Halaman

Rabu, 20 Februari 2008

Membangun Pusat Kesenian dengan Daya Sentripetal



Oleh : Rakhmat Giryadi

Ketika masyarakat menolak dominasi pusat, dalam berbagai segi kehidupan, di Surabaya muncul ide, membangun pusat kesenian. Agar tidak menjadi kontraproduktif, perlu segera diperjelas, apa yang dinginkan oleh sebagian ‘pekerja seni’ Surabaya, tentang pusat kesenian itu? Meski ini ide yang sangat bertentangan dengan semangat jaman, pusat kesenian di Surabaya, harus tetap dipikirkan sebagai alat bertelornya tata nilai modern. Jadi pusat kesenian yang dimaksudkan sebagian seniman, saya harapkan bukan tempat yang representatif teknis saja, tetapi bisa menjadi semacam, pusaran yang dibangun atas daya sentripetal (bergerak menuju pusat)), dari ‘pusat-pusat’ kesenian yang berada di Jawa Timur.

Sebenarnya pusat kesenian di Jawa Timur (baca : Surabaya), sudah harus ada sejak Taman Budaya Jawa Timur dan lembaga (kesenian) terkait itu ada. Bila lembaga kesenian ini sejak awal bekerja dengan baik (lebih mengedepankan sintem nilai dari pada juklak dan juknis), maka meributkan fungsi Balai Pemuda, sebagai pusat kesenian tidak lagi mencuat. Kenyataan ini telah menjadi perjalanan sejarah di Jawa Timur, dimana lembaga-lembaga terkait tidak bisa menjadi bagian terpenting bagi perkembangan kesenian di Jawa Timur.
Hal ini penting. Karena bila pusat (baca : gedung) kesenian itu hanya untuk mengatasi kendala teknis, pada akhirnya nanti, pusat itu hanya untuk menampung kemalasan-kemalasan bekerja secara menyeluruh, terhadap berbagai hal yang harus dihadapi oleh pekerja seni pertunjukan. Bila pusat kesenian hanya untuk kepentingan itu, bisa jadi, gerakan itu akan mengadirkan ketergantungan pekerja seni untuk berorientasi pada pusat (sentrifugal). Akibatnya, pusat malah menjadi kendala bagi penyebaran, nilai-nilai kesenian itu sendiri. Bahkan bisa jadi daerah akan tetap menjadi subordinasi pusat.
Pusat kesenian modern, bila salah menafsirkan makna pusat itu sendiri, bisa menjadi bumerang bagi kesenian modern itu sendiri. Pusat kesenian itu tidak bisa hanya menjadi jembatan antara masyarakat (apresian) dengan seniman. Tetapi, pusat kesenian itu, setidaknya berorientasi kepada lembaga riset bagi perkembangan seni modern. Dalam pusat itu, kesenian bukan lagi sebagai sekedar tontonan, tetapi sebagai wacana.
Ingat, ketika ketoprak dilembagakan (dipusatkan/ditobongkan) ketoprak bukan lagi alat komunikasi dialogis atara masyarakat tradisionil dengan ‘seniman’. Tetapi menjadi semacam legitimasi kekuasaan atas raja-raja. Ketoprak bukan lagi ideomatik kesenian rakyat, tetapi menjadi kental kedudukannya sebagai kesenian keraton. Ini contoh yang menarik untuk dikaji. Apakah benar, dengan hadirnya pusat kesenian, seni (apapun) akan menjadi bagian dari ekspresi masyarakatnya?
Saya lebih cenderung berharap, pusat kesenian itu dibangun oleh berbagai komunitas masyarakat. Biarkan pusat kenian itu, dibangun oleh daya pusar berbagai komunitas sehingga menimbulkan daya sentripetal (memusat). Dari sini akibat ketergantungan dari pusat bisa dikurangi, sehingga suara masyarakat bawah, akan terdengar ke pusat oleh usaha kreatifnya, bukan karena daya pusaran dari pusat.
Oleh sebab itu, yang perlu dibangun (sebelum menjadi pusat kesenian itu) adalah, sumberdaya manusia, infrasutruktur yang memadai, manajeman yang tangguh, dan kepercayaan pemerintah terhadap kemandirian seniman. Sumber daya manusia itu, bisa diambil dari para stakeholder-stakeholder dari berbagai komunitas.
Stakeholder inilah yang akan menjadi energi daya sentripetal. Merekalah orang-orang yang memiliki spirit dan tahu akar-akar persoalan dari pada orang-orang (penentu kebijakan) yang hanya tahu angka-angka saja. Memberdayakan stakeholder menjadi sesuatu yang penting, bila keinginan pusat kesenian itu, bukan sebagai orientasi teknis, tetapi untuk meningkatkan nilai kultural yang benar-benar dibangun dari lapisan masyarakat.
Pusat kesenian Jawa Timur (dimanapun tempatnya), memang sesuatu yang penting. Tetapi bagaimana kepentingan itu, bukan hanya menjanjikan kemudahan-kemudahan teknis ( berkreatif tanpa susah payah memasang, sewa, pinjam, berbagai perlengkapan pentas), melainkan menjadi bertemunya sebuah sitem nilai kebudayaan, yang bisa diwacanakan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan pembangunan kebudayaan. Sistem nilai itulah yang harus diperjuangkan oleh seniman dan tidak hanya memberikan kemudahan teknis saja ke pada seniman. ***

Tidak ada komentar: