Halaman

Rabu, 27 Februari 2008

Kondisi teater di Jawa Timur


Tengoklah teater SMA dan teater kampus
Oleh : R.Giryadi
Ada yang sering mempertanyakan eksistensi teater di Jawa Timur. Pertanyaan itu selalu dikaitkan dengan tidak munculnya teater Jawa Timur di forum-forum baik local maupun nasional. Bahkan ada yang berasumsi, setelah generasi Akhudiat berlalu, maka berlalu pula masa kejayaan teater di Jawa Timur.

Asumsi yang -tentu bisa salah juga bisa benar- ini sebenarnya bisa diantisipasi sejak sepuluh tahun terakhir ini. Sebenarnya sejak masa-masa paceklik generasi teater yang dimulai pertengahan tahun 1990-an itu dan mulai banyak munculnya teater-teater kampus, orientasi pembinaan terhadap teater segera bergeser. Kalau pada masa 1980-1990 banyak diwarnai dengan kekuatan teater amatir semacam teater Ragil, Sanggar Suroboyo, teater Dua Lima, teater Rajawali, teater Patria, teater Pavita, teater Jaguar, teater Nol, teater Bengkel Muda Surabaya, dan masih banyak lagi, maka sejak pertengahan dasawarsa 90-an, kekuatan itu bergeser pada aktivitas teater kampus. Diliputi gegap-gempitanya musim reformasi, banyak teater amatir yang ‘mengundurkan diri’ dari dunia sosial politik yang hiruk pikuk. Sementara dikampus-kampus yang menggejala dengan teater performance art-nya, sedikit demi sedikit mencoba memperkuat barisan teaternya.
Dalam masa tahun 1997, bermunculan teater-teater kampus yang memiliki spirit kuat dan bisa diprediksi memiliki napas panjang. Mereka tidak saja mendesakan wacana ‘kontemporer’ tetapi juga etos kerja yang tinggi. Hal ini bisa terlihat dari komunitas-komunitas yang ada dan andilnya cukup besar terhadap perkembangan teater di Surabaya maupun di Jatim. Boleh dicatat dalam hal ini, teater Kusuma (Universitas 17 Agustus Surabaya), teater Chrystal (UPN Veteran Surabaya), teater Puska (FISIP Unair), teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), teater Hampa (Universitas Malang), teater Tiang (Universitas Jember), dan lain sebagainya. Kelompok teater ini sampai sekarang masih menunjukan eksistensinya. Bahkan saat seleksi daerah Pekan Seni Mahasiswa Regional Jawa Timur tangkai teater, beberapa perguruan tinggi swasta di Jatim banyak yang mendaftarkan teaternya. Salah satunya teater dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Secara kualitas cukup menarik dan bahkan berhasil menjadi juara III.
Tak kalah menariknya, perkembangan teater SMA di Jatim pada tahun-tahun menjelang 2000-an bermunculan begitu banyak. Setiap diadakan festival teater untuk SMA atau whorkshop teater, bermunculan puluhan teater SMA yang sampai sekarang menunjukan eksisttensinya. Dalam catatan terakhir yang diperoleh oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dalam Festival Teater Remaja (2004) lalu, terdapat lebih 40 teater yang ada di Jawa Timur. Begitu juga dalam Festival Teater SMA di IAIN beberapa waktu lalu, juga mendapatkan data sama dari jumlah yang didapat TBJT.
Kalau kita berbicara teater amatir baik itu yang berada di Jawa Timur maupun di Surabaya, bisa dihitung dengan jari. Beberapa teater amatir yang pernah ada di Surabaya kini tak tahu rimbanya. Meski beberapa kali mereka mengadakan pementasan tetapi sebentar kemudian menghilang baik itu secara kelompok maupun personal. Kalau kita hitung di Surabaya hanya ada teater Tobong, teater BMS, Teater Api Indonesia, dan teater Ragil. Sedangkan di Jawa Timur, kita harus gigit jari. Sementaran teater profesional baik di Surabaya maupun di Jawa Timur pada umumnya tak ada satu grupun yang eksis.
Keadaan seperti ini semestinya tidak perlu terjadi bila ada semacam ‘regenerasi’ untuk pencapaian puncak sebuah generasi teater. Katakanlah, ada pilar-pilar yang kuat seperti teater SMA dan teater kampus. Mereka adalah generasi yang butuh muara di teater amatir maupun teater profesional. Karena kedua kekuatan ada pada teater SMA dan kampus, maka proses pembinaan harus diutamakan pada kedua pilar ini. Karena mau tidak mau kedua pilar inilah yang pada kemudian hari akan meneruskan ke muaranya yang terakhir yaitu teater amatir maupun teater profesional.
Persoalannya sekarang, apakah dalam hal ini intansi terkait, kelompok teater amatir dan profesional (kalau ada), menyadari hal ini? Mau tidak mau Surabaya dan Jawa Timur harus menyadari keadaan ini. Jawa Timur butuh peremajaan teater. Sekarang telah terjadi pergeseran, teater Jawa Timur telah banyak tumbuh di SMA-SMA dan kampus-kampus. Mau tidak mau, keberadaan ini harus dimanageman dengan baik, agar generasi teater di Jawa Timur tidak hanya mengandalkan segelintir teater yang ada.
Akhir Februari 2006 gallery Surabaya Dewan Kesenian Surabaya, mengadakan Festival Teater Pelajar dan Pertemuan Teater Kampus pada akhir April 2006 mendatang. Peristiwa ini perlu direspon secara positif agar keberlangsungan teater di Jawa Timur, tidak hanya menggantungkan pada nasib saja. Proses regenerasi secepatnya mulai dipikirkan strateginya sedini mungkin.
Kalau kita lihat Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mampu memunculkan tokoh-tokoh yang lahir dari Festival Teater Remaja (sekarang berubah, Festival Teater Jakarta) dan bisa mentasbihkan sebuah kelompok teater remaja menjadi kelompok teater amatir, mengapa di Surabaya tidak bisa? Dengan kegetolan DKJ mengadakan festival terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh yang pada akhirnya menjadi ‘pendekar’ teater Indonesia. Semestinya, festival yang diadakan di Surabaya juga mampu memunculkan generasi-generasi baru, kalau festival itu memang bertujuan begitu.
Sekali lagi, persoalan teater di Jatim masih seputar regenerasi, proses pembinaan, dan tradisi kritik teater yang sampai hari ini di Surabaya belum ada kritikus teater. Memang pada dasarnya persoalan munculnya generasi adalah persoalan jaman. Tetapi kini jamannya sudah berubah. Mengapa sikap kita belum juga berubah?**

Tidak ada komentar: