Oleh : R Giryadi
Tubuh hanyalah yang terbaik dari objek yang dimiliki,dimanipulasi, dipakai secara fisik.-Jean P. Baudrillard.
Adagium Freudian yang menyatakan bahwa “wanita menginginkan cinta, laki-laki menginginkan seks” agaknya sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern. Tubuh, mengalami suatu fase revolusioner dalam masyarakat modern jika dibandingkan periode sebelumnya. Berjalan seiring dengan ledakan seksual, tubuh mengalami transformasi makna sekaligus penampakan.
Selama ini pengekangan terhadap tubuh yang dilakukan oleh konstruksi budaya dan agama tertentu cukup efektif menutup celah pengumbaran tubuh. Tetapi, di sisi lain beberapa identitas budaya tertentu memiliki konstruksi makna yang bertolakbelakang dengan identitas budaya lainnya. Secara khusus, tubuh wanita mendapat apresiasi yang berlebih jika dibandingkan dengan pria. Ada apa dengan tubuh wanita?
Polemik tentang tubuh sulit dirangkai dan dipertemukan dalam belantara ideologi. Antara ideologi yang mengagungkan spiritualitas (platonis) dan ideologi yang mengagungkan tubuh (Freudian). Ada perbedaan cukup tajam di antara keduanya. Ideologi spiritualis cukup gencar melancarkan kritik terhadap ideologi tubuh yang sangat esploitatif memanfaatkan wanita untuk kepentingan pasar. Tetapi di sisi lain, wanita bisa saja memandang pembebasan tubuh dan seksualitasnya tidak bersifat eksploitatif, tetapi upaya menunjukkan sikap emansipasi dan perlawanan wanita.
Kini semuanya tergantung dalam arena pertarungan diskursus. Kemenangan suatu diskursus tidak serta merta disebabkan oleh penilaian benar salah oleh subjek penilai, tetapi tergantung kemampuan setiap bentuk diskursus melakukan negosiasi dengan subjek. Fenomena inilah yang ditawarkan dalam pertunjukan Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan oleh Kelompok Teater Respectlines dari Bandung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), 23 Desember 2006 lalu.
Namun sebenarnya apa yang diungkapkan oleh sutradara bukan hanya pertanyaan tetapi juga pernyataan. Dalam ungkapan sutradara, kehadiran perempuan tidak saja sebagai obyek, tetapi subjek yang melengkapi eksisntensi laki-laki. Karena itu kehadiran perempuan dalam dunia laki-laki tidak melulu sebagai patner (seks) tetapi sebagai bagian dari eksistensinya.
Antara Freudian dan Platonis
Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan, yang ditulis Yukino Ayuku yang juga bertindak sebagai sutradara merupakan, kisah yang menggambarkan cinta, kesakitan, penghianatan, perebutan, amarah, benci, tertekan, perselisihan, pertentangan, penyiksaan, dan segala bentuk kekerasan yang masih terjadi dalam kehidupan, mulai wilayah yang kecil (dalam kehidupan sehari-hari/rumah tangga) sampai dengan wilayah yang besar… (Katalog pertunjukan).
Drama ini bermula dari kehidupan dua insan yang penuh dengan cinta kasih. Tiba-tiba datang perempuan penggoda. Dengan segala cara, ia berusaha merebut perhatian si laki-laki. Laki-laki itu pun jatuh ke pelukan perempuan penggoda dan mencampakkan kekasihnya. Dalam kesakitan, kesal, dan benci, perempuan yang dicampakkan kekasihnya itu mencoba bangkit. Segala pergumulan dengan batin dan orang-orang yang ia temui dilewatinya dengan tegar.
Dalam hal ini Ayuku seperti ingin memperlihatkan (mempertentangkan) antara cinta freudian (birahi) dan cinta platonis (idea). Antara yang ‘palsu’ dan yang sejati. Dalam konflik ini, tampaknya Ayuku lebih memilih laki-laki tetap sebagai subyek yang dominan. Dengan kekuatan (kekuasaannya) laki-laki memilih pada cinta pertamanya (idea). Sementara perempuan penggoda (birahi) harus mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Tidak jelas benar konflik yang terjadi, mengapa pada akhirnya sang laki-laki kembali pada cinta pertamanya. Apakah ini gejala eros? Alias cinta yang penuh nafsu, kecemburuan, dan otoritas kaum laki-laki. Apakah ini sudah kodrat laki-laki atau lemahnya posisi perempuan? Tidak jelas betul alasan laki-laki itu memilih cinta pertamanya dan mengorbankan cinta perempuan penggoda hingga mengakhiri hidupnya.
Dalam cinta platonis, cinta, tidak terbatas pada persoalan seksualitas belaka. Cinta platonis lebih menghidupkan kodrat manusia sebagai makluk sosial yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan tanpa memandang status kelamin. Karena itu, cinta platonis tidak memihak pada eros atau birahi. Kalau perempuan, seperti diidealkan Ayu, bagian dari subyek yang melengkapi laki-laki, ini merupakan perwujudan dari konsep platonisnya.
Namun dalam hal ini kehadiran perempuan, oleh Ayuku masih dilihat dari sisi perbedaan seksual yang merujuk pada kondisi biologis dan anatomi ragawi, namun tidak menukik pada pemahaman konstruksi sosial yang terus berproses. Pemberontakan dan sikap oposan kaum perempuan untuk lepas dari jeratan dominasi kekuasaan patriarki, sebagaimana ditiupkan oleh kaum feminisme kurang dinyatakan secara eksplisit. Dalam hal ini Ayuku justru seperti mengamini dominasi patriaki itu, dengan menyingkirkan sikap platonisnya.
Dengan demikian sikap freudianlah yang sangat menonjol dalam pertunjukan ini. Karena itu, bunuh diri yang dipertontonkan oleh perempuan penggoda menjadi tidak tragic, melainkan malah mencerminkan sikap konyol. Bunuh diri itu tidak dalam rangka pembelaan atas sikap kritisnya terhadap cinta, tetapi justru bagian dari sikap tidak berdayaanya menghadapi cinta itu sendiri.
Dalam hal ini, Ayuku lebih condong melihat persoalan cinta dari sudut pandang Freudian. Dikotomi struktur anatomi tubuh merupakan takdir yang menempatkan posisi maskulin lebih kuat dan aktif ketimbang feminin yang lemah dan pasif. Makna emansipasi sebagai wujud kesetaraan sosial, yang ingin lepas dari jebakan format pikiran yang memandang tubuh perempuan dikaitkan secara kultural dengan sistem selera dan representasi patriarki, terabaikan. Bahkan tak mampu diberontaknya.
Tampaknya Ayuku masih kebingungan menempatkan jiwa keperempuannannya. Pemberontakan yang ewuh pekewuh itu menjadi ciri khas sikap perempuan timur terlihat jelas. Sebenarnya, sebagai pilihan sikap feminismenya, Ayuku bisa menyelesaikan kisah itu, menjadi kisah cinta yang kompromis. Yang memaklumi adanya perbedaan dan tidak memaksakan diri untuk merobohkan garis demarkasi kedua wacana itu. Atau mengakhiri dengan harapan mendapat cinta sejatinya, tanpa penyatuan fisik, tetapi lebih pada rohani. Atau, membiarkan cinta bersenyawa dengan keabadian dan tidak mudah bertekuk lutut oleh waktu. Pecinta platonis mempunyai sikap kebertahanan yang luar biasa pada kesunyian dan pada kesendirian. Inikah sikap orang timur (Jawa)?
Kabuki Tak Terbukti
Kebingungan Ayuku itu menjadi lengkap ketika Ayuku dan beberapa pemainnya tidak mampu membahasakan teks verbal (konsep) menjadi bahasa tubuh, maupun dalam pertunjukan kabuki yang penuh dengan ketrampilan teknik yang mengagumkan. Tampaknya, kabuki yang dimaksud Ayuku hanya merujuk pada pemain yang didominasi laki-laki. Dari sana, Ayuku mencoba menganalogikan antara laki-laki dan perempuan punya peran yang sama. Hal itu –menurut Ayuku- tergambarkan dalam kesenian kabuki, seorang aktor laki-laki bisa memerankan perempuan.
Karena itu, pertunjukan itu tidak mencerminkan pertunjukan kabuki yang sebenarnya. Dalam pertunjukan itu, tak ada orang yang berpakaian yang tidak umum dan tarian yang kelihatan aneh. Minim trik panggung (kérén) seperti yang terjadi di kabuki yang syarat dengan ketrampilan trik panggungnya. Tak ada suasana takjub. Tak ada kejutan, sehingga penonton ‘merasa’ dalam dunia ‘ajaib.’ Tidak. Dalam pertunjukan itu, kabuki tak terbukti.
Meski demikian, gerakan pemain laki-laki yang akrobatik, merupakan penawaran tersendiri. Namun, tawaran ini pun masih sebatas garak akrobatik yang disusun sedemikian rupa, tanpa menimbulkan pesan apa-apa. Hal ini terlihat unsure-unsur gerak yang banyak diulang-ulang, sehingga gerak itu sendiri tidak timbul berdasarkan struktur dramaticnya.
Gerak ketika mengekspresikan kesenangan, bahagia, keceriaan, dan percintaan hampir memiliki bobot yang sama dengan gerak-gerak ketika drama mencapai konflik. Dalam hal ini gerak tidak mengikuti struktur dramatiknya, sehingga efek yang ditimbulkan dari gerak itu adalah, suasana yang mekanik, tidak sublime, dan terkesan monoton.
Untuk mengembalikan makna yang lebih utuh, tampaknya Ayuku perlu mengembalikan pada konsep dasarnya, tentang pertentangan tema cinta itu sendiri, dan konsep kabuki sebagai spirit pertunjukan sekaligus pusat eksplorasi gerak tubuh. Dengan demikian, kita berharap tubuh tidak lagi sebagai pusat orientasi fisik –akrobatik- belaka sebagai mana seperti diungkapkan Jean P. Baudrillard di atas, tetapi tubuh sebagai pusat orientasi makna (idea).
R Giryadi
Pekerja teater, pemerhati seni pertunjukan, tinggal di Sidoarjo-Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar