Halaman

Minggu, 13 April 2008

Memimpikan Gedung Kesenian di Surabaya


Oleh : R Giryadi

Sungguh luar biasa, kota sebesar Surabaya tidak punya gedung kesenian (gedung pertunjukan dan ruang pamer)? Sebagai pusat pemerintahan provinsi sungguh aneh kalau Surabaya tidak punya gedung kesenian. Lalu di mana tempat ekspresi masyarakat dan seniman digelar? Kemana kita akan menggelar konser musik dengan akustik gedung yang memadai? Kemana kita menemukan tempat pertunjukan ludruk modern? Kemana kita bisa menggelar pameran seni rupa? Tidak ada?
Kalaupun ada kondisinya memprihatinkan dan pengelolaannya terkesan apa adanya (untuk tidak mengatakan asal-asalan). Kalau tidak percaya datanglah ke Balai Pemuda Surabaya. Untuk sementara gedung itu dikatakan sebagai tempat representatif bagi kegiatan kesenian. Di sana ada panggung prosenium, tetapi kondisinya tidak terawat. Begitu juga dengan peralatan panggungnya, seperti lighting, soundsystem, juga tidak ada. Meski kondisinya serba minim, gedung itu paling diminati.

Tempat lain yang agak lumayan berstandar gedung pertunjukan, gedung Cak Durasim di Taman Budaya Jawa Timur. Gedung itu, sedikit memadai, karena telah didukung, panggung prosenium, akustik, lighting, soundsystem, dan alat pendingin ruangan. Selain itu kapasitasnya cukup untuk menampung 600-an penonton.
Kondisi mengenaskan terlihat di gedung pertunjukan Taman Hiburan Rakyat (THR). Gedung Srimulat dan gedung Wayang Orang, sama sekali tidak layak. Kondisi panggung, dan perlengkapan panggungnya tidak memadai (kurang modern). Begitu juga akustiknya amburadul. Suara-suara dari luar bisa masuk ke dalam gedung, sehingga mengganggu kejenakan penonton.
Sudah puluhan tahun, Surabaya tidak memiliki gedung kesenian. Kita perlu mengaca pada Jakarta. Sejak berdiri Taman Ismail Marzuki tahun 1968 lalu hingga kini telah menjadi ruang ekspresi seniman yang menyajikan karya-karya inovatif. TIM menjadi ruang berfikir dan berkreasi para seniman. Ini ditandai oleh sejumlah kreator seni yang sempat membuka peta baru seni pertunjukan kala itu. Bahkan kini TIM terus berbenah diri agar fasilitas gedungnya bisa menampung pertunjukan berscala internasional.
Sebenarnya kita punya gedung pertunjukan seperti yang saya sebutkan di atas. Tetapi kondisinya sudah tidak mampu lagi mewadahi ekspresi seniman yang terus beradaptasi dengan perkembangan seni modern. Citra estetika pertunjukan saat ini membutuhkan alat-alat pertunjukan modern. Mulai dari manajemen, sampai ruang ganti, gedung pertunjukan harus mampu mewadahi citra modernitas masyarakat kota. Kalau tidak kita terus ketinggalan.
Kebutuhan akan gedung pertunjukan adalah bagian dari berkembangnya ekspresi masyarakat modern. Ketika masyarakat modern membutuhkan pencanggihan-pencanggihan ide, mau tidak mau memang harus ada fasilitas untuk mewadahinya.
Sebenarnya, tidak hanya gedung pertunjukan yang minim. Gedung-gedung pameran –seni rupa- di Surabaya sangat minim bahkan boleh dikatakan tidak punya. Gedung Merah Putih dan Gallery Surabaya masih menjadi harapan satu-satunya seniman perupa. Padahal gedung itu juga banyak kelemahan-kelemahan.
Seorang kurator seni rupa dari Bandung, (alm) Mamanoor, pernah bilang kalau kesulitan menaklukan gedung Merah Putih di komplek Balai Pemuda untuk penataan lukisan yang telah dikuratorinya. Menurut almarhum, untuk kegiatan pameran seni rupa, gedung Merah Putih terlalu banyak ornamen yang mengganggu keberadaan lukisan.
Sementara itu, untuk menaklukan gedung Balai Pemuda, agar memiliki kualitas yang sedikit memadai, harus melalui perjuangan keras dan butuh biaya banyak. Panitia Festival Seni Surabaya (FSS) misalnya, harus mengeluarkan biaya ekstra untuk sewa kerangka lighting, trap tempat duduk, dan soundsytem, untuk menyulap gedung itu sekedar menyerupai Teater Kecil di TIM, Jakarta.
Hemat saya, kebutuhan gedung pertunjukan sangat mendesak dan perlu segera direalisasi. Namun kalau gedung telah siap, pertanyaan berikutnya muncul. Sudah punya sumberdaya manusiakah kita untuk mengelola gedung itu?
Saya kira kesiapan sumber daya dan profesionalisme manajemen sebuah kelompok kesenian akan sangat mendorong gedung kesenian itu ada. Ketika manajemen kesenian tertata baik dan mampu menjadi bagian dari ekspresi masyarakat modern, maka mau tidak mau gedung kesenian itu ada.
Hadirnya gedung kesenian harus didorong oleh tiga factor yang tidak bisa diputus mata rantainya. Pertama kebijakan pemerintah kota/provinsi tentang politik kebudayaan sebagai salah satu bagian dari strategi pembangunan. Kedua kebutuhan masyarakat modern terhadap ekspresi seni. Dan ketiga, kesiapan sumberdaya manusia.
Harus diakui, hadirnya gedung kesenian yang representatif sangat diperlukan bila ketiga factor itu menjadi pendoronganya. Gedung kesenian yang representatif tidak bisa hadir secara instant. Namun harus diakui, masyarakat seni Surabaya telah menunggunya sejak duapuluh tahun terakhir ini. Meski kekurangan gedung yang berkualitas, dengan aksi ‘boneknya’ para pekerja seni tetap nekat membuat berbagai ivent kesenian yang berskala lokal sampai internasional.
Setiap tahun di Surabaya berlangsung Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cak Durasim (FCD), Surabaya Full Music (SFM), Surabaya Dance Festival (SDF), Biennale Seni Rupa Jawa Timur, Pameran Akbar, Festival Teater Remaja (FTR), dan lain-lain. Tidak hanya itu, Surabaya kerap disinggahi kelompok kesenian dari luar Jatim dan bahkan kelompok kesenian dari mancanegara. Mungkin ini adalah salah satu indikasi, Surabaya butuh gedung kesenian yang representatif. Semoga ini bukan mimpi?

Teater Realis (di) Surabaya



Oleh : Rakhmat Giryadi

Menjawab ‘tantangan’ Dheny Jadmiko (Kompas, Kamis 10 April 2008), agar teater Surabaya kembali ke (genre) realis, sungguh tidak mudah. Untuk menjawab tantangan itu perlu dirumuskan pengertian antara teater realis di Surabaya dan teater realis Surabaya. Kedua rumusan ini memiliki makna yang berbeda dan konsekwensi yang berbeda pula.
Teater realis di Surabaya, memiliki ruang yang lebih fleksibel. Karena yang dimaksud teater realis di Surabaya (bisa) berarti peristiwa teater bergaya realis di Surabaya. Peristiwanya bisa kapan saja, dimana saja, dan tentunya tanpa merujuk pada fenomena tertentu yang terjadi di Surabaya.

Teater realis di Surabaya juga berarti sebuah kelompok teater sedang memainkan naskah-naskah realis misalnya dari Hendrik Ibsen, Anton P Chekov, dan Eugene O`Neill, Abu Hanifah, Armijn Pane, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Trisno Sumardjo, Motinggo Busje, B Sularto, WS Rendra, Putu Wijaya, dll, bertempat di Surabaya.
Dalam hal ini sebuah kelompok teater hanya merekontruksi (peristiwa) naskah yang sudah ada dalam satu pertunjukan. Kelompok teater hanya mempresentasikan naskah dengan sedikit aktualisasi tema di dalamnya. Dalam peristiwa ini penonton hanya menyaksikan, kehebatan pemeranan, penyutradaraan, dan tentu kehebatan well made play-nya.
Sementara itu teater realis Surabaya, memiliki pengertian yang lebih khusus. Secara ontologis realis bisa merujuk pada pemahaman filsafat realisme atau konsep drama realis, atau juga merujuk suatu fenomena sosial. Sementara Surabaya, bisa merujuk pada pemahaman ruang sosial, dan entitas budaya. Teater realis Surabaya memiliki kekhasan dalam konsep teaternya.
Surabaya, bukan saja dipahami sebagai letak geografis tetapi juga sebuah medan sosial yang menjadi bagian dari proses (obyek) pertunjukan teater itu sendiri. Surabaya menjadi `laboratorium` penelitian atas pertunjuakan yang akan disajikan. Surabaya menjadi entitas budaya yang tak terpisahkan dengan pertunjukan.
Pada bagian yang kedua ini jelas teater tidak saja sebuah peristiwa di atas panggung belaka, tetapi telah menuklik pada pemahaman atas realitas sosial. Kerja teater tidak hanya merekontruksi naskah yang sudah tersedia, tetapi merekontruksi peristiwa sosial menjadi sebuah tema pertunjukan.
Seperti diketahui lahirnya teater realis di Barat dilatari semangat studi ilmu pengetahuan dan eksperimen terhadap dunia aktual. Semangat ilmu pengetahuan mendorong dramawan realis menjadi pengamat yang obyektif. Kelompok teater dituntut jujur, obyektif, teliti, rinci dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami pengarang maupun sebuah kelompok kerja teater. Secara sadar mereka menyajikan fakta-fakta dan mendorong penonton untuk berpikir kritis.
Realisme merupakan cara pengamatan yang khas terhadap apa yang tampak sebagai realitas. Titik beratnya drama ini terletak pada bahasa yang digunakan, pola gesture, situasi, dan adegan-adegan yang dapat dijumpai di dunia nyata. Menurut Kernodle, drama realis bertujuan menciptakan ilusi realitas. Di sini penonton dapat lupa, bahwa dunia nyata yang ada di atas pentas sesungguhnya hanyalah drama.
Sekarang pertanyaannya, apakah para pekerja teater di Surabaya memiliki tradisi seperti saya sebutkan di atas?
Tantangan Dheny, membawa konsekwensi yang sangat luas. Karena mau tidak mau, harus berani membongkar `tradisi` teater di Surabaya yang menurut Dheny lebih banyak mengadobsi teater eksperimennya Grotowsky. Begitu juga teater di Surabaya sendiri tidak memiliki tradisi menulis. Padahal kelahiran teater realis di Barat diiringi dengan tradisi menulis dan cara berpikir empiris.
Hemat saya, teater kita punya cara pandang sendiri dalam menyampaikan pandangannya terhadap masalah fenomena sosial maupun fenomena-fenomena lainnya. Cara pandang itu bisa kita lihat pada seni pertunjukan tradisi kita.
Kita punya seni pertunjukan, kentrung, jaranan, tayuban, wayang, ketoprak, ludruk, Srimulat yang dalam seni pertunjukan ini, realitas sosial tidak lagi menjadi teks verbal, tetapi bisa menjadi kidungan, tembang, dongeng, dan lain sebagainya yang lebih mirip dengan konsep realisme epiknya, Bertolt Brecht.
Puncak dari realisme adalah teater epiknya Bertolt Brecht. Dalam teater epik penonton mendapat konsep realisme yang diperluas, sehingga mereka berpikir tidak hanya satu realisme saja. Dalam epik teater yang paling menonjol adalah setting-decoration yang lebih ringkas, bahkan simbolik, dan memiliki fleksibilitas ruang yang tak terbatas.
Dalam pementasannya, kadang tokoh menggunakan topeng, nyanyian, pidato, berdialog dengan penonton. Tidak jarang teater epik juga memanfaatkan teknologi, seperti slide-proyektor, film, dan komputer grafis.
Teater epik mampu menampilkan hubungan yang lebih luas, historik, politik, dan ekonomi, berbeda dengan realisme yang konvensional. Dalam hal ini kita bisa melihat teater karya, Putu Wijaya (Mandiri), N Riantiarno (Koma), WS Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Kecil). Sementara realisme konvensional kita bisa melihat karya-karya Teguh Karya (Populer).
Inti dari jawaban tantangan Dheny adalah, kita perlu kembali pada akar budaya sendiri sebagai bagian dari proses penciptaan teater. Hemat saya, tidak menariknya teater di Surabaya bukan masalah genre teater yang digunakan, tetapi masalah lemahnya ‘baca-tulis’ yang belum mentradisi pada pekerja teater di Surabaya. Disinilah, kita sering melihat pertunjukan yang tanpa rujukan yang jelas. ‘Co gito ergo sum, Rek!’