oleh : R Girydi
Kalau kita hitung, berapa jumlah teater nonkampus –untuk tidak menyebut profesional- di Surabaya? Kalau kita hitung-hitung tak melebihi jumlah jari tangan. Sementara yang masih eksis ‘berproses’ barangkali cuma berjumlah separuhnya. Beberapa bisa kita sebut, Teater Tobong, Teater Api Indonesia (TAI), Teater Jaguar, dan –mungkin- Bengkel Muda Surabaya, Teater Ragil. Untuk sementara kelompok-kelompok inilah yang masih memiliki greget menggairahkan perteateran di Surabaya. Bahkan mereka bisa diklaim sebagai rujukan eksistensi teater Surabaya di tingkat nasional.
Namun beberapa kelompok yang saya sebut di atas, menurut pengamatan saya, dalam periode awal tahun 2000-an hanya TAI dan teater Tobong yang memiliki vitalitas yang tinggi untuk berproses. Bahkan mereka juga menciptakan pengaruh -wacana teater- yang berorientasi pada eksperimen dan ekplorasi tubuh aktor.
Dua kelompok teater tersebut di atas terdiri dari anak-anak muda yang tidak berorientasi pada formaliseme teater yang hanya berkutat pada tontonan. Mereka lebih mengedepankan proses yang berkesinambungan sambil menebarkan ‘virus’ kepada sesama generasi. Barangkali kalau boleh saya simpulkan, ideologi mereka adalah ideologi proses. Jadi, untuk sementara proses bagi generasi teater paska generasi Akhudiat adalah persoalan yang mengedepan. Meski demikian demi pencapaian ideologi artistik, kelompok teater ini juga menawarakan berbagai gagasan yang diwujudkan dalam beberapa pagelarannya.
Ruang Dialog
Bila dibandingkan dengan generasi Akhudiat, pencapaian-pencapaian artistik dan unsur pertunjukan lainnya, oleh generasi saat ini bisa dinomer duakan. Artinya perwujudan gagasan mereka tidak hanya berhenti saat pertunjukan itu digelar, tetapi pada tahapan pencapaian berikutanya yang semua itu berada di luar pertunjukan.
Inilah yang harus dicermati. Sebenarnya sebuah gagasan teater tidak berhenti pada saat pertunjukan itu digelar atau bagaimana sebuah kelompok teater mengorganesasi sebuah ivent. Tetapi seberapa jauh gagasan itu membuat ruang dialog teater menjadi terbuka sehingga memungkinkan gagasan-gagasan lain tumbuh.
Inilah yang bisa membuat peluang teater –di Surabaya- tumbuh dengan sehat. Jadi tidak hanya sekedar membuat dikotomi, siapa yang bodoh dan siapa yang pintar, seperti dicontohkan Akhudiat dalam Kompas (29/12/03), untuk menggambarkan betapa sulitnya memahami teater modern.
Kalau ruang dialog terbuka, barangkali dikotomi siapa bodoh dan siapa pintar menjadi bisa dinetralisir dan menjadikan batas antara penonton dan pelaku semakin nisbi (baca : tidak terbatas). Namun demikian keterbukaan ini tidak longgar, tentu dalam hal ini ada etika-etika atau bentuk pertanggungjawaban oleh sebuah kelompok atas gagasan yang telah ditawarkan.
Kebingungan penonton untuk menangkap –makna- teater modern tidak sepenuhnya salah di antara ke duanya (penonton dan pelaku). Tetapi bisa jadi unsur lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya pengamat yang bisa menjembatani kerentanan ini. Saya membayangkan, bila seandainya pra pentas sebuah kelompok teater ada semacam pra wacana yang diaktualisasikan oleh pengamat dalam bentuk diskusi atau tulisan-tulisan di media massa, barangkali pertunjukan akan lebih menarik dan merangsang untuk tidak sekedar menjadi penonton yang dibutakan matanya tetapi penonton yang dihidupkan otaknya –multi tafsir-, oleh berbagai unsur yang telah menjembataninya. Sehingga dikotomi (yang kadaluwarsa) seperti dicontohkan Akhudiat tidak terjadi.
Profesionalisme
Kalau kita berbicara profesioanalisme atau amatiran, seperti yang terungkap dalam wawancara Kompas (29/12/03 ) dengan Akhudiat –salah seorang yang telah menjadi bagian dari sejarah teater di Surabaya- ketika mengomentari pertunjukan Laboratorium Gila oleh Teater Api Indonesia (27-28/12/03), tidak sesederhana yang diungkapkan Akhudiat dengan mencontohkan profesional ala Bengkel Muda Surabaya yang telah –berhasil- mengeksplorasi besutan, pontomim, ataupun penggabungan bentuk drama-musik.
Saya kira Akhudiat hanya menyederhanakan persoalan. Bahwa memaknai profesional hanya sebatas pencapaian artistik sebuah kelompok saja. Ada berbagai sebab kalau teater di Surabaya disebut tidak profesional dan masih bersifat amatiran. Ada ruang lain yang tidak tergarap, ketika teater membutuhkan ruang profesional. Berbagai ruang itu masih nampak kosong melompong dan tidak merangsang orang-orang yang berkecimpung di teater menjadikan teater sebagai ruang profesi, tetapi bisa jadi hanya sekedar menjadi tempat numpang lewat.
Salah satu ruang yang teramat longgar dan tampak sudah banyak dilupakan adalah ruang pengamat yang serius dan utun untuk mempresentasikan gagasan-gagasan baru di jagad teater baik itu pra pentas maupun paska pentas. Unsur ini penting ketika profesionalisme dituntut. Kehadiran seorang pengamat sekaliber Akhudiat misalnya, dibutuhkan untuk membedah secara obyektif gagasan-gagasan yang ditawarkan teater –modern- di Surabaya.
Unsur lain adalah keterlibatan media massa yang membuka ruang promosi dengan tidak sekedar mencatat tanggal dan jam pentas saja, tetapi juga mengaktualisasikan gagasan teater melalui wawancara khusus dengan pelaku teater yang bersangkutan. Ketika dua ruang ini tergarap, saya kira kesenjangan sedikit diminimalisir dan kerja teater bisa dipertanggungjawabkan secara profesional pula.
Tentu persolan di atas sangat sederhana. Yang menjadi persoalan sekarang, sudahkah kerja di luar panggung itu maksimal? Saya kira, kita –Surabaya- perlu introspeksi. Teater Surabaya sedang dalam krisis pengamatan. Tampaknya teater Surabaya membutuhkan ruang dialog –masyarakat, pengamat, media massa, pelaku- yang obyektif agar ruang profesional itu terbuka. Bagaimana, profesionalisme dituntut bila unsur yang lain tidak sejalan, bahkan cenderung menutup dan kontraproduktif?
Untuk menjadikan teater Surabaya profesional memang tidak kerja sederhana, karena butuh dukungan berbagai pihak yang bisa mewadahi teater ini bisa profesional. Bagaimana bisa profesional kalau pengamat sendiri memandang sinis –terlalu subyektif-sebuah pertunjukan ketika masyarakat –penonton- membutuhkan keterangan diluar subyektifitas pengamatan?
Pengamat yang kita butuhkan saat ini adalah pengamat yang tidak hanya sekedar mang-amini sejarah. Masyarakat teater –modern- di Surabaya membutuhkan pemikiran-pemikiran segar yang membuka jalan (avant gard).
Namun demikian pekerja-pekerja teater memang tidak bisa berpangku tangan ketika teater sedang terjadi krisis pengamatan. Teater tidak hanya sekedar melontarkan gagasan pertunjukan tetapi artikulasi gagasan dalam bentuk kerja intelektual –riset, menulis, dan yang lainnya- diperlukan. Sehingga ketika terjadi gesekan antara penonton, pengamat, media massa, dan pelaku masih terjembatani. (*)
(R. Giryadi, Sutradara Teater Institut Unesa, tinggal di Sidoarjo)
1 komentar:
jika dibandingkan antara teater kini/modern dan teater tempo dulu perkembangan jelas nampak terlihat.apalagi perkembangan teater di Surabaya jaman akhudiat dan sekarang.saya sangat setuju apabila setelah pementasan diadakan forum diskusi antara penonton dan penyaji (sutradara,tim artistik dan pemain).di samping sebagai bentuk perkembangan akting tiap aktor dan segala bentuk artistik. dan pesan dari naskah yang dipentaskan tersebut berfungsi juga di luar proses/ketika terjun di masyarakat yang notebene berbagai macam karakter. bagaimana kita harus bertindak dan berperilaku agar terbentuklah manusia yang bersosial.
Posting Komentar