Peran: Seorang Dionisian
Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?
Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.
Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup, bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Dengan kemabukan dan kesyahidan kami hidupkan Sayidina Husein, cucu kesayangan Nabi, beserta anak-anak, keluarga, dan para pengikutnya, berguguran sehabis perlawanan habis-habisan yang gagah berani dalam Perang Karbala. Kami hidupkan kembali di arena Teater Takziah, “teater dukacita”, selama hari-hari ritual Asyura di bulan Muharam yang suci. Kami nyanyikan penderitaan dan kesyahidan Sayidina Husein bin Ali; perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dengan keteguhan otoritas moralnya. Juga kami deklamasikan kebrutalan para penindas, pelibas, pembantai, yang otoritasnya tirani berbendera agama. Di tangan tiran agama jadi sektarian, eksklusif, pembenaran ideologi. Agama bukan lagi sirath-al-mustaqim, jalan lempang, jalan pencerdasan, pembebasan, pencerahan. Teater menemukan dan membangkitkan penderitaan/catharsis dan kesyahidan/martyrdom.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami adalah shaman, pawang, bomoh, dukun, “terkun”, “orang pintar”, “orang tua”, “orang aneh”, orang suci, wali, pendeta, peramal, paranormal, “para tidak normal”, atau terserah sapaan apa saja yang kalian pantas-pantaskan. Dengan kemabukan dan kerasukan dan kesurupan, trance, ekstase, kami tinggalkan tubuh kasar, dan naik ke langit, dunia-atas, berkendara roh kuda atau angsa; berbahasa langit, mempelajari ilmu langit dan mengambil untuk mengajarkannya kepada dan menyembuhkan orang bumi. Memohon Penguasa Dunia Atas agar menerima persembahan, dan mendapat petunjuk beerkenaan cuaca yang akan datang, panen, berburu, dan juga sesajen apa yang dibutuhkan. Atau turun ke dunia-bawah, menemani-membimbing roh ke hunian baru, atau mengambil roh dari kuasa hantu-mambang-danyang. Kami mediator antara dunia nyata dan dunia lain.
Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu, berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar, konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.
Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.
Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon. Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang “mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.
Kami senantiasa mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesuburan, dan “dunia terang”; melawan kematian, penyakit, kemandulan, malapetaka, dan “dunia gelap”. “Drama misteri” menyambungkan masa lampau ke masa kini, menelusuri masa kini sampai masa primordial, asal-muasal segala hal.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami Dionisian-dionisian setiamu, mengalami jatuh-bangun, pasang-surut, sedih dan gembira, bahkan menikmatinya. Tapi kini, aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Aku melata, mengenaskan, bagai orong-orong dalam gorong-gorong, tersekap di labirin, di hunian mutakhir: ruko. Ukuran: 5X10X10 meter, dua lantai. Lantai bawah tempat usaha dan kerja apa saja, lantai atas ruang tinggal, makan, minum, tidur, masak, macak, manak dan berak.
Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu; berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal, menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan, perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia kapsul dan kondom.
Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.
O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran, setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku, bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam. Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah arsitektur.
Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan, pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari, dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung mutakhir: ruko.
Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi, guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar, kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar, bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta, letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni, bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.
Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi, ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye; kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah, sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai, nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam, ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan, “dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku melata, menelengkan kuping, menempelkan, mencari, menanggap, menangkap, menyabet udara, meraih-raih suara/bunyi gres, baru, yang tidak baku. Kutunggu, tak terdengar apa pun, sunyi, lama sekali, hampa. Kebisuan itu menggantung, memadat, serasa akan menyedot atau menimpaku. Segera kubuka jendela dan seperti rangkaian kereta dan gerbong…lebih sejuta jendela terdengar buka dan bunyi menggerendeng serempak bersama!
Setiap hari, bunyi/suara serentak-segerak, setajam-sepelan, sepanjang- sependek, selengking-seinterval, senada-se-staccato, sesepele-semelompong, segema-segemuruh, seruang-sewaktu: merongrong/menindih/menghisapku. Gedoran dinding, getaran kaca, kreotan ranjang, helaan napas, igauan tidur, gemertak gigi-gerigi, sendawa, tapakan kaki naik-turun tangga, tepuk nyamuk, tabokan, tempelengan, siulan mulut, nyanyi kamarmandi, kepakan sayap, meong kucing, cicit tikus, cericit burung, dentingan piring, tarikan kursi, gemerincing kunci, sobekan kertas, goresan/klik korek api, geseran buah catur, krobokan cairan, kibasan handuk, kucuran kencing. Buka-tutup pintu WC, ngejan dan lepas, telepok berak dan grujukan air; bahkan bentuk-rupa-bau tai pun sepadan-serupa. Berkat standarisasi teknologi “ma-min”, makanan-minuman, mutakhir: pentolan bakso.
Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah, air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan, kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah, samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan Waras.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Melata, mengenaskan, bagai tikus eksperimen di labirin laboratorium. Jalan, lari, ketabrak dinding, mundur, berputar, berhenti, jalan, berbalik, lari-lari, ketubruk lorong buntu, mundur, mengendap-endap, berbelok, loncat ke ujung lorong lain, rebut hadiah bakso…
O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana. WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah: DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku “Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.
Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru. Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…
Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal, telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba, berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh… Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu daging, berlemak-peak.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos,
Di pagi sedang merekah, Dionisian setiamu mempersembahkan instalasi, “Manusia Baru”, pada latar baru, kanvas aspal.
Surabaya, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar