Halaman

Jumat, 21 Maret 2008

Teater Jatim, Seperti Gelas di Bibir Meja


Oleh : R Giryadi

Melihat perkembangan teater di Jatim, seperti melihat gelas di bibir meja, saat keramaian sebuah pesta. Kita dibuat was-was, tetapi kita sendiri malas meletakan gelas itu pada posisi yang aman. Dan memang teater Jatim, sedang berada dalam bibir meja, yang pada suatu saat bila tidak segera sadar ruang, maka gelas itu akan jatuh juga ke lantai dan pecah berkeping-keping.
Ini kenyataan. Tetapi terkadang para aktivis teater sendiri merasakan bahwa kondisi teater di Jatim aman-aman saja. “Katanya siapa di Jatim tidak ada teater. Itu pengamatan yang salah kaprah,” kata salah aktivis teater di Surabaya.
Saya kira persoalannya bukan pada ada atau tidaknya teater di Jatim. Tetapi sejauh mana posisi teater itu, tidak terlihat membuat was-was karena keberadaannya tidak pada posisi yang baik?

Adanya teater tidak bisa dihitung jumlahnya saja apalagi hanya menghitung dari adanya pentas belaka. Teater akan lebih bermakna (eksis) ketika bisa mempoisisikan diri menjadi sebuah nilai, pada ruang yang lebih luas, dan bukan dalam sebentuk ruang pertunjukan yang sempit dan pengab.
Memang benar ada kelompok yang berpentas dan ditulis oleh media massa. Tetapi apakah dengan demikian, gelas yang terlanjur di pinggir meja itu terselamatkan? Persoalan teater di Jatim tidak bisa dipandang dari sudut peristiwa teater belaka sementara persoalan dibalik peristiwa itu cukup mengkawatirkan bila dibandingkan dengan kuantitas peristiwa teater yang terjadi di Jatim.
Dengan menyebut peristiwa teater saja, di Jatim ada puluhan peristiwa teater. Tahun ini saja, paling tidak sudah ada lima tontonan teater yang tergelar di Jatim. Tetapi sejauh mana teater itu memikirkan dirinya berposisi pada tempat yang tidak mengkawatirkan? Sekali lagi, di Jatim memang ada teater, tetapi sejauh ini, mereka tidak sedang bekerja demi teater itu, tetapi berteater demi yang bukan teater. Ini benar-benar mengkawatirkan.
Posisi yang mengkawatirkan itu, sebenarnya disebabkan teater di Jatim tidak punya akar wacana yang kuat. Sementara itu, pembacaan terhadap wacana arus besar semacam ideologi-ideologi, dan fenomena teater, tidak tuntas. Akibatnya, dalam praktiknya, banyak menemui kegagalan karena akar yang dimiliki rapuh. Sehingga ketika fenomena itu kehabisan napas, teater Jatim mendekati ajalnya.
Saya kira para penggiat teater tahu, sebuah peristiwa teater itu bukan hanya sebuah peristiwa di dalam panggung, tetapi peristiwa-peristiwa yang mengikutinya, menjadi bagian dari pengayaan teater itu sendiri. Sehingga keberadaan sebuah teater tidak dinilai kapan teater itu pentas, tetapi sejauh mana pentas teater memiliki tawaran wacana, ideology, isu, diskusi, bahkan kehadirannya menumbuhkan keberjamakaan ruang yang bisa dibaca dari berbagai disiplin ilmu, dan tidak un sich teater.
Teater modern di Jatim, secara umum adalah teater dadagan, bukan sebuah proses yang berkesinambungan atau teater yang lahir dari sebuah akar yang kuat, tetapi seperti teater yang hidup di atas angin. Teater belum menjadi sebuah pilihan profesi, karena kehidupan kelompok teater di Jatim masih diwarnai oleh relasi longgar yang ikatan keanggotaannya lebih ditentukan oleh mood dan tidak terbentuk dari kesuntukan sebuah proses. Teater Jatim, hanya sebentuk pengalaman sensasi ephemeral teater dari sebuah rumah yang dihuni oleh para martir.
Kemiskinan teater di Jatim terletak cara menjiwai kemiskinannya itu. Sublimasitas kemiskinan di Jatim, dieksploitir sedemikian rupa menjadi kemiskinan materi dalam arti sebenarnnya. Pertaruhan terhadap perjuangan untuk mempoisisikan menjadi martir, menjadi terbebani oleh kekalutan atas kemiskianan materi itu. Dan inilah yang menyebakan teater di Jatim menjadi meskin dalam pengertian yang sebenarnya.
Menyedihkan sekali memang. Tetapi anehnya masih saja ada yang berkacak pinggang: ‘Jatim masih ada teater, Bung!’ Meski hutang demi hutang menumpuk, tambal sulam untuk proses produksi berikutnya dan berikutnmya lagi. Dan memang hanya sang martir yang mau menghidupinya. Tetapi dampaknya, teater (hanya) menjadi pertaruhan semangat, dan bukan pertaruhan ideologis dalam ruang dialog budaya!
Barangkali, ini sudah menjadi jamak terhadap aura kehidupan teater Jatim, yang menafikan kata sublimasi. Sehingga tataran orisinalitas pencapaian teater, bukan menjadi taruhan yang ideologis, tetapi masih artificial. Kecenderungan ini tampak pada produksi teater akhir-akhir ini, yang hanya menekankan pada performance-nya. Untuk itu ada upaya, kolaborasi, multimedia, kemudian juga adaptasi, dan inovasi. Semuannya itu hanya demi bentuk-bentuknya saja, yang dibungkus oleh kalimat-kalimat yang belum dimaknai betul keperuntukannya dalam pertunjukannnya.
Sehingga dengan demikian kita hanya tinggal menunggu waktu, sampai kapan gelas itu berada pada posisi yang menggelisahkan? Sementara kita sibuk terhadap kemiskinan demi kemiskinan. Dan membiarkan galas itu suatu waktu jatuh berkeping-keping. Dan kita bersorak, sembari berteriak; ‘Itulah teater!’

R.Giryadi, Penggiat teater tinggal di Sidoarjo

1 komentar:

Brang Wetan mengatakan...

beda rasa beda cara
oleh : Apris Eka Prasetya

Tradisi itu lebih pas merupakan salah satu bentuk atau wujud idealisme individu maupun kelompok pada sebuah aliran yang telah lama dipercaya. Berdasarkan nilai budaya yang bersangkutan.
Budaya atau Kebudayaan adalah media yang telah dipercaya atau digunakan setiap individu maupun kelompok untuk memecahkan suatu permasalahan.
Nah, budaya sendiri sifatnya tidak permanen. Karena perubahan lingkungan budaya adaptif yang selalu mendukung dan berubah-ubah, molah malih, gonta-ganti. Paribasan “Kabur Kanginan”. Tambah lagi masalah dengan tontonan yang selalu disajikan blak-blakan tidak mempertimbangkan pengaruh besar terhadap jati diri sebuah kebudayaan. Misal, kontak langsung dengan bangsa lain juga berdampak fatal bagi budaya pribumi apabila tidak ada dasar, saringan atau filter yang mendukung.

Budaya berubah karena penemuan.
Invention : Penemu
Difusi : Masuknya suatu budaya kedalam budaya asal
Kulturlose : Hilangnya suatu budaya
Alkulturasi : Kontak langsung dengan budaya lain.

Masyarakat agraris naturalistik yang kompromis pada alam, tak pernah memungkiri, hidup dan saling menghargai terhadap alam. Adat kebiasaan yang mengutamakan etik kebersamaan, gotong royong sesama insan, guyub, bersahaja, telanjang dada apa adanya yang melahirkan seni tradisinya.
Penuh kesabaran tanpa rekayasa tumbuh dan matang pada waktunya tanpa pemaksaan, apa lagi karbitan, terburu-buru, dan manipulatif melahirkan Seni Tradisi. Disamping sebagai pengkayaan bathin, rohaniah, ia bukanlah kesenangan belaka. Sebagai refleksi, mengisi waktu senggang sehabis bekerja, menunggu masa panen, menumbuhkan kepakaan sosial. Ramah, memandang orang lain seperti memandang dirinya.
Kodrat alam tak pernah ditentangnya..
Seni tradisi tumbuh dalam alam yang tak pernah berorientasi pada materi dan uang semata. Profesionalisme seniman tradisi tidak serta merta kesenian yang digeluti sebagai tumpuan hidup; singkatnya bertani sebagai topangan hidup, yang tidak mungkin dipisahkan dengan berkesenian. Seni dan tani tidak bisa dipisahkan.
Politik, logikanya amat sangat sederhana, dimana ada keramaian ia akan ndompleng.
Propaganda? Seolah-olah dgn rasa budaya tentu dengan budaya politik, padahal seni hanyalah bagian dari budaya yang belum tentu mewakili seluruh.
Pembunuhan budaya.
Peristiwa seni pertunjukan adalah sesaat, meskipun diulang tentu akan membawa suasana dan makna yang lain dari peristiwa satu ke perisrtiwa yang lain.