Halaman

Selasa, 15 Januari 2008

Hikayat Perlawanan Sanikem : NYAI ONTOSOROH


Oleh : R Giryadi


Dramatic Person

1. Nyai Ontosoroh : Istri (gundik) TB Mellema, berusia 35 tahun.
2. Tuan Besar Mellema : Tuannya Nyai, berusia 50 tahun.
3. Robert Mellema : Anak Nyai berusia 18 tahun.
4. Annelies : Anak Nyai berusia 16 tahun
5. Minke : Putra bupati Brojonegoro berusia 18 tahun.
6. Mauritz Mellema : Putra TB Mellema berusia 25 tahun
7. Darsam : Pengawal setia Nyai dari Madura berusia 40 th.
8. Sastrotomo : Ayah Sanikem berusia 45 tahun
9. Istri Sastrotomo : Ibu Sanikem berusia 35 tahun
10. Sanikem : Nama kecil Nyai berusia 14 tahun
11. Babah Ah Tjong : Germo pelacuran berusia 50 tahun
12. Minem : Salah satu buruh pabrik

Pemain Pendukung : Buruh Pabrik, Pelacur, Penduduk, Dua Utusan, Meiko.


Diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer penerbit Hasta Mitra Jakarta, cetakan kelima Februari 1981.



BABAK I

Setting : Dekat Pabrik Gula Tulangan

ADEGAN 1
Orang-orang sedang bekerja, hilir mudik, membawa karung-karung (gula) dan juga batangan tebu dengan geledekan. Mereka bertelanjang dada. Tubuhnya hitam. Ada yang kekar. Tetapi ada juga yang kurus kering.

ADEGAN 2
Seorang Juragan (Mandor), dikawal oleh dua budaknya. Dengan berkacak pinggang, Mandor itu menuding-nuding, bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja, berlarian. Ibunya, mengikuti dengan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta. Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu itu menyerahkan anak itu kepada seorang Mandor. Dengan imbalan seketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa Mandor, entah kemana?

ADEGAN 3
Upacara menjadi dewasa. Sanikem meronta-ronta, ketika Sastrotomo, menyeretnya.

1. Sastrotomo
(Menyeret Sanikem) Kamu sekarang sudah dewasa, sudah saatnya nasibmu berubah. Hari ini akan datang orang yang membawa nasibmu lebih baik dari sekarang. Maka bersucilah, agar kemelaratanmu menjadi cambuk masa depanmu.

Ibunya Sanikem hanya bisa tersedu. Ia menggayung air bercampur bunga tujuh macam, dari genthong. Sanikem diam terpaku ketika air bunga tujuh macam mulai membasahi tubuhnya.

2. Sanikem
Sejak saat itu, nama Sanikem, sedikit-demi sedikit luntur oleh kemauan keras orang tuanya.

Dua orang datang membawa pakaian dan tikar pandan. Sanikem telah berganti ujud menjadi perawan. Kemudian dia tidur terlentang di atas tikar pandan. Ibunya kemudian melangkahinya tiga kali.

3. Istri Sastrotomo
Tabahkan hatimu, Nak. Usiamu sudah 14 tahun. Kau sudah haid. Tidak baik kau dikatakan perawan kaseb. Maka relakan hari mudamu ini.
4. Sanikem
Betul, saya sudah dewasa, tetapi saya punya hak untuk menentukan pilihan.

5. Sastrotomo
Tak ada kata pilihan! Pemuda-pemuda melarat dan kampungan, tak patut untuk dipilih. Yang ada sekarang kau dipilih untuk menjadi istri seorang yang kaya raya. Siapapun orangnya!

Sastrotomo menyeret Sanikem. Sanikem meronta. Ibunya membuntut dengan hati yang meronta. Ia membawa sekopor pakaian anaknya yang kumal. Sementara di tempat lain para budak menerima upah, Sastrotomo muncul dengan hati riang. Di belakangnya ada Sanikem. Ibunya yang kelihatan renta, hanya bisa tertunduk lesu meratapi nasib anaknya. Di sudut lain, Tuan Besar Mellema berdiri tegak, angkuh dan sombong.

6. Sastrotomo
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.

7. Istri Sastrotomo
Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?

8. Tuan Besar Mellema
Jadi ini anakmu? Bagus, bagus. Kowe, pintar… (Tertawa).

Tuan Besar Mellema pergi bersama dua pengawalnya, membawa Sanikem tanpa perlawanan. Sementara Istri Sastrotomo, terisak melihat anaknya dibawa Tuan Besar Mellema.

9. Sastrotomo
(Tertawa girang) Akhirnya saya jadi Juru Bayar!

10. Istri Sastrotomo
Sampeyan menjadi Juru Bayar, tetepi sampeyan harus membayar mahal, dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita. Tetapi sampeyan tega menjual untuk menjadi gundik, demi ambisi sampeyan, Pak.

11. Sastrotomo
Kamu jangan banyak omong. Saya telah memperjuangkan anak saya untuk menjadi wanita terhormat. Istri Tuan Besar. Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Sanikem akan terhormat. Dan kita akan terhormat, karena Sanikem akan menjadi kaya raya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda-pemuda kampung yang tidak berpendidikan.

12. Istri Sastrotomo
Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman, seorang laki-laki. Kita sudah kehilangan segalanya, Pak. Kamu lebih memilih sekeping Golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan telah kita rawat bertahun-tahun.
Anak-anak kampung yang dengan tulus memberikan cintanya, tetapi sampeyan tolak. Sementara dia yang datang dengan membawa segerobak kepalsuan sampeyan terima dengan tangan terbuka. Sampeyan telah mengadu nasib itu menjadi tidak menentu, Pak…

13. Sastrotomo
Diamlah. Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dengan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu hidup melarat, dan hanya mengandalkan dari penghasilan saya sebagai Juru Tulis? Saya ini, sebentar lagi akan naik pangkat jadi Juru Bayar. Kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar Juru Tulis. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan segala urusan. Apalagi Juru Bayar.
Ikem telah mendapatkan laki-laki yang pantas. Mulai saat ini Sanikem tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh memandang ke laki-laki yang berkeliaran dan tidak jelas itu. Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun!
Hehe..he..he..Juru Bayar. Saya akan jadi Juru Bayar. Semua orang di Pabrik Gula itu akan tunggu saya berderet-deret. Harus tunggu uang dari tangan saya. He..he…he..Saya akan jadi kasir. Bertumpuk-tumpuk uang di jari-jari saya. Semua orang akan berurusan dengan saya, Si Juru Bayar! Mereka harus datang ke saya. Harus ambil uang dari tangan saya dengan membubuhkan cap jempol. Para buruh, pedagang, akan bungkuk-bungkuk di depan saya. Tuan Totok, Peranakan, akan beri tabik pada saya. Guratan pena saya berarti uang. Saya akan masuk golongan penguasa di pabrik. Mereka harus dengar kata-kata saya : ‘Hei! Tunggu kau, disitu! Tunggu kau, disitu! He..he…Kalian akan berderet antri tunggu uang dari tangan saya…!’
Kemarilah istriku. Kau harus ikut senang, suamimu ini akan jadi Juru Bayar! Berpakaianlah yang pantas, selayaknya istri orang terpandang. Kamu jangan bersedih. Ikem akan lebih terhormat kawin dengan laki-laki kaya. Dia akan menghuni rumah besar. Kita bisa diundang ke sana sewaktu-waktu. Ayo istriku kita songsong kehidupan yang lebih baik.

Istri Sastrotomo terpaku. Ligting meremang. Out Stage. Disudut lain, Mellema sedang memandang Sanikem yang bongsor dan kelihatan cantik. Beberapa pembantu jalan jongkok, menyediakan minum dan buah-buahan. Sanikem hanya berdiri terpaku di pojok ruang, Tuan Besar Mellema.

14. Tuan Besar Mellema
Kowe sudah 14. Kowe sudah besar dan cantik, seperti bunga di Tulangan atau seperti mawar dari Surabaya. Kowe jangan takut dengan saya. (Kepada Sastrotomo). Sastrotomo! Ini berisi 25 golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar.

15. Sastrotomo
(On stage) Terimakasih Tuan Besar. Saya jamin Ikem sangat penurut. (Kepada Sanikem) Ikem anggap saja ini rumahmu yang baru. Kau tidak boleh keluar rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau juga tidak boleh kembali ke rumah tanpa seijin Tuan dan seijin Bapakmu.

Sastrotomo meninggalkan panggung. Lighting meremang biru. Tirai menurun pelan-pelan. Percintaan di balik tirai. Dua penari karonsih/tayub menari dengan lembut. Tetapi isak tangis jelas terdengar dari ibu Sanikem. Lighting semakin temaram. Penari karonsih menghilang di balik tirai. Di sudut yang lain, Nyai Ontosoroh berdiri kokoh.

16. Nyai Ontosoroh
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya.
Mang, Mbok, ke sini kalian semua. (4 pelayan laki-laki dan 3 pelayan perempuan on stage). Dengar mulai saat ini kalian tidak usah kerja di sini. Kalian pasti sudah tahu saya adalah Nyai rumah ini sekarang. Saya tidak ingin ada saksi atas kehidupan saya sebagai Nyai di rumah ini. Kalian lebih berharga dari pada saya. Kalian kerja di sini, sedangkan saya, hina dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri berada di rumah ini.
Semua pekerjaan rumah biar saya kerjakan sendiri. Tetapi jangan kuatir, kalian akan pergi dengan membawa bekal. Lagi pula, di lain tempat pasti kalian akan bisa memburuh atau apa saja, karena kalian merdeka. Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!
Baiklah kalian berkemas, beresi barang-barang kalian. Kau Darsam, siapkan bekal secukupnya buat mereka.

Mereka out stage. Tuan Mellema on stage.

17. Tuan Besar Mellema
Nyai, kenapa kau mengusir semua Bujang dan Mbok? Pekerja-pekerja itu harus disewa untuk menjalakan usaha susu ternak rumah ini. Mulai saat ini kaupun harus mulai mengurusi semua urusan usaha. Satu hal yang harus kau ingat, majikan mereka adalah penghidupan mereka. Majikan penghidupan mereka adalah kau! Jadi kau harus jadi majikan yang baik, yang tahu bagaimana mengurus pekerjaannya.
Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan.

18. Nyai Ontosoroh
Ya, saya akan menjalankan semua tugas sebaik-baiknya. Akan saya kerahkan seluruh tenaga dan perasaan yang ada di diri saya untuk Tuan. Sebaik-baiknya. Karena itulah tugas saya, sebagai Nyai Tuan. Apakah wanita Eropa diajar sebagaimana saya diajar sekarang ini, Tuan? Sudahkan saya seperti wanita Belanda?

19. Tuan Besar Mellema
Ha..ha..ha..tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan….

Darsam, masuk panggung (on stage) bersama Sastrotomo dan Istrinya datang dengan berjalan jongkok.

20. Darsam
Tuan, maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.

21. Nyai Ontosoroh
Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem tidak ada sekarang.

22. Tuan Besar Mellema
Temuilah…

23. Nyai Ontosoroh
Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.

24. Tuan Besar Mellema
(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!

25. Nyai Ontosoroh
Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!

26. Tuan Besar Mellema
Jangan…!(Memberi kode pada Darsam). Darsam beritahu mereka…

27. Darsam
Nyai bilang…Di rumah ini tidak ada orang bernama Sanikem. Pergilah!

Suasana hening. Sastrotomo dan istinya beringsut pergi. Wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus, seperti menapaki nasibnya yang tak berujung.

ADEGAN 4
Orang-orang sedang mengusung karung. Ada juga yang mengusungnya dengan gledekan. Suasana begitu sibuk. Nyai Ontosoroh, Tuan Besar Mellema, Annelise, Robert Mellema, dan Darsam, seperti bersiap-siap hendak mau pergi.

28. Nyai Ontosoroh
Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. TB Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan kemari.
Segala yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.
Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak. Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.

Para buruh bergerak bersama-sama, mengikuti tuan mereka. Mereka membawa barang-barang pindahan. Darsam berjalan di depan. Musik. Lighting fide out.

Babak II

ADEGAN 1
Siang hari. Suasana pesta pora perayaan pengangkatan Sri Ratu Wilhelmina di Surabaya. Bendera triwarna (Merah, putih, biru) berkibar di mana-mana. Terpampang foto besar Sri Ratu Wilhelmina. Suara musik hingar bingar. Orang-orang berlarian mengibarkan bendera merah putih biru.

29. Minke
Modern! Modern! Modern! Dengan cepatnya kata itu menyebar, dan membiak seperti bacteria di Eropa sana. Jaman modern ini, potret sudah dapat diperbanyak sampai puluhan ribu sehari dengan alat cetak. Juga ada seorang dara, cantik, kaya, berkuasa, gilang gemilang, seorang pribadi yang memiliki segala, kekasih para dewa. (Memandangi poto Sri Ratu)
Tapi ah, betapa tingginya tempatmu. Jauh pula, sebelas atau dua belas ribu mil dari tempat saya di Surabaya ini. Kekasih para dewa ini seumur dengan saya : 18 tahun. Kami berdua dilahirkan pada tahun yang sama. Hari dan bulan sama. Kalaupun ada perbedaannya hanya jam dan kelaminnya. Bila negeri saya diselimuti kegelapan malam, negerinya dipancari surya. Bila negerinya dipeluk oleh kehitaman malam, pulau saya gemerlapan di bawah surya katulistiwa. (Minke memandangi foto Sri Ratu dengan takjub)
Oh, ya (kepada penonton) perkenalkan nama saya Minke. Saya punya sahabat bernama Robert Suuhrof. Dia selalu memanggil saya, Philogynik Minke, Si Mata Keranjang kita, Si Buaya Darat, busyet..! Dialah yang menghantarkan saya pada seorang gadis cantik, yang bersembunyi di balik loji besar, anak Tuan Besar dari seorang Nyai. Dia bukan saja cantik parasnya, tetapi cantik pula budi bahasanya.
Tetapi di balik semuanya itu ada peran seorang perempuan yang lebih berharga. Dialah orang yang menjadi ‘tuan besar’ di rumah besar itu. Orang-orang memanggilnya Nyai Ontosoroh. Pada dasarnya saya sangat rikuh berada di tengah-tengah orang kulit putih. Tetapi sekali lagi, Robert Suuhrof-lah yang membuat saya percaya diri.
Katanya, menjadi orang putih dihormati. Bagaimanapun mereka lebih mempunyai peluang-peluang. Kalau kau betul jantan. Akan saya hormati kau lebih dari pada guru saya sendiri. Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu Minke, katanya, “Siapa tahu pada suatu kali kau akan menjadi bupati, Minke. Mungkin kau akan mendapat kedipaten tandus. Akan saya doakan kau mendapat kadipaten yang subur. Kalau dewi itu kelak akan mendampingimu jadi Raden Ayu, aduhai, semua Bupati di Jawa akan demam kapialu karena iri.”
Sahabat saya yang satu ini cita-citanya terlalu tinggi. Saya merasa dia terlalu bernafsu untuk menjadi orang berkulit putih. Dia malah mengejek saya, sebagai orang Jawa yang tidak beradap. Katanya semua Bupati Jawa, tidak beradab. Semuanya buaya darat. Sementara saya, untuk datang ke rumah orang kulit putih saja, badan ini terasa bergetar. Apalagi kalau benar-benar bertemu dengan gadis yang diceritakan sahabat saya itu. Betapa tidak, katanya, semua pemuda lajang di Surabaya, mengidolakan. Semua mengharapkan undangannya.
Tetapi yang tidak saya suka dalam gedung itu adalah anaknya tuan Mellema. Dia sahabat Suuhrof juga. Namanya Robert Mellema. Dia putra Mellema yang tidak ingin disebut pribumi. Padahal dari perut pribumilah dia dilahirkan di bumi ini. Robert Mellema memang membenci pribumi. Kepada saya, matanya selalu menyelidik. Bahkan kepada nama saya dia mengejek hanya karena nama saya tidak ada dalam kamus, bahasa Belanda maupun Inggris.
Robert Mellema lebih mencerminkan sifat Tuan Besar. Tetapi gadis cantik yang bernama Annelies, adiknya, lebih mencerminkan seorang wanita yang memang pantas menjadi pujaan remaja di Surabaya.
Sampai sejauh ini orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang yang sekali-kali saja atau sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya : Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama On-to-so-roh, sebutan orang Jawa yang lidahnya suka kesleo. (tersenyum)
Saya bahagia sekali, karena akhirnya bisa berkenalan dengan gadis pujaan para jejaka di Surabaya ini. Dia sangat manja pada Nyai. Dia sangat mencintai Nyai. Begitupun dia lebih suka diakui sebagai anak Nyai. Dia memanggil Nyai, Mama. Sayapun sering memanggil Nyai, Mama. Nyai lebih suka memanggil saya Nyo Minke.
Oya, saya putera Bupati Brojonegoro. Beliau seorang yang sangat feodal. Dia sangat bangga dengan gelar ke-Jawaannya. Anak-anaknya diberlakukan seperti punggawa-nya. Orang Jawa harus sujud dan berbakti kepada yang lebih tua, kepada yang lebih berkuasa. Meski ajaran itu tetap saya indahkan, tetapi inilah kekeliaruannya. Orang yang lemah, akan terus diinjak oleh yang kuasa.
Atas sikap dan sifat Ayah inilah saya tetap merahasikan status saya. Mereka tidak pernah tahu kalau saya adalah putra Bupati Brojonegoro…

Nyai Ontosoroh on stage

30. Nyai Ontosoroh
Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus tamumu itu, Ann. Mama masih banyak kerja, Nyo.

31. Annelies
Lama betul kami harus menunggu kau?

32. Minke
Banyak pelajaran, Ann. Saya harus berhasil. Tahun depan saya harus tamat. (pause)Ann, saya selalu terkenang padamu. Kau gadis luar biasa.

33. Annelies
Suka kau disini?

34. Minke
Saya suka sekali tempat ini.

35. Annelies
Mengapa kau sembunyikan nama keluargamu? Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu. Saya juga bisa menjadi teman, seperti siswa HBS.

36. Minke
Tak ada yang saya sembunyikan tentang diri saya. Saya memang tak punya …(Ragu-ragu)

37. Annelies
Oh..maafkan saya. Tak punyapun baik.

38. Minke
Saya juga bukan Indo…

(Robert Mellema dan Darsam On stage. Memandang dengan penuh curiga. Darsam menunjukkan kebolehannya bermain pencak silat.)

39. Annelies
Tidak. Oh mengapa kau pucat? Pribumi juga baik. Ibu saya juga pribumi. Pribumi Jawa. Abang saya, Robert Mellema lebih senang disebut Indo atau Eropa, meski dia dilahirkan dari rahim orang Jawa. Darsam adalah pengawal Mama saya yang setia. Kau tamu saya, Minke. Juga tamu Mama.
Akhir-akhir ini Mama sibuk sekali. Mama kerja sangat keras. Semua buku dagang, surat menyurat, perusahaan kami luas, juga pemerahan susu. Saya yang menjadi Mandor….(Mengulang)..Ya..Mandor..Mengapa? Usaha rumah ini cukup banyak, Mama saya yang mengajari semua. Semuanya seratus delapan puluh hektar. Sawah dan ladang, hutan dan semak belum termasuk. Hutan-hutan itu hanya untuk sumber kayu bakar. Ada dua rawa kecil di dekatnya.
Disana ada kandang sapi yang sangat panjang dan juga kuda-kuda. Sepanjang hari saya bergelut dengan bau busuk. Saya harus mengawasinya dengan kuda-kuda itu. Setiap hari Tuan Domschoor memeriksa sapi. Tetapi sekarang semua ditangani sendiri oleh Mama.
Tanah disini sangat bagus, bisa menghasilkan kacang tanah kering glondongan tiga ton setiap hektar. Kalau tidak membuktikan sendiri boleh jadi orang tidak akan percaya. Tanahnya sangat baik. Menguntungkan. Rendengnya pun baik buat pupuk dan buat ternak.

Beberapa pekerja perempuan melintas. Mereka membawa ember-ember seng berisi susu hasil perahan. Sementara yang laki-laki memanggul karung kacang tanah dan juga ada yang menggeledeknya.

40. Annelies
Disini ada pekerja wanita. Hanya tidak berbaju kerja. Mereka sangat merdeka. Mereka juga sangat akrab dengan saya. Minem…! (Memanggil seseorang gadis pekerja pribumi).
Berapa ember perahanmu…?

41. Minem
Ngapunten, Ndoro Putri. Dereng mindak-mindak.

42. Annelies
Kalau pekerjaanmu tidak pernah meningkat, apakah bisa menjadi mandor-perah?

43. Minem
Bilih Ndoro Putri berkenan, saget mawon..

44. Annelies
Sebagai mandor harus kerjanya baik. Memberi contoh yang lain. Kalau hasil perahanmu tidak lebih banyak dari yang lain tidak akan bisa menjadi mandor.

45. Minem
Ngapunten Ndoro Putri, para buruh menika dereng gadah mandor

46. Annelies
Saya kan Mandormu. Ah..lupakan soal Mandor, kembalilah bekerja. (Kepada Minke) Di sana ada kandang kuda dan disimpan beberapa kereta. Luasnya satu gedung pendapa kabupaten. Keretanya berwana kuning keemasan dan berlampu karbit.

47. Minke
Pernah kau melihat gambar Sri Ratu?

48. Annelies
Tentu saja. Cantiknya bukan main.

49. Minke
Ya..kau tidak salah. Tetapi kau lebih dari padanya. Kau adalah gadis cantik yang pernah saya temui.

50. Annelies
(Tersipu malu) Terimakasih Minke…

Annelies berlari hendak meninggalkan Minke. Minke hendak menangkapnya, tetapi terhadang Tuan Besar Mellema.

51. Tuan Besar Mellema
Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet? Kowe kira, kalau sudah pake kain Eropa, bersama Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Kowe tetap monyet!

Nyai Ontosoroh muncul

52. Nyai Ontosoroh
Tutup mulutmu! Ia tamu saya! Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri! (Menunjuk satu arah. Tuan Besar Mellema masih berdiri) Atau saya panggil Darsam? (Tuan Mellema bergegas pergi) Bedebah! Diam kau Ann. Maafkan kami Minke, Nyo. Duduklah kembali, jangan bikin pusing, Ann. Duduk kau di kursimu.
Kau, tak perlu malu pada Sinyo. Dan kau, Nyo, memang Sinyo takkan mungkin dapat lupakan. Saya takkan malu, jangan Sinyo kaget atau ikut malu. Jangan gusar. Semua sudah saya letakkan pada tempatnya yang benar. Anggap dia tidak ada, Nyo.
Dulu saya memang Nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Lebih menyukai bersarang di rumah plesiran (pelacuran). Papapmu, orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah Papamu, Ann.
Kalau saya tidak keras begini, Nyo…maafkan saya harus membela diri sehina ini, akan jadi apa semua ini? Anak-anaknya, perusahaannya, semua sudah akan menjadi gembel. Jadi saya tak menyesal sudah bertindak begini di hadapanmu, Nyo. Jangan angap saya biadab. Semua untuk kebaikan dia sendiri. Dia telah saya berlakukan sebagaimana dia kehendaki. Itu yang dia kehendaki, begini, Minke. Orang-orang Eropa sendiri tidak disekolahkan di dalam kehidupan ini.
Sinyo Minke, Annelies tak punya teman. Dia senang Sinyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu, itu saya tahu. Biar begitu, usahakan sering datang kemari. Tak perlu kuatir pada Tuan Mellema. Itu urusan saya. Kalau sinyo suka, kami akan senang. Apalagi kalau Sinyo suka bekerja dan berusaha, kau cukup di sini saja bersama kami. Itu kalo Sinyo suka.
Darsam! Darsam! (Darsam masuk) Tuan muda ini tamu saya, tamu Non Annelies. Antarkan pulang dan jangan sampai terjadi apa-apa di jalan.

53. Minke
Terima kasih, Mama. Semuannya itu baik dan menyenangkan, namun harus sayapikir-pikir dulu. Apalagi banyak sudah pekerjaan dan janji dengan sahabat-sahabat saya yang ada.

54. Nyai Ontosoroh
Itu baik. Manusia yang wajar, meski mempunyai sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat, hidup akan terlalu sunyi. Seka air matamu, Ann, biar tamumu pulang dulu.

55. Annelies
Maafkan kami, Minke.

Orang-orang kembali sibuk bekerja. Minke dan Darsama menyelinap di antara orang-orang yang lalu lalang. Annelies memandangnya dengan penuh harap. Mereka melambaikan tangan. Annelies membisikan sesuatu pada Nyai. Tiba-tiba Nyai berteriak.
(Minke! Minke!....Minke !) Sebuah musik cinta mengalun merdu.

ADEGAN 2
Annelies duduk di kursi dengan murung. Hatinya berdegub kencang, ketika mendengar suara kuda meringkik. Annelies merindukan Minke.

56. Nyai Ontosoroh
Tak pernah Mama melihat, Ann, semurung ini?

57. Annelies
Apakah Mama suka pada Minke?

58. Nyai Ontosoroh
Tentu Ann, dia anak yang baik. Bagaimana mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka? Orang tua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita siapa takkan bangga jadi istrinya nanti? Istri syah? Mamapun bangga punya menantu dia. Karena itu kau tak perlu kuatirkan sesuatu.

59. Annelies
(Masih tidak yakin) Tetapi apakah dia juga mencintai saya?

60. Nyai Ontosoroh
Pemuda siapa yang tak kan tergila padamu? Totok, Indo, Pribumi. Semua menginginkanmu. Mama mengerti, Ann. Tak akan ada gadis secantik kau, di Wonokromo ini.

61. Annelies
Kalau orang tuanya melarang, bagaimana?

62. Nyai Ontosoroh
Jangan kau pikirkan apa-apa. Mama akan mengatur semua. Dan kau berhak menentukan pada akhirnya. Semua terserah kamu, Ann. Tidak seperti Mamamu dulu. Saya tidak punya hak untuk menentukan masa depan saya. Semua telah ditentukan oleh ayah saya.
Mamamu hanya bisa menunggu datangnya seorang laki-laki yang akan mengambilnya dari rumah, entah kemana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau ke empat. Ayah saya dan hanya ayah saya yang menentukan. Apakah yang mengambil seorang laki-laki tua atau muda, seorang perawan tidak berhak tahu. Sekali peristiwa itu terjadi, perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada laki-laki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusirnya.
Tak ada pilihan. Boleh jadi mereka yang datang seorang penjahat, penjudi, atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman dan belum beristri.

63. Annelies
Kapan Mama merasa sangat bahagia?

64. Nyai Ontosoroh
Biarpun pendek dan sedikit, setiap orang pernah, Ann. Ada banyak tahun setelah saya ikut TB Mellema, Ayahmu. Yang sekarang ini saya tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang saya kuatirkan. Saya ingin lihat kau berbahagia. Saya didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak harus tergantung pada suami.
Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti saya dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini : Tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat yang tiba-tiba datang membawa kebahagiaan?

65. Annelies
(Memeluk Mamanya) Saya sayang sekali sama Mama. Saya bahagia sekali Mama.

Musik mengalun lirih. Lampu fide out. Menuju Babak III.

BABAK III

Musik cinta itu berubah menjadi kacau dan amarah. Robert dan Annelies bertengkar. TB Mellema tidak memperdulikannya. Nyai memandang dengan perasaan geram.

66. Robert Mellema
Aku bukan pribumi! Aku bukan Pribumi! Aku anak Papa…wek!

67. Annelies
Mama, Annelies anak Mama, bukan?

Nyai Ontosoroh mengangguk ragu. Mereka masih saling mengejek.

68. Nyai Ontosoroh
Tak terasa Robert dan Annelies sudah besar. Sebaiknya kita ke pengadilan untuk mendaftarkan kita, sehingga anak-anak kita diakui sebagai anak-anak sedarah, anak syah.

69. Tuan Besar Mellema
Itu sudah saya pikirkan sejak semula. Kemarin aku datang ke pengadilan untuk meminta pengakuan. Ternyata dengan campur tangan hukum, justru Robert dan Annelies tetap dianggap anak tidak syah dan hanya diakui sebagai anakku, anak tuan Mellema.

70. Nyai Ontosoroh
Bukankah saya Ibunya? Saya yang mengandung dan melahirkannya. Saya yang merewat dan membesarkannya…? Ini adalah fakta…? Hukum tuan tidak mengakui saya sebagai Ibu anakku sendiri, hanya karena saya pribumi dan tidak kawin secara syah dengan Tuan. Ya, saya mengerti. Seharusnya saya tidak bertanya-tanya ini. tetapi, syah atau tidak menurut hukum Tuan, saya tetaplah Ibu dari anak-anak saya.

71. Robert Mellema
(Berteriak keras) Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak perduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa. Aku bukan pribumi.

72. Nyai Ontosoroh
Robert, masihkan sedikit punya kesopanan terhadap Ibumu? Buatmu, tidak ada yang lebih agung dari pada menjadi Eropa? Dan kau menginginkan semua pribumi untuk tunduk padamu yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Pergi sana. Jadilah orang Eropa yang kau agungkan.

73. Robert Mellema
Papaku bukan pribumi.

74. Nyai Ontosoroh
Dan saya ibumu. Saya yang melahirkan kau…

Robert menyingkir sedikit lalu pergi dan berteriak

75. Robert Mellema
Papaku bukan pribumi…

Annelies berdiri di sudut ruang. Kepalanya tertunduk.

76. Nyai Ontosoroh
Kau boleh ikut abangmu…(Hendak pergi)

77. Annelies
(Mencegahnya) Tidak, Ma. Annelies anak Mama…Mamaku sayang. Engkau mempunyai cinta yang agung. Tetapi betapa diri ini juga merasa lelah. Lelah harus terus bekerja siang malam, mengikuti Mama yang kadang seperti mesin. Terus dan terus. Dan di sana ada kemurungan. Ya, kemurungan yang tak terungkap, meskipun cinta Mama juga telah memberiku kekuatan….Ah..Mama, Mamaku sayang. Engkaulah kebesaran dan kekuasaan satu-satunya yang kukenal.

Tiba-tiba Darsam on stage

78. Darsam
Ada tamu, Nyai!

79. Nyai Ontosoroh
Siapa?

Darsam belum menjawab Mauritz Mellema on stage.

80. Mauritz Mellema
(Masuk tanpa permisi) Mana Tuan Mellema!

81. Nyai Ontosoroh
Bisa saya bantu, Tuan?

82. Mauritz Mellema
Hanya tuan Mellema yang kuperlukan

83. Nyai Ontosoroh
Saya Nyai Ontosoroh.

84. Mauritz Mellema
Hanya tuan Mellema yang kuperlukan!

Nyai meninggalkan dengan perasaan marah.

85. Tuan Besar Mellema
Oh, silahkan duduk Mauritz. Kau sudah segagah ini?!

86. Mauritz Mellema
Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, tuan Mellema! Ibuku, Mevrow Amelia Mellema-Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur.
Tuan telah tinggalkan Mevrow Amelia Harmers, Ibuku, dengan satu tuduhan berbuat serong. Aku anaknya, ikut merasa terhina. Tuan tak pernah mengajukan soal ini ke pengadilan. Tuan tidak memberi kesempatan kepada Ibuku untuk membela diri. Tuan seenaknya saja menggantungkan perkara Ibuku, sehingga Ibuku susah karenanya. Seharusnya Ibuku bisa kawin lagi dan hidup bahagia.

87. Tuan Besar Mellema
Dari dulu dia bisa datang ke pengadilan kalau membutuhkan cerai. Kalau aku yang mengajukan perkara, Ibumu akan kehilangan semua haknya atas semua perusahaan susuku di sana. Kalau ibumu sejak dulu tak ada keberatan sekandal itu diketahui umum, tentu aku telah pergi ke pengadilan.

88. Mauritz Mellema
Jangan berlagak menjadi seorang humanis, Tuan Mellema. Tahu apa Tuan tentang hak? Mengapa mesti Mevrow Melllema Harmers ke pengadilan, kalau yang menuduh Tuan? Kalau tuan yakin Ibuku serong, mengapa tuan tidak mengajukan tuntutan cerai saat itu ke pengadilan?
Dahulu Ibuku belum mampu menyewa pengacara. Sekarang anaknya sanggup, bahkan yang semahal-mahalnya. Tuan bisa buka perkara. Tuan juga cukup kaya untuk membiayai semua.
Aku tahu apa saja yang ada dalam setiap kamar rumah ini, berapa pekerja, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan sawahmu, berapa penghasilannmu setiap tahun, berapa depositomu.
Dan yang terhebat dari semua itu, Tuan Mellema, yaitu sesuatu yang menyangkut azas hidup, bahwa Tuan telah meninggalkan dakwaan seorang kepada istri Tuan, Ibuku. Apa kenyataannya sekarang? Tuanlah yang justru telah mengambil seorang perempuan pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk sehari dua hari, bahkan sudah bertahun-tahun!! Siang dan malam. Tanpa perkawinan yang syah. Tuan sudah menyebabkan lahirnya dua anak haram jadah!!

Nyai Ontosoroh masuk sambil marah, mendengar kalimat Mauritz.

89. Nyai Ontosoroh
Jaga mulutmu. Ini rumah kami. Kami berhak mengusirmu. Ucapanmu hanya patut didengarkan di rumahmu sendiri!! Tak ada hak padamu bicara tentang keluarga saya. Ini rumahku. Bicaralah di sana di pinggir jalan sana, bukan di sini!

90. Mauritz Mellema
Hemm…o..o..o..ini tidak ada urusannya dengan kowe, Nyai. Tuan Mellema, biarpun tuan kawini Nyai, gundik ini, dengan perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekerinya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrow Amellia Mellema Hamers, lebih busuk dari semua dari kebusukan yang pernah Tuan tuduhkan kepada Ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir pribumi berwarna! Dosamu tak terampuni, Tuan!.

91. Nyai Ontosoroh
Tuan Insinyur yang saya hormati. Ternyata otakmu lebih kotor dari mulutmu. Lebih baik segeralah pergi. Bikin kacau rumah tangga orang. Mengaku insinyur, tetapi tak punya sopan santun.

Mauritz memandangi Nyai dengan jijik.

92. Mauritz Mellema
Seorang gundik juga punya sopan santun? Tuan Mellema, jadi tuan tahu sekarang siapa sesunguhnya Tuan? Sssssttttt! (Memberi isyarat kepada Nyai Ontosoroh untuk tidak berbicara) Diam kamu gundik….! (Out stage)

Suasana hening

93. Nyai Ontosoroh
Seperti itukah peradaban Eropa yang kau ajarkan pada saya? Kau angungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki rumah atangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatau kali bisa datang untuk kemudian memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa mencampuri urusan orang lain?
Begitukah adab orang Eropa yang kau agungkan. Apa guna ilmu pengetahuan yang kau miliki? Apa guna kau jadi orang eropa yang dihormati semua orang pribumi? Apa guna kau jadi tuan ku dan guruku sekaligus dan dewaku, kalau membela dirimu saja tak mampu….?

94. Tuan Besar Mellema
Mauritz…Mauritz…Mauritz…(Out stage)

95. Nyai Ontosoroh
(Tetap Terpaku)

96. Annelies
Ada apa…Ma…?

97. Nyai Ontosoroh
(Menggelengkan kepala. Memeluk Annelies)

Musik mengalun lirih. Orang-orang hilir mudik, bekerja tanpa gairah.
BABAK IV

ADEGAN 1
Sederet pelacur sedang berpasang-pasangan dengan lelakinya. Beberapa centeng berjalan kesana-kemari. Seorang pemabuk melintas.
ADEGAN 2
TB Mellema datang disambut gembira oleh Babah Ah Tjong.

98. Babah Ah Tjong
Aya…Tuan Besal mau ada yang balu. Di sana Tuan tinggal pilih-pilih. Ada lima yang balu-balu oi datangkan dari negeri Tiongkok. Yang local juga ada, oi datangkan dari Blitar dan Dampit. Tuan Besal pasti senang. Tinggal pilih, tinggal pilih. Meleka masih gadis-gadis…Meleka juga pada pandai menali.
Mau pilih yang mana tuan? (Tuan Besar Mellema memilih orang yang berpakaian Jawa). Oi…oi…masih kulang puas juga dengan olang Jawa, Tuan. Tapi tidak apa, dia pandai sekali melawat tubuhnya, makanya kelihatan sintal, kayak Nyai, hemmm. Silahkan Tuan. Pelalis, pelalis…!(Tuan Besar Mellema out stage).
(Robert Mellema on stage). Oh..tabik Sinyo Lobet. Hali bagus, Nyo. Hali pelesil sekalang. Ayoh, Nyo, mampil. Ada yang baru. Tinggal pilih, tinggal pilih, Nyo!
Oh mungkin Sinyo tidak suka. Oi sediakan yang lain. Nah ini Meiko. Oi datangkan khusus buat Nyo, dari Jepun. Sinyo juga boleh pakai kamal mana saja Sinyo suka. Tinggal pilih, tinggal pilih. Ayo, Meiko bawa Sinyo Lobet ke dalam. Layani baek-baek.
Pelalis…pelalis… (Robert Mellema out stage) Aya…anak belanak sama saja. Tinggal kilim tagihannya ke lumah Buitenzorg itu, ke Nyainya. He…he…selamat belsenang-senang, Nyo…Tuan Besar…eh…besal…

ADEGAN 3 : Setting : Sekitar rumah Nyai Ontosoroh
Musik berdentang. Di tempat lain, Minke sedang melamun sendirian.

99. Minke
Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, saya jatuh cinta pada Annelies. Mimpipun tidak. Saya bahkan telah tinggal bersama-sama penghuni Buitenzorg itu. Anak dan Ibunya begitu mengesankan. Suatu sosok yang berbeda, tetapi alangkah kuatnya mereka itu. Apa yang ada dalam pendapat umum tentang Nyai-Nyai yang sering di sas-suskan, terbalik dengan apa yang saya lihat. Saya telah jatuh cinta.
Tak pernah akau jatuh cinta. Tetapi memang dara itu, Annelies, sangat menarik dan cantik tiada banding, Bahkan sang Ratu di Nederland sana kalah. Annelies sangat menarik, menawan. Tetapi Ibunya, Nyai Ontosoroh, tak kalah menariknya. Ia adalah perempuan yang sangat kuat, bahkan mengendalikan seluruh usahnya di rumah yang sering disebut-sebut seram, bahkan ia bisa membentak tuannya. Jadi pendapat umum tentang Nyai-Nyai itu keliru. Ah, apakah saya benar-benar jatuh cinta?

100. Robert Mellema
Hei, Minke! Betul kau suka pada adikku? Adikku memang gadis yang baik dan pandai bekerja, juga cantik. Sayang sekali kau hanya pribumi.

101. Minke
Apa salahnya dengan pribumi?

102. Robert Mellema
Kau tidak tahu diri Minke! Kau tak akan pernah mendapatkan apa yang kau impikan. Tidak Minke. Kau seorang kafir! Engkau seorang pribumi yang tidak pantas mengawini Eropa.

103. Minke
Tetapi Ibumu seorang pribumi.

104. Robert Mellema
Dia bukan ibuku. Dia lonthe!

105. Minke
Keterlaluan kau Robert!

106. Robert Mellema
Kau yang keterlaluan. Tidak tahu diri. Bedebah kau!

Robert Mellema Out stage. Minke berdiri seperti patung. Nyai dan Annelies on stage. Dikawal Darsam

107. Nyai Ontosoroh
Kau Nyo. Dari mana saja…? Annelies sakit merindukanmu, Nyo. Hanya kau yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Minke, Nyo. Jagalah buah hatiku ini. Kau jangan sampai sakit. Ayo sayang mendekatlah.

108. Annelies
Selimuti saya, Mas, mendekatlah kemari.

109. Minke
Kau manja sekali Ann…

110. Annelies
Kepada siapa lagi aku bermanja, kalau bukan padamu? Sekarang ceritai aku, Mas.

Minke dan Annelies melepas rindu. Nyai segera menyeret Darsam pergi (out stage)

111. Minke
Cerita apa, Ann? Jawa atau Eropa? Bahasa Jawa tau Belanda?

112. Annelies
Terserah Mas. Saya merindukan suaramu, kata-katamu, yang diucapkan dekat kuping, sampai terdengar nafasmu.

113. Minke
Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali. Kau tak diganggu nyamuk? Juga tidak ada cicak merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih, negeri itu sangat bersih. Negeri itu subur dan hijau. Segala yang ditanam jadi. Hama juga tak pernah ada. Tak ada penyakit dan kemiskinan. Semua orang hidup senang dan bahagia. Setiap orang pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Orang punya kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekorpun tak ada yang belang….

114. Annelies
Ah..Mas ceritanya kacau…masak ada kuda kuning, biru, merah jambu…ada-ada saja…tentu tidak ada kuda belang. Yang ada kan kucing….

115. Minke
Gurau Ann….(pause) Ann..saya mau bertanya…e…e…

116. Annelies
Apa?

117. Minke
Apakah saya bukan laki-laki yang pertama, Ann?

Tiba-tiba wajah Annelies berubah total. Bahkan kemudaian air matanya menetes.

118. Annelies
Saya tahu, semua laki-laki akan selalu bertanya seperti itu. Apakah kau menyesal, Mas?

119. Minke
Tidak. Maafkan atas pertanyaan yang tidak pada perlunya…

120. Annelies
Akan kau peristri aku, Mas…?

121. Minke
Ya………

122. Annelies
(Tambah menangis sesenggukan) Kau bukan lelaki yang pertama, Mas. Tetapi itu bukan kemauankau. Bukan kehendakku. Kecelakaan itu sungguh tak bisa saya elakan…

123. Minke
Kecelakaan? Tidak, Ann. Kau sangat menderita. Boleh saya tahu, siapa yang telah melakukannya Ann?

124. Annelies
Memalukan! Dia binatang! Binatang! Binatang!

125. Minke
Kalau boleh saya tahu, binatang itu siapa? (Pause) Robert! Suuhroff? Atau…?

126. Annelies
(Pause) Dia Robert Mellema! (Menangis sejadinya)

127. Minke
Robert Mellema! Abangmu sendiri?

128. Annelies
Terkutuklah aku. Terkutuklah aku. Apakah kau menyesal….?

129. Minke
(Menggeleng) Ann…kau tetap sayangku. Kau akan jadi istriku. Kemarilah puspitaku. Kau adalah bunga Surabaya. Apakah kakau tahu, Iskandar Zulkarnain, Napoleon-pun akan berlutut memohon kasihmu? Untuk dapat menyentuh kulitmu, mereka akan bersedia mengorbankan seluruh bangsa dan negerinya?

130. Annelies
Engkau pangerankau. Terima kasih Minke, engkau telah datang, mengisi hati dan hari-hariku. Mengusir kesunyian hidup. Engkau memberi warna pada detik-detikku. Kini sepiku menjelma menjadi gairah tak terbendungkan…

Minke dan Annelies berpelukan. Tiba-tiba hujan bunga-bunga. Annelies dan Minke menari-nari. Seorang buruh dengan takjim membersihkan bunga-bunga itu setangkai demi setangkai. Perlahan-lahan lampu fide out.


BABAK V

Di rumah pelacuran Babah Ah Tjong, Tuan Mellema sedang mabuk berat. Dia sempoyongan. Tiba-tiba terhuyung dan jatuh ke lantai. Para pelacur berhamburan mendekat. Darsam muncul tiba-tiba.

131. Darsam
Tuan! Tuan Mellema..! (Menggoyang-goyang tubuh. Mendengar napas) Tuan Mellema mati! (Para pelacur segera berhamburan menjauh) Nyai…! Nyai…! Tuan Mellema Nyai…! (Berteriak keras sekali)

Nyai Ontosoroh, Annelies, Minke datang secara bersamaan.

132. Darsam
Nyai, Noni, Tuan Mellema mati!

133. Nyai Ontosoroh
(Mendekat) Bau minuman keras. Baunya seperti bau mulut anaknya Robert Mellema.

Robert Mellema muncul dari tengah-tengah pelacur. Kemudian pergi begitu saja.

134. Darsam
Nyo…! Nyo..! Jangan lari!

135. Nyai Ontosoroh
Sudah-sudah, jangan teruskan gila-gilaan seperti ini. Dia anak saya. Darsam, urus tuanmu itu!

136. Darsam
Baik Nyai!

Mayat itu kemudian ditutup dengan jarit sidomukti. Minke, Annelies duduk di dekat mayat TB Mellema. Para pelacur dan orang-orang juga duduk dengan ta’jim. Musik mengalun lirih sekali. Terdengar lamat-lamat tembang megatruh:

Duh…duh…aduh..
Ambok uwis, ing pamecut
Tiba deresing kepati
Kinarpakna, dadi lakon
Kang tumiba, ing awakku

137. Nyai Ontosoroh :
Kalian lihat sendiri kelakuan TB Mellema. Diurus di rumah dengan baik, dia malah memilih diurus orang lain, Babah Ah Tjong. Dia telah berbuat sedheng karena tekanan yang begitu berat dari anaknya Mauritz Mellema, Robert Mellema, dan tentunya hukum Eropa yang telah dipahaminya, tetapi tak pernah bisa ia tolak kenyataan yang akan terjadi.
Perlu tuan-tuan ketahui (Kepada penonton) Sejak kematian TB Mellema, saya lalui hari demi hari dengan penuh gunjingan. Semua orang membicarakan TB Mellema. Surat kabar tak habis-habisnya mengabarkan kematian TB Mellema yang memalukan ini.
Berita demi berita tak ada yang benar. Simpang siur, dibumbu-bumbui. TB Mellema dikabarkan mati diracun, entah oleh siapa. Tetapi sesaat sebelum kematiannya, dia tampak mabuk. Dari mulutnya bahu alcohol, persis yang disukai anaknya Robert Mellema. Robert Mellema sendiri tampak berada di rumah plesiran Babah Ah Tjong. Tetapi dia lari. Babah Ah Tjong sendiri tiba-tiba raib.
Para tetangga, berbicara semaunya sendiri. Kami maklum, karena mereka semua tidak bisa membaca. Koran-koran yang ada kebanyakan berbahasa Belanda. Tetapi yang pasti. Koran-koran Eropa jelas memihak TB Mellema dan memojokan keluarga kami. Tidak berbeda jauh, orang-orang Eropa dan pribumi yang memandang Nyai sangat buruk, menuduh Nyai lah yang telah menyebabkan tewasnya TB Mellema.
Darsam dan Minke telah banyak membela saya. Darinyalah orang-orang pribumi itu akhirnya tahu, bahwa saya tidak bersalah. Namun ujian tidak berhenti di sini. Ujian terberat adalah hari-hari menghadapi persidangan. Saya sangat pesimis, seorang pribumi seperti saya, apalagi sudah dicap sebagai gundiknya, tidak akan menang di penggadilan Eropa. Pengadilan kulit putih. Tidak akan menang! Tulisan-tulisan yang dibuat Minke di surat kabar, seperti angin lalu saja. Ketika di pengadilan, saya diperlakukan diskriminatif. Saya tidak boleh menggunakan bahasa Belanda meski saya mampu melafalkan dengan baik dan benar. Katanya : ‘Nyai tidak diperkenankan menggunakan bahasa Belanda. Nyai pribumi. Nyai harus memakai bahasa Jawa, bahasa bangsamu.’
Kepada Tuan Hakim saya katakan, saya tidak pernah kenal dengan Babah Ah Tjong. Yang saya tahu, setiap bulan datang tagihan dari rumah plesirannya untuk TB Mellema dan anaknya Tuan Robert Mellema. Setiap bulan TB Mellema menghabiskan 45 gulden. Sedang anaknya 60 gulden. Mereka harus membayar mahal karena mereka hanya mau pelacur-pelacur asing seperti Meiko dari Jepang itu.
Namun persoalan ini terus melebar. Minke dilibatkan. Mereka menanyakan hubungannya Minke dengan Annelies. Saya katakan kepada Tuan Hakim dan jaksa, bahwa kematian TB Mellema tidak ada kaitannya dengan Minke dan Annelies. Mereka tidak pernah memperdulikannya. Sepertinya telah terjadi persekongkolan untuk merampas semua yang kami miliki.
Tetapi baik, saya akan jawab agar tuan-tuan tahu: Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, kalian telah memulai membongkar keadaan rumah tangga saya. Saya Sanikem, gundik Tuan Besar Mellema. Sanikem memang hanya seorang gundik. Dari gundiknyalah lahir Annelies dan Robert Mellema. Perlu tuan ketahui, selama ini tak pernah ada yang menggugat hubungan saya dengan mendiang. Kenapa? Apakah karena Tuan Besar Eropa Totok. Mengapa hubungan anak saya kalian persoalkan? Mengapa? Hanya karena Minke pribumi?
Tuan-tuan yang terhormat. Antara saya dan TB Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum Eropa. Antara anaku dengan Tuan Minke ada cinta mencintai yang sama-sama tulus, bahkan mereka sudah diikat dalam perkawinan yang syah. Sekali lagi tuan, orang Eropa dapat membeli perempuan pribumi seperti diri saya ini, tetapi tak seorangpun memprotesnya. Apakah pembelian ini lebih benar dari pada percintaan yang tulus dari kedua insan ini? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan dan kekuasaannya, mengapa kalau pribumi jadi ejekan, justru karena cinta yang tulus?
Apa karena Annelies indo, tuan Minke anak bangsawan? Jadi Annelies punya kedudukan seperti orang berdarah Eropa? Tetapi Annelies, sayalah yang melahirkan, membesarkan dan mendidiknya, tanpa bantuan satu sen pun dari Tuan-tuan yang terhormat.
Siapa yang menjadikan saya gundik? Siapa yang membikin mereka jadi Nyai-nyai? Tuan-tuan, bangsa Eropa yang dipertuan! Mengapa kami ditertawakan dan dihinakan? Apakah tuang-tuan menghendaki anak saya juga jadi gundik? Kalianlah yang membuat saya menjadi Nyai, menjadi gundik!

138. Minke
Tuan-tuan saya menyakal semua keputusan Tuan Hakim dan Tuan Jaksa. Saya suami Annelies. Saya mencintainya. Cinta setulusnya. Apakah perlu saya jelaskan kapan dan di mana kami kawin? Saya dan Annelies sudah menikah secara Islam, kami punya saksi.
Meski hukum Tuan menyatakan perkawinan kami tidak syah, kami adalah duan insan yang telah diikat tali perkawinan yang syah. Tak akan ada yang bisa memisahkan.
Hadirin sekalian, apakah ini pengadilan yang adil? Annelies dengan mudah akan dibawa pulang ke Nederland, negeri leluhurnya dengan alasan perkawinan saya tidak syah, karena dia Indo saya pribumi. Apakah ini yang dinamakan hukum?
Annelies, Mas akan lawan semua yang berusaha memisah kita. Mama dan saya akan tetap berusaha sekuat tenaga, biarpun begitu sulit. Kita akan melawan Annelies. Biarpun hanya dengan tulisan atau dengan teman-teman yang masih mempunyai rasa simpati kepada kita. Pengadilan itu sudah tidak lagi menyoal kematian Tuan Mellema. Mereka berusaha memisahkan kita.
Mama, kita akan melawannya. Akan saya tulis peristiwa persidangan kematian Tuan Mellema itu. Akan saya ungkap sejelas-jelasnya di koran-koran, surat-surat juga akan saya tulis dan akan saya kirim kepada teman-teman di Eropa. Apabila tak ada yang mendengarkan, tahulah saya, omong kosong saja segala ilmu pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan. Omong kosong!
Pada akhirnya ilmu pengetahuan itu akan berarti hanya alat untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai : Kehormatan, hak, bahkan juga anak dan istri.
Sekarang semua sangat jelas. Mauritz Mellema telah bersekongkol dengan pengadilan Amsterdam untuk menyingkirkan kita, merampas semua yang ada. Ah Eropa, semua yang saya kagumi, runtuh dalam sekejap.
Ah, istriku tinggal berapa lama lagi kita berkumpul. Kau akan berangkat kekasihku. Apa yang bakal terjadi nanti dengan dirimu, kekasihku? Ann, bagaimana dengan diriku? Apakah kau akan seperti kilat jatuh jauh di sana, mengerjap sekejap, untuk kemudian hilang buat selama-lamanya?

139. Annelies
Mas, tubuhku lemah tak berdaya. Tak berdaya, melawan sakit ini semua. Dikala sakit seperti ini aku terkenang dengan cerita-cerita yang Mas ceritakan tentang negeri Belanda menurut cerita Multatuli. Katamu, nun jauh di sana ada negeri di tepi laut utara. Tanahnya rendah, maka dinamai negeri Tanah Rendah, Nederland atau Holand. Mereka mengembara keseluruh pelosok bumi karena mereka bosan membuat tanggul-tanggul dan lebih mengagumi negeri yang jauh, bergunung-gunung, tanahnya subur, penuh laut dan pantai, kemudian menguasainya. Aku lebih menyukai tanah yang bergunung dan pantai-pantai daripada Nederland. Tetapi persekongkolan hukum ini telah membuat aku tidak punya pilihan apa-apa.
Mama, masih ingatkah dengan cerita tentang kopor itu. Aku akan pergi dengan kopor yang membuat Mama bertekat menjadi seperti ini. Dengan kopor itu dulu Mama pergi dan bertekad tak akan kembali lagi. Kopor itu terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku tidak akan membawa apa-apa, kecuali kain batik dari Mama dan pakaian pengantinku. Semua akan menjadi kenangan, Mama. Aku pasti merindukan kalian semua…
Suamiku, jangan menangis. Aku tetap mencintai suamiku selamanya. Sembah sungkemku untuk Mama, Mas…aku akan pergi. Jangan kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat, biarkan berlalu, Mamaku sayang, suamiku tercinta, jangan menangis. Kenanglah yang baik dan lupakan yang buruk. Aku hanya minta kepada Mama dan suamiku, buatkan aku adik kecil yang tidak merepotkan sepertiku. Rawatlah dia sebaik-baiknya sampai Mama, tak merasa lagi pernah ada Annelies di sisi Mama…

140. Dua Orang Utusan
Waktu kurang dua menit. Kapal akan segera berangkat.

Seseorang membawakan kopor besar dari dalam. Annelies memeluk Minke dan Nyai Ontosoroh. Dua Orang Utusan dan Annelies out stage.

Suasana hening.

141. Minke
Mama, putramu kalah. Sebegini lemah kita di hadapan orang Eropa. (Pause) Kau yang saya kagumi telah merampas segalanya. (Menggumam) Maafkan suamimu Ann.
(Kepada Nyai Ontosoroh) Kita kalah, Ma…

142. Nyai Ontosoroh
Kita telah melawan, Nak Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.

Musik. Lampu fide out. Layar menurun. Pertunjukan selesai.

Surabaya, Maret-Desember 2006
R. Giryadi
(Sutradara Teater Institut)

Naskah ini pernah diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki dalam bentuk drama yang sangat panjang.
Naskah ini diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, penerbit Hasta Mitra cetakan ke lima 1981.




Tidak ada komentar: