya?

138. DEWI

(Pause) E..e..e..kamu tidak takut?

139. DEWA

Kita pikirin belakangan aja deh. (Telpon terputus)

DEWI BERGEGAS BERKEMAS. SESAAT KEMUDIAN TERDENGAR PINTU DIKETUK. DEWI MENGERUBUTI BANTAL DENGAN SELIMUT. DEWI SEGERA MENYELINAP, MELOMPAT JENDELA. DEWA TAMPAK SEPERTI PANGERAN, BERDIRI GAGAH DI PINGGIR BULAN. MEREKA MENARI-NARI, KEMUDIAN MENGHILANG DITELAN MALAM.

140. IBU

Dewi, bangun. Sudah hampir subuh. Apakah kamu tidak salat. Berdoalah agar hari ini sekolahmu lancar. Jangan lupa doakan Bapak dan Ibumu ini. Anak yang sholeh, mendoakan Bapak dan Ibunya. Bangun, Dewi. Waktunya salat!

(On stage) Mumpung masih muda, perbanyaklah berdoa. Jangan seperti Ibumu, setelah tua menyesal. Baru mengerti betapa pentingnya berdoa. Apalagi kalau ingat masa remaja yang tidak karuan nakalnya. (Duduk di dekat dipan)

Hi…hi..hi..Ibu jadi malu. Saat remaja dulu Ibu persis seperti kamu, malas sekali belajar, apalagi salat. Keluarga kita memang tidak pernah mengajarkan untuk disiplin beribadah. Tetapi Ibu selalu ingat petuah guru agama. Salatlah seakan hari ini kamu akan mati.

Mengingat kata-kata itu saya jadi merinding sendiri. Mengingat dosa apalagi. Wuih, menumpuk sekali. Terkadang Ibu juga sangat kasihan sama kamu. Sebenarnya Ibu tidak memberikan contoh yang baik.

Kalau kamu sekarang bandel, karena Ibu tidak memberimu contoh. Ibu hanya menuntut. Menuntut kamu agar menjadi anak sebaik mungkin. Sesempurna mungkin. Malu sama tetangga, kalau anaknya tidak berhasil.

Dewi, Ibu sangat merisaukanmu. Risau sekali. Kehidupan begitu keras. Kamu harus dididik sangat keras. Pengaruh di luar begitu liar tak terkendali. Kehidupan seperti tidak ada aturan.

DI LAYAR TERGAMBAR KLIP KENAKALAN REMAJA, KEHIDUPAN MALAM, DAN KRIMINALITAS.

Yang ingin menindas, menindaslah. Yang ingin membunuh membunuhlah. Yang ingin berjingkrak-jingkrak di diskotik sambil mabuk, silahkan.

Anak-anak yang tidak tahu jalan hidup diperosokan ke lembah nista. Mereka dijual. Yang tidak berpendidikan dibuang keluar negeri oleh suami mereka yang pemalas. Mereka dipekerjakan seperti sapi perah. Kalau nasib sial, bukan uang yang dikirim tetapi berita duka cita.

Di TV-TV remaja-remaja didandani. Mereka dijadikan maneqin dipajang di etalase-etalase. Mereka hanya boleh bermimpi, tetapi tidak boleh memiliki. Anak-anak remaja telah dikubur dalam dunia kepalsuan. Sudah banyak korbannya. Ibu sangat risau.

Dewi, bangun. Apakah kamu tidak mendengar cerita Ibu. Sudah hampir subuh. (Membuka selimut. Terkejut) Kurang ajar, anak tidak tahu diuntung. Tiwas tadi tak serius-seriuskan. Malah sekarang minggat tidak pamit. Bapak……….! Dewi minggat….!

BAPAK TERPERANJAT BANGUN. IA TERGOPOH-GOPOH MENGHAMPIRI IBU YANG HISTERIS.

141. BAPAK

Apa, Dewi minggat? Dasar anak bandel. Dikasih hati, malah ngrogoh rempelo. Ini namanya air susu dibalas dengan air tuba. (Kepada Ibu) Ini akibat salah didik. Apa yang kamu kerjakan selama ini? Mengawasi anak saja tidak becus!



142. IBU

Kamu sendiri sudah melakukan apa terhadap anak kita? Tidak ada kan? Hanya kerja, kerja, dan kerja. Pulang marah-marah. Kalau udah payah, tidur mendengkur. Apakah itu tanggungjawab! Apakah masalah mendidik anak harus dibebankan ke saya? Ini juga akibat kesalahanmu!

BAPAK HANYA DIAM. IA MEMANDANGI PHOTO DEWI. MENGELUS, KEMUDIAN MENDEKAPKAN KE DADANYA. SOUND EFECT LAGU. ‘ANDAIKAN KAU DATANG’ KOES PLUS (RUTH SAHANAYA). (6)

Lighting fade out-fade in.

DI TEMPAT LAIN, DEWA TAMPAK MONDAR-MANDIRI, GELISAH. IA MEMBUKA KORAN. MENELITI HALAMAN DEMI HALAMAN. TETAPI KEMUDIAN MENCAMPAKANNYA. IA MENGULANG YANG DILAKUKAN, SAMPAI BEBERAPA KALI. TETAPI GAGAL! DEWI DUDUK DISEBELAHNYA PERUTNYA MEMBUNCIT.

143. DEWA

Sulit, sulit sekali! Aku tidak menyangka sesulit ini! Tidak ada yang cocok….

144. DEWI

Sudah aku bilang. Kita sudah jauh melangkah.

145. DEWA

Tidak ada penyesalan. Kita harus terus berusaha.

146. DEWI

Sampai kapan? Kandungan saya butuh biaya perawatan. Kalau tidak bayi kita bisa lahir tidak normal. Kita akan butuh banyak biaya. Apakah kamu tidak tahu itu?

147. DEWA

Kalau nggak sanggup biayai ya kita gugurkan saja. Atau kalau sudah lahir kita buang di kali, tempat sampah, kita tinggal di rumah sakit atau taksi. Beres…

148. DEWI

Tidak Dewa, kamu harus bertanggung jawab. Ini benih anak kita. Kita harus merawatnya.

149. DEWA

Ya, tapi duit dari mana. Kerjaan nggak dapat. Uang nggak punya…Apa kamu pingin anak kita mati kelaparan?

150. DEWI

Tidak bisa Dewa, anak kita harus lahir. Kamu tidak boleh begitu. Itu Dosa..!

151. DEWA

Dosa? Hah…kenapa tiba-tiba kamu jadi sok suci. Bukankah kita lari dari rumah, menikah di bawah tangan, kamu aku buntingi, sudah dosa? Dosa yang sangat besar! Kenapa kamu tidak berani membuang buah dosa kita? Kenapa? Kamu harus ngerti Dewi, ini akan menyulitkan kita!

152. DEWI

Dewa, kenapa tiba-tiba mulutmu seperti ular yang menyemburkan bisa? Kenapa kata-kata romantismu tiba-tiba berubah jadi racun. Kenapa puisi yang kau bacakan, lagu-lagu yang kau dendangkan menjadi terasa getir. Kenapa kau yang aku anggap dewa, tiba-tiba jadi setan pencabut nyawa? Kenapa kamu lakukan!

153. DEWA

Kalau kamu tidak mau melakukan. Aku yang melakukan sekarang….!

Aku yang akan melakukan Dewi….Kita bunuh saja janinnya, sebelum ia hidup terlunta-lunta karena bapaknya tak bisa menghidupi…Kemari Dewi. Kamu akan menyesal. Karena Bapak Ibu kita pasti tidak akan mengakui perkawinan kita. Kamu harus tahu Dewi.

TIBA-TIBA DEWA SEPERTI KERASUKAN. IA MENERKAM DEWI. DEWI BERLARI. DEWA MENGEJAR DEWI. SEMENTARA DI LANGIT, TAMPAK BAYANGAN RAKSASA SEDANG MENENDANG-NENDANG BULAN DAN KEMUDIAN MEMAKANNYA. BULAN PECAH. DEWI MENJERIT. DEWA TERTAWA.

DI KAMAR DEWI: DEWI TERPERANJAT BANGUN. NAPASNYA TERSENGAL-SENGAL.

DI KAMAR DEWA : DEWA TERPERANJAT BANGUN. NAPASNYA TERSENGAL-SENGAL.

TERDENGAR TELPON BERDERING. DEWI SEGERA MENGANGKAT.

154. DEWI

Aku terlelap lagi. mimpi buruk lagi. Aku kesiangan. Sekarang udah jam 7 lebih. Pekerjaan rumah belum aku kerjakan. Ibu dan Bapakku udah pergi. Entah kemana.

DI KAMAR DEWA.

155. DEWA

Aku juga kesiangan. Pekerjaan rumahku (PR) belum aku kerjakan. Aku di rumah hanya dengan pembantu. Ortuku malah dah seminggu nggak di rumah.

156. DEWI

Aku mimpi buruk.

157. DEWA

Aku juga mimpi buruk. Buruk sekali. Lebih buruk dari pada dimarahi guru kita!

TIBA-TIBA SUARA IBU/BAPAK GURU MENGGELEGAR.

158. GURU

Dewa, Dewi, kenapa kalian terlambat masuk sekolah!

DEWA DAN DEWI KALANGKABUT. IA SEGERA MENGENAKAN SERAGAM SEKOLAH. SEKENANYA. BUKU-BUKU YANG BERSERAKAN DIMASUKAN KE DALAM TAS.

159. GURU

Kamu pasti belum mengerjakan PR. Alasanmu pasti di rumah tidak ada orang tua. Tidak ada pembantu. Emangnya yang sekolah orang tuamu dan pembantumu. Kamu mau alasan apa lagi, kalau sudah puluhan kali kalian terlambat, dan sudah puluhan kali kalian membuat alasan. Apakah kamu anak alasan!

DEWA DAN DEWI BERLARI SECEPAT MUNGKIN AGAR SEGERA SAMPAI DI SEKOLAH. SUARA GURU SEMAKIN MENGGELEGAR!

160. GURU

Kalau kamu tidak mengerjakan PR lebih baik kamu tidak masuk saja. Saya tidak mau mengajar anak pemalas. Di sekolah dilarang malas. Kalau tidak sanggup mengikuti aturan di sekolah ini, lebih baik pindah sekolah. Banyak sekolah yang menampung anak-anak brandal seperti kalian.

(Kepada murid-murid) Kepada kalian semua juga saya peringatkan. Sekolah ini tidak mencetak anak pemalas seperti Dewa dan Dewi. Kalian harus patuh selama berada di sekolah. Kalian disekolahkan di sini oleh orang tua kalian, untuk menjadi anak pintar. Tidak untuk menjadi anak nakal. Mengerti?!

161. MURID-MURID

Mengertiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!

162. GURU

Kalau mengerti coba sekarang keluarkan PR kalian.

MURID-MURID BERGEMING.

163. GURU

Lo, kok tidak ada yang mengeluarkan PR-nya?

164. MURID

(Takut-takut) E…e..e..e..mohon maaf yang sebesar-besarnya, Guru salah masuk kelas!

MAKA MELEDAKLAH TAWA MURID-MURID. GURU SEGERA KELUAR KELAS. DI AMBANG PINTU GURU BERPAPASAN DENGAN DEWA DAN DEWI. MEREKA TERPAKU BEBERAPA DETIK.

165. GURU

Kamu yang namanya Dewa dan Dewi?

166. MURID

(Memberi isyarat tangan) Bukan…!

167. DEWA

Bu..bu..bukan…

168. GURU

Lalu yang mana Dewa dan Dewi?

169. MURID

(Memberi isyarat tangan) Tidak tahu.

170. DEWA

Ti..ti..dak tahu.

171. GURU

Ya, sudah. Kalau begitu, nanti kalau ke temu Dewa dan Dewi serahkan ini (Memberikan sepucuk surat)

GURU OUT STAGE

172. DEWA-DEWI

(Koor) Surat pangilan orang tua!

173. KEPALA SEKOLAH

(Break in) Ya. Surat panggilan orang tua! Emangnya kita tidak tahu kalian tipu.

Sekarang kamu mau alasan apalagi. Katakan pada orang tua kalian. Surat panggilan itu bersifat mengikat. Wajib didatangi. Tidak ada alasan apapun, kecuali kalian mau dikeluarkan dari sekolah ini. Tahu!?

DEWA DAN DEWI TERPAKU. KEPALA SEKOLAH MENGAMBIL POSISI. SIDANG SISWA NAKAL DIGELAR.

174. KEPALA SEKOLAH

(Memukul bangku dengan palu) Baiklah, hari ini kita mendapatkan dua murid bandel. Sudah berkali-kali diperingtakan tetapi telinganya seperti tanduk. Tidak ada perubahan. Sekolah sudah ‘angkat tangan.’ Karena itu hari ini kita menghadirkan kedua orang tua mereka. Silahkan masuk orang tuanya Dewa dan Dewi!

BAPAK-IBU DEWA DAN DEWI MASUK DENGAN WAJAH KUYU. DIIKUTI GURU.

175. KEPALA SEKOLAH

Jadi ini adalah hari terakhir Dewa dan Dewi berada di sekolah ini. Bagaimana komentar Bapak, Ibu? Silahkan dijawab apa adanya jangan melakukan pembelaan.

BAPAK DEWA DAN BAPAK DEWI MAJU BERSAMAAN.

176. BAPAK DEWA

Saya yang lebih dulu maju. Anda belakangan!

177. BAPAK DEWI

Saya yang lebih dulu. Tadi terlihat kaki saya yang melangkah lebih dulu.

178. BAPAK DEWA

Ini bukan masalah kaki, tetapi kenyataannya saya yang lebih dahulu di depan Guru. Anda mau apa?

179. BAPAK DEWI

Tetapi anak saya nakal gara-gara terseret-seret oleh kenakalan anak Anda. Yang kurang ajar anak Anda!

180. BAPAK DEWA

Anda jangan ngomong sembarangan. Ini belum dibuktikan?

181. KEPALA SEKOLAH

Stoooooooooooooooooooooooopppp! Disini bukan untuk bertengkar. Apakah Bapak anggota dewan? Polisi? Tentara?

(Keduanya menggeleng) Kalau begitu jangan anarkis. Ini sekolahan, tempat mendidik anak-anak untuk menjadi manusia berbudi pekerti luhur. Beri contoh berdebad dan menyampaikan pendapat yang baik. Sidang ini saya yang mengatur. Jadi semua harus menurut dengan saya. Kalau tidak kita bubarkan saja acara ini. Mengerti!!

KOOR : Mengerti!

Baik kalau mengerti, kesempatan pertama saya berikan pada Bapak Dewa.

182. BAPAK DEWI

Tidak bisa. Saya yang harus duluan. Tidak mung….

183. KEPALA SEKOLAH

Bapaknya Dewi, tolong hormati ruang sidang. Silahkan!

184. BAPAK DEWA

Yang kami hormati, bapak-ibu sekalian. Yang kami hormati anak-anak sekalian. Juga tak lupa saya sampaikan terimakasih yang setinggi-tingginya….

185. KEPALA SEKOLAH

Stop…! To the point saja. Tidak perlu terimakasih-terimakasih. Ini bukan rapat RT?

186. BAPAK DEWI

Dasar udik!

187. BAPAK DEWA

Emangnya gue pikirin! E…e…jadi sebenarnya kami maklum dengan kenakalan anak kami. Terus terang, kenakalannya bukan kehendak dirinya, tetapi kehendak jaman. Sepertinya tidak pantas, anak seusianya tidak nakal. E…masud saya. Seusia anak saya memang waktunya nakal. Karena itu orang tua harus aktif mengawasinya. Sementara kami akui, kami lengah untuk persoalan ini. Jadi jangan dihukum anak saya. Hukumlah kami!

188. KEPALA SEKOLAH

Kita tidak menerima pengakuan dosa. Tetapi hanya ingin tahu penyebabnya. Silahkan dilanjutkan Bapaknya Dewi.

189. IBU DEWI

(Menyerobot maju) Sebaiknya dari pihak perempuan yang mewakili ibunya.

Alasanya yang bisa memahami perasaan perempuan adalah perempaun juga. Jadi pada dasarnya kami tahu, bahwa apa yang sedang dirasakan anak kami Dewi, seperti yang saya rasakan saat seusianya. Saya tahu, Dewi sangat terkejut dengan kondisi tubuhnya. Tetapi saya yakin, ketidak seriusan Dewi dalam bersekolah bukan masalah baban dalam dirinya, tetapi beban di luar dirinya yang begitu menyiksa.

Kami mengakui disaat seperti itu, tekanan demi tekanan membuat jiwa anak menjadi labil. Kami menyadari, tetapi masa lalu kami selalu membayangi. Kami melihat perjalanan anak-anak seperti perjalanan kami dulu, begitu berat. Jadi kamu harus terus memantaunya setiap saat. Kami kira pada mulanya untuk meringankan bebannya. Eh…ternyata malah memberatkan beban hidupnya.

Jadi ini murni kesalahan kami. Kalau boleh kami memohon, jangan hukum anak kami. Hukumlah kami.

BAPAK DEWA DAN DEWI BEREBUT MAJU.

190. KOOR

Tidak sayalah yang wajib dihukum.

191. BAPAK DEWA

Saya teledor dan egois.



192. BAPAK DEWI

Saya mementingkan diri sendiri. Tak pernah hiraukan anak.

193. BAPAK DEWA

Sebagai kepala keluarga, kami hanya memenuhi kewajiban memberikan makan. Yang lainnya terabaikan.

194. BAPAK DEWI

Saya tidak pernah membagikan cinta pada anak dan istri. Sayalah yang wajib dihukum. Saya terlalu takut menghadapi masa depan.

195. KEPALA SEKOLAH

(Tepuk tangan) Bagus sekali acting kalian. Orang tua macam apa cengeng sekali. Ini sekolahan, bukan tempat pengakuan dosa. Anak-anak jangan diberi tontonan yang kurang mendidik seperti ini. Memalukan. Kami tidak akan menghukum siapa-siapa.

Sekolahan hanya akan memberlakukan aturan main. Hukuman memang perlu, tetapi kalau tidak merubah sikap kalian, sungguh sia-sia. Jadi sekarang saatnya mendengar suara siswa. Silahkan Dewa dan Dewi kalian memberikan komentar.

196. DEWA

Kami tidak akan melakukan pembelaan.

197. DEWI

Ya, kami sepakat tidak akan membela diri. Kalau salah kita rela dihukum.

198. KEPALA SEKOLAH

Kalau begitu siapa yang salah? Saya kok malah bingung sendiri. Ini tidak adil, yang punya masalah kalian, kok malah saya yang bingung cari jawabannya. (Kepada murid) Hei, kalian jangan bengong saja. Beri saya solusi. (Murid diam) Hei, mengapa kalian diam saja? Kenapa semua dibebankan kepada saya. Hei, jangan tinggalakan saya sendirian!

SEMUA MURID MENJAUHI KEPALA SEKOLAH.

199. KEPALA SEKOLAH

Hai, tolong jangan tinggalkan saya sendirian. Beri saya solusi. Hai, tolong!

200. BAPAK DEWA

Kalau penjaga kebenaran dan keadilan saja tidak bisa memberikan jawaban, apa lagi saya?

201. BAPAK DEWI

Saya apa lagi….?

202. KOOR MURID

Kami malah tidak tahu apa-apa!

203. DEWI

Biarlah waktu yang memberikan jawaban.

204. DEWA

Setuju, biar waktu yang memberikan jawaban.

205. KEPALA SEKOLAH

Kalian salah. Masa depanmu ditentukan hari ini. Kalau hari ini kalian tidak menemukan jawaban, masa depanmu akan menjadi gelap. Tolong carikan jawaban! Kalau tidak….!

206. DEWI

Kalau tidak apa?

207. KEPALA SEKOLAH

Kalau tidak drama ini tidak akan berakhir.

TIBA-TIBA WARTAWAN TV MENYEROBOT MAJU MENGHAMPIRI KEPALA SEKOLAH. PARA WARTAWAN MENGAJUKAN PERTANYAAN. TETAPI KEPALA SEKOLAH TIDAK MAU MEMBERIKAN KOMENTAR. KEPALA SEKOLAH OUT STAGE DENGAN MEMEGANGI KEPALA DIIKUTI GURU. WARTAWAN TV BERALIH MENGERUBUT DEWA DAN DEWI.

208. WARTAWAN TV

Apa komentar Dewa dan Dewi atas peristiwa ini? Mengapa sekolah tidak bisa memberikan jawaban atas kenakalan anak didiknya?

209. DEWA

Tidak tahu?

210. DEWI

Aku juga tidak tahu.

211. WARTAWAN TV

(Kepada orang tua Dewa-Dewi) Pendapat Bapak atau Ibu?

ORANG TUA DEWA-DEWI HANYA GELENG KEPALA.

212. WARTAWAN TV

Kalau begitu bagaimana mengakhiri semua ini?

213. DEWI

(Tiba-tiba, merangkul orang tuanya, menjawab pertanyaan Wartawan TV) Ah, gampang sekali jawabannya? Penonton, atau pemirsa TV di rumah, drama ini anggap saja sudah berakhir. Untuk mendapatkan jawabannya, bertanyalah pada diri-sendiri. Ndak perlu kita jelas-jelaskan bukan? Yang jadi guru, jadilah guru sesuai tugasnya. Yang jadi orang tua, jadilah bapak dan ibu sesuai tanggungjawabnya. Yang jadi anak, jadilah anak sesuai dengan tugas dan kewajiban sebagai anak. Yang jadi murid belajarlah dengan baik. Yang jadi wartawan, jadilah wartawan yang adil dan bijaksana. Mudah bukan?

(Kepada penata lampu) Penata lampu, tolong lampunya, fade out. Fade out itu padam pelan-pelan, penuh perasaan. (Kepada pemusik) Kepada penata musik, tolong diberi lagu yang melegakan batin. Lakukan dengan penuh perasaan, karena ini seni drama. Seni melakonkan kehidupan. (Kepada kru panggung) Tolong layarnya ditutup pelan-pelan. Dengan demikian, berakhirlah drama ini. Kita kembali ke kamar tidur. Kini tidurlah dengan nyenyak.

DEWA MENYAMBUT DEWI. MEREKA BERPELUKAN. ORANG TUA MEREKA HANYA BENGONG DI SUDUT KELAS. SEBELUM LAYAR TURUN, WARTAWAN TV MENGABADIKAN ADEGAN TERAKHIR ITU.



Tamat

Sidoarjo, Juli 2008



















LAMPIRAN : 1



Aku Melangkah Lagi

(Vina Panduwinata)



Aku melangkah lagi

Lewat jalanan sepi

Perlahan tapi pasti

Mengikuti ayun melodi



Langkah silih berganti

Melalui hari yang sunyi

Aku melangkah lagi

Dengan pasti!



Reff:

Langkah semakin cepat

Kar'na citaku semakin dekap

Hasrat kini terungkap

Dalam kata-kata yang terucap

Waktu terus melaju

Seirama alunan lagu

Aku melangkah lagi

Dengan pasti!



Liku-liku yang dulu

Adalah dulu bagiku

Dan kuyakinkan diri

Menghadapi yang terjadi



kembali reff (2x)



Liku-liku yang dulu

Adalah dulu bagiku

Dan kuyakinkan diri

Menghadapi yang terjadi



Aku melangkah lagi

Lewat jalanan sepi

Perlahan tapi pasti

Mengikuti ayun melodi



Langkah silih berganti

Melalui hari yang sunyi

Aku melangkah lagi

Dengan pasti!



Harapan yang ada

Tak kan ku sia-sia

Kenangan yang lama

Hirna seiring nada



Ku tinggal kan bayang-bayang semu

Lalu memulai cerita baru

Aku melangkah lagi! (3x)



LAMPIRAN : 2

Sajak Chairil Anwar

AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

LAMPIRAN : 3
Sempurna
(Andra & The BackBone)

Kau begitu sempurna
Dimataku kau begitu indah
kau membuat diriku akan slalu memujamu

Disetiap langkahku
Kukan slalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku, kau begitu
Sempurna.. Sempurna..

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku, kau begitu
Sempurna.. Sempurna..


LAMPIRAN : 4
Sajak Sapardi Djoko Damono
KU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada








LAMPIRAN : 5
Tercipta Untukku
(Ungu)

menatap indahnya senyuman di wajahmu
membuat ku terdiam dan terpaku
mengerti akan hadirnya cinta terindah
saat kau peluk mesra tubuhku

banyak kata
yang tak mampu kuungkapkan
kepada dirimu

Chorus:
aku ingin engkau slalu
hadir dan temani aku
disetiap langkah
yang meyakiniku
kau tercipta untukku
sepanjang hidupku

aku ingin engkau slalu
hadir dan temani aku
disetiap langkah
yang meyakiniku
kau tercipta untukku
meski waktu akan mampu
memanggil seluruh ragaku
ku ingin kau tau
kuslalu milikmu
yang mencintaimu
sepanjang hidupku

aku ingin engkau slalu
hadir dan temani aku
disetiap langkah
yang meyakiniku
kau tercipta untukku
meski waktu akan mampu
memanggil seluruh ragaku
ku ingin kau tau
kuslalu milikmu
yang mencintaimu




LAMPIRAN : 6

‘Andai Kau Datang’
Koes Plus (Ruth Sahanaya)

Hm…hm…hm…
Terlalu indah dilupakan
Terlalu sedih dikenangkan
Setelah aku jauh berjalan
Dan kau ku tinggalkan

Betapa hatiku bersedih
Mengenang kasih dan sayangmu
Setulus pesanmu kepadaku
Engkau kan menunggu

Andaikan kau datang kembali
Jawaban apa yang kan ku beri
Adakah cara yang kau temui
Untuk kita kembali lagi

Bersinarlah bulan purnama
Seindah serta tulus cintanya
Bersinarlah terus sampai nanti
Lagu ini…ku…akhiri
Na…na…na…
Na…na…na…

Tidak ada komentar: